Oleh: Siti Rubaidah
SuaraKita – Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahunnya angka kematian di dunia akibat bunuh diri adalah 800.000 orang untuk setiap tahunnya. Sedangkan di Indonesia, menurut catatan WHO tahun 2016 menyebutkan prevalensi bunuh diri di Indonesia mencapai 3,7 per 100.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 258 juta berarti di Indonesia setiap jam ada satu orang yang bunuh diri. Sebuah angka yang cukup mengkhawatirkan.
Bunuh diri menjadi penyebab utama kematian secara global nomor lima di antara mereka yang berusia 30-49 tahun. Bahkan bunuh diri menyumbang 1,4 persen dari semua kematian di seluruh dunia. Sebagai kampanye untuk mengurangi angka kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia, digagaslah World Suicide Prevention Day yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 10 September, dan dimulai pertama kalinya pada tahun 2003. Peringatan dan kampanye ini untuk pertama kalinya digagas oleh IASP (International Association for Suicide Prevention) dan WHO.
Untuk membahas lebih mendalam kampanye anti bunuh diri bagi masyarakat khususnya di kelompok minoritas seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual and Transgender) kali ini Tim Redaksi SuaraKita.org melakukan wawancara dengan Dr. Livia Iskandar, Psi di kantornya Pulih at The Peak, Jalan Ahmad Dahlan No 45.
“Saya baru menyadari bahwa 10 September adalah Suicide Prevention Day. Pulih at The Peak sendiri pernah mengadakan acara yang membahas apa itu depresi, tentang serba-serbi depresi, dan kenapa terjadi? Depresi adalah masalah besar yang seringkali tidak dianggap serius sampai ketika kita menemukan implikasinya, yaitu bunuh diri telah terjadi. Salah satu dampaknya orang yang depresif rentan berpikir untuk menyudahi hidupnya. Memang ada yang masih pada tahap ide saja atau yang disebut suicidal ideation dan ada yang sudah sangat rinci merencanakan,” kata Livia mengawali.
“Ternyata dari statistik ditemukan bahwa laki-laki lebih akurat melakukan bunuh diri dibandingkan dengan perempuan.Perbandingannya adalah 1 laki-laki : 4 perempuan. Tetapi 1 laki-laki yang berniat bunuh diri tersebut lebih matang dalam merencanakan bunuh dirinya, sementara 4 perempuan yang berniat bunuh diri masih pada tataran ide dan masih ada kesempatan untuk connecting to other people, sehingga lebih banyak yang tertolong,”
Dari kasus yang ditangani Pulih at The Peak ada yang baru suicidal ideation, tetapi bisa dicegah dengan mencari orang-orang yang bisa diajak bicara. Biasanya mereka menulis surat dulu, mengontak teman, dll. Kebanyakan kasus yang ditangani adalah perempuan yang mendapat kekerasan dalam rumah tangga dan sudah bingung dengan apa yang mereka alami sehingga mencoba bunuh diri walaupun tidak berhasil.
“Kita juga sering mendengar bunuh diri yang dialami oleh anak yang mengalami cyber bullying, seperti kejadian pada dua anak laki-laki di UI (Universitas Indonesia) beberapa waktu yang lalu. Biasanya orang yang depresi kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Dan itu akan diperparah dengan segala penolakan yang dialaminya, terutama bagi kelompok minoritas khususnya kelompok LGBT.”
Untuk kelompok minoritas sendiri kondisinya memang jauh lebih sulit, mulai dari penolakan keluarga intinya, keluarga besarnya sampai penolakan lingkungan. Riset terhadap kelompok transgender yang pernah dilakukannya menunjukkan banyak transgender yang berniat bunuh diri karena merasa aneh, merasa menjadi orang lain dan terkucil. Juga karena mendapatkan tekanan baik secara fisik maupun psikis dari teman-teman sekolahnya karena mereka dianggap berbeda. Banyak yang menerima pukulan dari keluarganya sampai DO dari sekolah, dan ketika menjadi anak jalanan kerentanan bunuh diri semakin besar.
Kita bisa melihat kasus Robin Wiliams, di balik aktingnya yang membuat banyak orang tertawa ternyata terpendam kesedihan yang cukup mendalam. Dan ketika tiba-tiba terdengar kabar bunuh dirinya, semua orang tercengang, karena di filmnya yang banyak komedi dia terlihat sangat ceria.
Menurut Livia, “Dari hasil wawancara saya dengan para transgender memang mereka mengalami situasi sulit karena penolakan lingkungan terhadap mereka. Kesulitannya memang karena adanya stigma terhadap kelompok LGBT.”
Tentang risetnya Livia menjelaskan, “Saat itu saya diminta oleh lembaga internasional untuk mengembangkan suatu policy paper (kertas kebijakan) untuk meningkatkan kualitas hidup transgender. Untuk keperluan itu saya datang ke Shelter yang di Depok, wawancara via telpon dan banyak dari mereka yang bercerita tentang perjalanan hidup mereka yang lumayan rumit.”
Sayangnya setelah selesai, Livia tidak mengetahui kelanjutan nasib kertas kebijakan yang diajukannya kepada pemerintah.
“Saya tidak tahu kelanjutannya karena setelah itu terjadilah kejadian-kejadian itu (red: euforia anti LGBT). Tetapi memang pemerintah saat itu meminta agar kami tidak menggunakan istilah LGBT tetapi menggunakan istilah SOGIE (Sex Orientation dan Gender Identity). Karena menurut mereka istilah SOGIE dianggap tidak memberi labelling dan mempunyai interpretasi yang lebih luas ketimbang istilah LGBT yang terkesan labelling. Sehingga pada akhirnya saya rubah semua istilah LGBT dengan istilah SOGIE waktu itu.”
“Walaupun angka bunuh diri di Indonesia cukup tinggi, tetapi akses untuk kesehatan mental di Indonesia memang masih sangat terbatas,” kata Livia Iskandar menyayangkan.
*Jika teman-teman membutuhkan pertolongan terkait isu-isu bunuh diri, hubungi Pulih at the Peak di halaman Facebook-nya atau kirim email di pulihatthepeak@gmail.com