Search
Close this search box.

indonesia_id_jakarta_flag_map-rd3cc2c427ad84230b8b543c88853c7f3_v9wxo_8byvr_512SuaraKita.org – Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dirilis pada 2011, Indonesia mempunyai sekitar 50 juta hingga 70 juta jiwa masyarakat adat. Mereka menyebar luas mulai dari Sabang hingga Merauke dengan aneka ragam kepercayaan, adat istiadat, dan budaya yang dimiliki mereka. Namun, karena jumlah mereka kalah banyak dibandingkan jumlah keseluruhan penduduk Indonesia, mereka dianggap sebagai minoritas dan mereka sering kali mendapat diskriminasi. Diskriminasi terhadap kelompok penganut agama atau kepercayaan adat, seperti penganut ajaran kepercayaan, Sunda Wiwitan, Djawa Sunda, Parmalem, Kaharingan dan lain lain kerap kali dialami oleh para pengikutnya. Mirisnya, diskriminasi ini dilakukan oleh kepercayaan “pendatang”.

Sebagai contoh, Rusman adalah penganut agama Djawa Sunda. Kantor catatan sipil tetap tidak mau mencatat pernikahan Rusman karena ajaran agama yang diyakininya tidak diakui. Sampai sekarang, Kantor Catatan Sipil Kuningan hanya mengakomodasi pencatatan pernikahan untuk para penganut ajaran Islam, Katolik, Budha, Hindu dan Protestan. Tidak adanya surat nikah ini berdampak banyak bagi kehidupan Rusman sebagai pegawai negeri sipil di Kabupaten Kuningan.

”Dampaknya ya banyak, sebagai pegawai negeri, saya tidak diakui dalam perkawinan. Istri saya tidak mendapatkan tunjangan, anak saya juga tidak dapat. Bahkan mau bikin akte kelahiran saja anak saya tercatat lahir dari seorang ibu. Apakah istri saya pelacur atau bagaimana itu kan harus jelas.” Kata Rusman

Rusman telah melakukan upaya agar pernikahannya tercatat, dengan menikah ulang di Bandung. Tapi sialnya, ketika baru masuk ruang kantor pencatatan sipil, Rusman dan istrinya malah diusir keluar ruangan. Rusman terheran-heran, ia merasa seperti diasingkan dari negerinya sendiri. Apalagi ia merasa telah menjadi warga negara yang baik selama ini.

Sejak tahun 2007 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendeklaraskani soal pentingnya pengakuan atas hak masyarakat adat di seluruh dunia. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples ) adalah sebuah deklarasi yang disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) dalam sesi ke-61-nya di Markas PBB di New York, 13 September 2007. Deklarasi ini menggariskan hak individual dan kolektif para penduduk asli (pribumi), dan juga hak mereka terhadap budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan isu-isu lainnya. Deklarasi ini juga menekankan hak mereka untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka, dan hak mereka akan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap penduduk asli, dan memajukan partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah mereka, serta hak mereka untuk tetap berbeda, dan mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri.

Dalam deklarasi tersebut, terdapat 46 pasal yang memuat hak-hak dan kewajiban negara untuk mengakui identitas—beserta seluruh elemennya—masyarakat adat yang tinggal di sebuah negara.
Khusus dalam soal agama, kepercayaan lokal, dan budaya, hak-hak tersebut tercantum dalam pasal 11 ayat (1) dan (2), pasal 12 ayat (1), pasal 31 ayat (1), pasal 32 ayat (3), dan pasal 36 ayat (1).

Pasal 12 ayat (1) berbunyi: masyarakat adat mempunyai hak untuk menunjukkan, menjalankan, mengembangkan dan mengajarkan tradisi upacara, adat-istiadat, agama dan spiritual mereka; mempunyai hak untuk mengelola, menjaga, dan mempunyai akses khusus pada situs-situs agama dan budaya mereka; mempunyai hak untuk menggunakan dan mengontrol objek-objek upacara mereka; dan mempunyai hak untuk pemulangan atas jenazah mereka.

Adanya pengakuan atas hak-hak atas agama dan budaya masyarakat adat dari PBB itu sudah seharusnya menjadi landasan dasar atas berbagai peraturan dan perundang-undangan yang menyangkut masyarakat dan kepercayaan lokal di Indonesia. Namun yang terjadi adalah masih ada sikap diskriminatif terhadap mereka. Seperti inilah nasib yang dialami kaum minoritas di Indonesia. Selamat Hari Masyarakat Adat Internasional*. (R.A.W)

 

*PBB menetapkan 9 Agustus sebagai Hari Masyarakat Adat Internasional dalam Sidang Umum PBB tanggal 23 Desember 1994

 

 

Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples ) dapat diunduh dibawah ini.

[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2016/08/DEKLARASI-PERSERIKATAN-BANGSA-BANGSA-TENTANG-HAK-HAK-MASYARAKAT-ADAT-1.pdf”]

 

Sumber:

wikipedia

dw.com

UN.org

Kompas