Oleh: Siti Rubaidah
Suarakita.org – Melanjutkan kisah tentang Ady yang tumbuh sebagai remaja yang aktif setelah melewati berbagai tindakan abusive. Kali ini Redaksi Suara Kita mencoba menggali kisah coming out yang dirinya lakukan.
“Aku sadar sebagai gay waktu kelas satu SMP. Sebelum itu orang melihat aku cenderung feminin atau ekspresi genderku tidak maskulin. Itulah mengapa sejak SD aku selalu dikatakan sebagai anak bencong atau banci. Orang-orang lebih sering memanggilku dengan sebutan bencong daripada nama asliku, “Hei Cong, ke sini Bencong.”
Ady tidak pernah menganggap masalah serius dengan itu, “It’s ok, hanya sebuah nama panggilan, memang kenapa dengan panggilan Bencong?”
Tapi sejauh itu Ady belum tahu apakah jati dirinya adalah seorang cewek atau cowok. Mungkin karena saat itu belum masa puber, sehingga dia tidak menyadari identitas gendernya. Ady sempat mengalami masa-masa pacaran dengan seorang teman cewek, karena semua teman cowoknya juga pacaran sama cewek.
Dirinya menceritakan proses coming out yang ia lakukan, “Ketika SMP aku suka sama teman cowok dan menceritakannya kepada tujuh orang teman. Dari ketujuh teman yang kuajak bercerita ternyata hanya seorang teman yang men-support dan menerima keadaanku. Sementara teman yang lain bereaksi negatif. Ada seorang teman yang bilang, ‘Saya takut duduk sebangku dengan Ady karena takut ketularan. Dia khan homo. Katanya kalau kita kena ludahnya maka akan jadi homo juga’.”
Untunglah pertemanan di antara mereka tidak putus dan teman-temannya masih menjaga perasaan. Ady pun sangat bersyukur karena mempunyai seorang teman yang sangat men-support dan sampai sekarang masih menjalin persahabatan.
“Walaupun aku merasa sebagai seorang gay, tetapi sampai sekarang masih mengekspor diri aku. Someday, jika aku punya hasrat seksual atau perasaan romantis terhadap seseorang selain pria, ya oke. Kita mungkin tidak tahu diri kita yang sekarang karena seksualitas itu berubah-ubah (cair). Aku pernah mengekspor diri aku dengan cara have sex dengan waria, tetapi ternyata aku tidak bisa,” tuturnya.
Ia mencoba mengidentifikasi dirinya, “Aku suka make-up dan baju-baju dress karena memang suka. Sehingga orang sering mengatakan aku transgender, tetapi aku sendiri tidak tahu. Aku suka keindahan, kecantikan, dan bereksperimen dengan berdandan di kamar. Tetapi kalau mengindikasi diri sebagai perempuan, so far enggak. Jadi lebih kepada ekspresinya. Karena kalau secara seksual aku lebih senang pada alat kelaminku sendiri. Aku lebih suka seperti ini.”
Suatu waktu ketika ia masih SMP, Ady berjalan di sebuah jembatan dan tiba-tiba merasa bahwa dirinya adalah seorang gay. Tapi sering kali kesadaran tentang dirinya sebagai seorang gay yang suka sesama cowok menguap. Ia merasa bahwa mungkin kesadaran itu hanya one time think. Mungkin suatu saat dirinya merasa akan suka sama cewek juga. Jadi sampai sekarang Ady masih mencari identitas gendernya.
Selama ini Ady merasa ada seorang teman yang menerima dan men-support-nya. Hal itu mungkin dikarenakan temannya yang memiliki pengetahuan yang agak luas dan menganggap wajar pernyataan dan sikap Ady. Ia juga merasa bahwa sahabatnya sangat menghargai. Mereka telah berteman sejak SMP dan sama-sama kuliah di Perguruan Tinggi Swasta ternama di Jakarta. Tetapi karena Ady tidak tahan dengan suasana yang homophobic di sana, akhirnya memutuskan pindah. By the way, sahabatnya Ady seorang cewek.
Terhadap keluarganya sendiri, Ady tidak pernah coming out. Mungkin karena keluarganya sering mendengar dirinya dipanggil bencong oleh teman-temannya. Tetapi ada sebuah moment di mana mamanya mempertanyakan identitas Ady. Saat itu mama kehilangan HP dan kemudian meminjam HP milik Ady. Ternyata, akun FB miliknya belum log out sehingga mamanya membaca obrolan-obrolan dirinya bersama cowok di internet.
“Kamu suka sama cowok ya?” tanya mama kepada Ady. Ia sangat kaget, takut dan bingung dan tanpa sadar menjawab, “Iya.”
Kemudian Ady sangat kecewa dengan jawaban mamanya, “Enggak koq, kamu bukan gay. Kamu sedang bingung saja mungkin.”
Sebenarnya Ady sangat menginginkan jawaban bijak dari mamanya. Tetapi bukan jawaban bijak dan penerimaan yang didapat. Sehingga ia merasakan kecewa yang sangat mendalam. Memang kesempatan untuk bertemu mama tidak banyak, karena mereka terpisah oleh keadaan dan tidak bertemu setiap hari. Meraka hanya bertemu sebulan sekali. Sehingga Ady sangat menginginkan agar momen pertemuan dengan mamanya menjadi momen untuk saling mendekatkan dan men-support.
Kekecewaan Ady semakin memuncak ketika pertemuan selanjutnya mama bilang, “Ya bagaimana lagi, mau di bunuh juga enggak bisa.”
“Aku sempat shock, tadinya kami sangat dekat dan tiba-tiba dia mengatakan semua itu sehingga aku merasa ill feel jadinya. Tadinya aku mengira dia yang paling mengerti aku, dia yang aku bisa ajak mengobrol. Satu-satunya koneksi emosional yang aku punya sepertinya hanya dia saja. Tiba-tiba dia berkata seperti itu. Aku berharap walaupun awalnya mama kaget dengan jawabanku tetapi seiring berjalannya waktu akan bisa mengerti keadaanku, “ tuturnya sedih.
Sementara kakek dan nenek yang sehari-harinya mengurus Ady dan adik-adiknya terkesan menghindar membicarakan masalah identitas demi menjaga keharmonisan keluarga.
Sebelum coming out ia merasakan sebuah kebingungan dan muncul pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Kalau jadi gay ada enggak yang mau dengan gue? Punya teman enggak ya gue? Kalau sudah tua nanti bagaimana kalau harus sendirian karena tidak punya anak? Apakah keluargaku akan menerima apa tidak?
Karena merasa menahan rahasia yang sangat besar, ada kegelisahan yang mendalam dan mendorong dirinya untuk menceritakan identitas dirinya kepada teman-teman dan sahabatnya yang selama ini sangat dekat.
Menurut Ady, “sebelum coming out tentunya kita harus coming in dulu. Sebenarnya yang berat itu proses coming in, karena ada pergulatan batin dan harus berdialog dengan diri sendiri. Walaupun setelah coming out rasa takut itu masih saja tetap ada, tetapi setidaknya sekarang ada teman yang memberikan support dan meyakinkan. Ketika kita merasa ragu, surrounding by the people itu benar-benar support dan bermanfaat.
Setelah coming out, Ady merasa lebih percaya diri, lebih yakin dan nyaman bersama diri sendiri dan teman-temannya. Misalnya, bisa membicarakan cowok yang disuka. Tetapi memang proses coming out harus hati-hati dan tidak boleh kepada sembarang orang. Karena kalau salah orang, bisa jadi mereka justru akan berbuat kasar, melecehkan dan melakukan kekerasan.
Tulisan inia dalah lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul [Kisah] Cara Ady Melawan Tindakan Abusif – SuaraKita.