Search
Close this search box.

[Opini] LGBT dan Islam

Oleh: Khoirul Anwar*

Dalil LGBT Dalam Al-Quran

Suarakita.org – Dalam al-Quran tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit menolak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Pun sebaliknya, tidak ada ayat yang secara terang benderang menerimanya. Karena itu setiap orang berhak untuk menggali makna yang lebih relevan dan humanis tentang persoalan yang kerap menuai pro dan kontra ini.

Tulisan di bawah ini akan mengurai ayat-ayat al-Quran yang kerap dipahami sebagai “dalil larangan LGBT”, dan menawarkan ayat yang dapat dijadikan “dalil diterimanya LGBT” dalam Islam.

Pendapat yang menolak LGBT semuanya berdasarkan pada ayat-ayat yang menceritakan tentang kisah nabi Luth, seperti dalam QS. Al-A’raf 80-81.

Pesan yang hendak disampaikan dalam kisah ini bukan sebagai larangan LGBT, tapi sebagai “cerita penghibur” untuk menguatkan mental nabi Muhammad dalam berdakwah yang ditolak masyarakatnya dari suku Quraisy.

Pesan demikian dapat ditangkap apabila ayat di atas dibaca secara utuh, yakni dengan memperhatikan konteks historisnya (sabab an-nuzûl), dan hubungannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya (munâsabah baina al-âyi).

Ayat tersebut diturunkan di Makkah pada saat dakwah nabi ditolak, terutama dari para pembesar suku Quraisy. Karena itu, melalui serangkaian ayat sebelum dan sesudahnya yang berisi tentang kisah para rasul yang mengalami penolakan dari umatnya, nabi Saw dimotivasi untuk tidak patah semangat dalam berdakwah menegakkan Hak Asasi Manusia dan membela kaum lemah yang termarginalkan (mustadl’afîn) sebagaimana para pendahulunya.[1]

Pemahaman ini dibuktikan juga dengan penyebutan kata “Luth” dalam al-Quran yang diungkapkan sebanyak 27 kali, semuanya muncul dalam narasi kisah perjuangan seorang rasul yang ditolak umatnya.[2]

LGBT dalam al-Quran justru mendapatkan tempatnya jika kita menyadari bahwa keragaman orientasi seksual bagian dari sesuatu yang bersifat bawaan (alamiah, tabiat). Dalam QS. Al-Isrâ` 84 dinyatakan: “Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (syâkilatih) masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”

Kata syâkilah dalam kamus Lisânu al-‘Arab memiliki makna ciptaan (khalîqah), bentuk (asy-syakl), haluan (tharîqah), orientasi (jadîlah).[3]

Dalam al-Quran juga ada janji bahwa kelak penghuni sorga akan didampingi anak-anak muda cakep yang tak akan pernah berubah menjadi tua atau disebut dengan wildân mukhalladûn (Lihat misalnya QS. Al-Wâqi’ah 17, QS. Al-Insân 19, Ath-Thûr 24).

Jadi, janji al-Quran tentang kehidupan di sorga kepada masyarakat Arab masa nabi Muhammad, tidak hanya bidadari atau hunian yang di bawahnya ada sungai mengalir, tapi disediakan juga anak-anak muda berwajah tampan.

Janji al-Quran erat kaitannya dengan kondisi masyarakat yang diajak berbicara, artinya disesuaikan dengan imajinasi masyarakat dimana al-Quran diturunkan. Dalam perkataan lain, ketika al-Quran diwahyukan ada banyak lelaki yang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak muda tampan. Karena itu al-Quran menjanjikan demikian.

Dalam QS. An-Nur 31 yang berbicara perintah menutup aurat disebutkan bahwa perempuan beriman boleh membuka auratnya antara lain di hadapan “ghairi ulil irbah minar rijal (lelaki yang tidak punya nafsu syahwati terhadap perempuan)”.

Para mufassir berbeda pendapat tentang maksud dari makna ini, yakni siapa yang berhak mendapat label istilah itu. Sebagian mufassir memaknainya sebagai lelaki tua yang tidak punya gairah lagi terhadap perempuan. Sedangkan menurut Mujahid, sebagai orang bodoh atau pandir (al-ablah), menurut ‘Ikrimah bermakna lelaki yang kecenderungan seksualnya terhadap sesama jenis atau waria (al-mukhannats).[4]

Respon al-Quran terhadap lelaki yang punya hasrat seksual kepada sesama jenis ini menunjukkan bahwa LGBT bagian dari kewajaran, atau dalam istilah QS. Al-Isrâ` 84 di atas sebagai syâkilah, bentuk keragaman orientasi seksual yang tak perlu diingkari. Perbedaan yang menjadi fitrah tak perlu dipertengkarkan dan diperebutkan kebenarannya, karena dalam wilayah seperti ini yang tahu kebenaran hakikinya hanya Allah, fa rabbukum a’lamu bi man huwa ahdâ sabîlâ.

Kewajaran ragam orientasi seksual seperti ini diperkuat dengan beberapa riwayat yang menginformasikan bahwa dalam sejarah Islam banyak orang yang menyalurkan hasrat seksualnya kepada sesama jenis.

Seperti dikutip Muhammad Jalal Kisyk dalam bukunya, Khawâthir Muslim fî al-Mas`alah al-Jinsiyyah, Ibnu Hazm menginformasikan bahwa Muhammad putra dari Abdurrahman bin al-Hakam, pahlawan perang, ketika memegang tampuk kerajaan menggantikan ayahnya memiliki menteri (al-wazîr) dua anak muda berwajah tampan yang setiap malam salah satu darinya menemani tidur bersamanya.

Hal ini pernah diketahui Abî ‘Abbâs ketika menginap di istananya. Malam itu Abî ‘Abbâs menyaksikan dua anak muda tampan dipanggil Muhammad bin Abdurrahman bin Hakam. Muhammad bin Abdurrahman mengundang salah satu dari menteri yang berwajah tampan itu masuk ke dalam kamarnya, dan Muhammad dalam keadaan baju terbuka. Lalu setelah anak muda tampan itu masuk ke kamar tempat tidur Muhammad, Muhammad menutup pintu. Keduanya berada dalam satu kamar.[5]

Kisah-kisah roman sesama jenis dalam literatur Arab Islam, khususnya Âdab (humaniora) sangat mudah dijumpai. Cinta sesama jenis, homoseks, atau dalam istilah yang lebih kekinian dan mencakup banyak ragam orientasi seksual, LGBT, bagian dari ragam yang tak perlu disingkirkan. Itu bagian dari titah Tuhan seperti yang diserukan al-Quran.

 

Sikap Nabi Muhammad Terhadap LGBT

‘Aisyah binti Abi Bakar, istri nabi Muhammad Saw bercerita: “Suatu ketika ada seorang lelaki masuk ke dalam rumah yang ditempati para istri nabi. Istri-istri nabi menganggap lelaki itu sebagai orang yang tidak punya hasrat seksual terhadap perempuan (ghairu ulî al-`irbah). Pada hari berikutnya nabi mendapati orang itu berada di sisi istri-istri nabi sedang berbicara tentang lekukan-lekukan tubuh perempuan. Menyaksikan hal itu, nabi melarang para istrinya mempersilahkan orang itu masuk ke dalam ruangannya.”

Hadis ini dijadikan dasar oleh ath-Thabari dalam menafsirkan kata “at-tâbi’îna ghairi ûlî al-`irbah mina ar-rijâl (para pengikut lelaki yang tidak memiliki keinginan) dalam QS. an-Nûr 31. Kata ini oleh ath-Thabari ditafsirkan dengan “orang-orang yang ikut kalian karena makanan. Mereka makan makanan di sisi kalian. Mereka itu para lelaki yang tidak memiliki hasrat terhadap perempuan, tidak membutuhkan, dan tidak menginginkannya.”[6]

Ayat di atas berbicara tentang aurat perempuan yang tidak boleh dibuka dihadapan orang lain kecuali kepada keluarga dan orang-orang yang tidak punya hasrat seksual kepadanya. Para istri nabi mempersilahkan masuk kepada lelaki yang diduga sebagai “lelaki yang tidak punya hasrat seksual terhadapnya” dan bercengkerama bersama. Karena di hadapan lelaki yang ghairi ûlî al-`irbah perempuan boleh tidak menutup aurat.

Tapi ternyata dugaan para istri nabi meleset. Lelaki yang dianggap waria (mukhannats) oleh para istri nabi, dalam pandangan nabi bukan. Melainkan sebagai “waria palsu”, yakni lelaki yang punya hasrat seksual kepada perempuan namun menyamar tidak punya hasrat. Nabi menggunakan bukti: lelaki itu berbicara tentang lekukan-lekukan tubuh perempuan.

Karena itu nabi memerintahkan kepada para istrinya untuk tidak memperbolehkan lelaki itu masuk ke rumahnya dan berkumpul dengan istri-istri nabi. Para istri nabi juga diperintah menutup aurat di hadapannya.

Informasi ini memberikan pelajaran bahwa, nabi dan para istrinya mentolerir keberadaan “waria” yang alami. Ketika para istri nabi menduga lelaki yang masuk ke rumahnya tidak punya hasrat seksual kepada perempuan, para istri nabi mempersilahkan dan nabi menerimanya. Waria ini kemudian diusir karena terbukti bukan alami, tapi jadi-jadian.

Tak hanya itu, waria palsu ini juga kerap menceritakan “bagian dalam” tubuh perempuan yang ia jumpai kepada teman-teman lelakinya.

Faktor kepalsuan dan menebar fitnah ini yang menjadikan nabi mengusirnya dari rumah. Dalam riwayat lain, nabi mengutuknya.[7]

Waria yang dilaknat dan dilarang nabi berkumpul tertentu pada waria palsu, yakni lelaki yang sebenarnya memiliki hasrat seksual kepada lawan jenis (heteroseksual), bukan waria alami yang tak memiliki hasrat seksual kepada perempuan (homoseksual).

Untuk lelaki homoseks atau dalam bahasa al-Quran “ghairi ûlî al-`irbah” nabi menerimanya. Para istri nabi mempersilahkan ketika menduga lelaki yang masuk seperti ini.

Hadis di atas juga memberikan pemahaman bahwa manusia memiliki keberagaman orientasi seksual. Waria alami memiliki orientasi seksual kepada sesama (homoseksual), sedangkan waria palsu punya hasrat kepada perempuan (heteroseksual). Yang alami inilah yang ditoleransi nabi Muhammad Saw.

Jawad Ali dalam bukunya, al-Mufashshal fî Târîkh al-‘Arab Qabla al-Islâm, menginformasikan bahwa waria di dalam masyarakat Arab pra Islam memiliki tempat yang sangat terhormat.

Waria pra Islam memiliki pekerjaan sebagai penghibur. Ketika ada satu keluarga berduka karena ada yang meninggal dunia, maka untuk menghilangkan kesedihan yang berlarut-larut seseorang akan mendatangkan waria untuk menggembirakannya. Dalam hiburan ini, waria akan bernyanyi atau melawak.

Waria Arab pra Islam senang berkumpul dengan perempuan, mereka memposisikan dirinya sebagaimana perempuan, baik dalam pergaulan, berdandan, maupun berjalan.

Beberapa nama waria yang populer pada masa pra Islam dan nabi Muhammad antara lain Hit, Haram, dan Mati’. Sedangkan nama waria yang lahir setelah Islam datang dan sukses menjadi penyanyi adalah Thuwais.

Thuwais tercatat sebagai orang yang pertama kali menyanyi di Madinah setelah Islam datang, lagu-lagunya dapat menghipnotis penonton. Thuwais membuat lagu-lagu sendiri dengan mengelaborasi beberapa lirik lagu dari tawanan Persi.[8]

Selain beberapa nama waria di atas, masih banyak sederet nama-nama waria pra Islam dan masa nabi Muhammad yang diabadikan dalam buku-buku sejarah. Waria-waria ini selain menyanyi, juga melawak dan membuat puisi.

Sejarah mencatat, bahwa nabi Muhammad menerima keberadaan waria. Dan nabi menolak segala bentuk kepalsuan, serta orang-orang yang suka menebar fitnah.

Toleransi nabi Muhammad terhadap keragaman orientasi seksual ini dibuktikan juga dengan sikap nabi yang tidak pernah menghukum homoseksual.

 

Tak Ada Hukuman Bagi LGBT

Adakah hukuman bagi homoseks dalam Islam? Bagi yang menganggap homoseks sebagai “penyimpangan” atau dalam bahasa agama, “maksiat”, maka akan menjawab: pelaku homoseksual harus dihukum di dunia, dan akan mendapat siksa di akhirat.

Pandangan demikian dapat dimaklumi mengingat ada beberapa “hadis” (dengan tanda petik) yang berisi tentang hukuman bagi homoseksual. Namun persoalannya, apakah referensi keagamaan yang dijadikan pijakan hukum itu benar-benar bersumber dari nabi Muhammad? Ini poin penting yang tak boleh diabaikan, apalagi menyangkut nyawa manusia.

Hukuman bagi homoseks yang terdapat dalam perkataan yang diduga sebagai “hadis” nabi Muhammad ada dua: yaitu 1) homoseks dihukum mati, atau 2) dirajam (dilempari batu).

Hukuman ini berdasarkan pada “hadis”: “Barang siapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan seperti perbuatan kaum nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan orang yang menjadi objeknya (man wajadtumûhu ya’malu ‘amala qaumi lûth, faqtulû al-fâ’il wa al-maf’ûl bih).”

“Hadis” ini diriwayatkan oleh ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad, dari ‘Amr bin Abî ‘Amr, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbâs. Terdapat dalam kitab: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal hadis no. 2732, Sunan Ibni Mâjah hadis no. 2561, Sunan Abî Dawud no. 4462, Sunan at-Turmudzi no. 1456, dan yang lainnya.

“Hadis” ini oleh para pakar hadis dinilai lemah (dla’îf) atau tidak bisa dijadikan referensi hukum karena diriwayatkan oleh ‘Ikrimah, rawi atau informan hadis yang tidak dapat dipercaya.[9]

Sedangkan “hadis” tentang hukuman rajam bagi homoseks berbunyi: “Rajamlah ‘orang yang berada di atas’ [top] dan ‘orang yang berada di bawah’ [bottom]. Rajamlah keduanya secara keseluruhan (Urjumû al-a’lâ wa al-asfal. Urjumûhumâ jamî’â).”

“Hadis” ini diriwayatkan oleh ‘Âshim bin ‘Umar, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abi Hurairah. Tertulis dalam kitab Sunan Ibni Mâjah no. 2562. Menurut at-Turmudzi, ‘Âshim bin ‘Umar hafalannya lemah. Karena itu nilai hadisnya dlâ’if.[10]

Berdasarkan penilaian muhadditsîn atau pakar hadis sendiri, “hadis” tentang hukuman bagi homoseks tidak bisa dijadikan landasan agama untuk menghukum homoseks. Kesimpulan demikian diperkuat dengan perkataan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa nabi Muhammad tidak pernah menghukum homoseks.

Hanya saja Ibnu al-Qayyim beranggapan, alasan yang melatari nabi tidak pernah menghukum homoseks karena masyarakat Arab masa itu tidak mengenalnya. Sehingga tidak ada aduan kasus homoseksual yang sampai kepada nabi.[11]

Persoalannya kemudian, benarkah masyarakat Arab masa nabi Muhammad dan setelahnya tidak mengenal hasrat seksual sesama jenis? Agaknya sangat mustahil jika tidak mengenalnya.

Dalam sejarah manusia, homoseksual selalu ada. Hanya saja terkadang tidak muncul dipermukaan lantaran hubungan sesama jenis sulit diketahui daripada orang yang menjalin hubungan dengan lawan jenis. Selain itu ada faktor-faktor lain yang menjadikannya lebih tertutup, seperti ketakutan terhadap kelompok yang menentang.

Pada masa pra Islam hingga masa nabi Muhammad, keberadaan homoseks sedikit terbuka. Hal ini ditandai dengan nabi mempersilahkan waria masuk ke dalam rumahnya dan membiarkan waria menyanyi di Madinah.

Bahkan ada “hadis” yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa nabi Muhammad tidak mau menghukum orang yang suka melihat wajah anak muda tampan (al-amrad al-jamîl al-wajh).[12]

Tapi “hadis” ini oleh al-Baihaqi sendiri dinilai dla’îf. Karena itu dalam tulisan ini “hadis” yang berisi sikap nabi yang memperbolehkan sahabatnya menyalurkan hasrat melihat ketampanan wajah sesama jenis yang menarik tidak dijadikan dasar hukum, supaya selalu berpijak pada hadis yang benar-benar hadis (shahîh).

Pasca nabi Muhammad mengusir “waria palsu” yang kerap menceritakan bagian dalam tubuh para perempuan, keberadaan orang-orang yang tidak punya hasrat seksual kepada lawan jenis menjadi tertutup.

Memasuki masa kodifikasi ilmu-ilmu keislaman, termasuk di dalamnya hadis, fikih, sejarah, dan yang lainnya, keberadaan homoseks menjadi lebih tertutup. Bahkan keberadaannya dalam sejarah Arab Islam tidak diakui. Hal ini tercermin dalam perkataan Walîd bin Abdul Malik, Khalifah bani Umayyah:

“Andai Allah tidak menyebut kaum Luth dalam al-Quran, maka aku tidak akan pernah menduga kalau seorang lelaki dapat melakukan hubungan seksual dengan sesama lelaki.”[13]

Pernyataan demikian tidak lebih dari upaya seorang penguasa untuk mencitrakan diri dan rakyatnya yang seakan-akan bersih dari homoseks. Citra ini didorong oleh rasa ketakutan terhadap ahli hukum Islam saat itu atau fuqahâ` yang mengecam homoseksual akibat penafsirannya yang tekstual.

Hukum Islam atau fikih sejak dahulu selalu menghegemoni kehidupan umat Islam daripada wacana lain seperti tasawuf yang lebih mengedepankan sikap toleran kepada liyan.

Para sarjana hukum Islam masa lampau kerap menerima hadis tanpa ada verifikasi terlebih dahulu. Akibatnya, hadis yang menurut muhadditsîn sendiri lemah dan tidak bisa dijadikan sumber hukum, oleh fuqahâ` tetap dijadikan dasar penggalian hukum Islam.

Sejak ini “cinta sesama jenis” seakan terlarang. Tak hanya itu, homoseks juga dianggap sebagai “penyimpangan” dan perilaku yang tidak bermoral. Tapi apakah dunia Arab Islam memang bersih dari homoseks seperti yang dicitrakan Khalifah Walîd bin Abdul Malik? Tidak. Homoseks tetap ada, dan bergerak secara tertutup.

Adz-Dzahabi dalam bukunya, Târîkh al-Islâm, menceritakan bahwa Khalifah Walîd bin Abdul Malik sendiri adalah seorang pelaku homoseksual.[14]

Khalifah ‘Abbâsiyah Muhammad bin Hârûn juga suka kepada sesama jenis dan menolak perempuan, baik perempuan merdeka maupun hamba sahaya. Ia memilih dilayani dan “menyepi (khalwat)” bersama lelaki pada malam maupun siang hari.[15]

Kisah-kisah demikian menginformasikan kepada kita, bahwa homoseksual dalam lintas sejarah Arab-Islam dibenci dalam ruang terbuka, tapi dinikmati dalam ruang sunyi.

 

Daftar Pustaka

Adz-Dzahabi, Târîkh al-Islâm wa Waffiyât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, cet. I, 2003, Dâr al-Gharb al-Islâmî

Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, cet. I, 2001, Mu`assasah ar-Risâlah

Al-Baihaqî, As-Sunan al-Kubrâ, cet. III, 2003, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah

Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, cet. I, 1422 H., Dâr Thûq an-Najâh

Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, cet. I, 2000, Mu`assasah ar-Risâlah

__________, Târîkh ar-Rusul wa al-Mulûk, cet. II, 1387, Beirut: Dâr at-Turâts

At-Turmudzi, Al-‘Ilal al-Kabîr, cet. I, 1409, Beirut: Maktabah an-Nahdlah al-‘Arabiyah

__________, Sunan at-Turmudzi, 1998, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî

Bakr bin Abdullah, Al-Hudûd wa at-Ta’zîrât ‘inda Ibn al-Qayyim, cet. II, 1415, Saudi: Dâr al-‘Âshimah

Ibnu Katsîr, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 1986, Dâr al-Fikr

Ibnu Mandhûr, Lisân al-‘Arab, cet. III, 1414 H., Beirut: Dâr Shâdir

Jawad Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh al-‘Arab Qabla al-Islâm, tt., Baghdad: Jâmi’ah Baghdâd

Muhammad Jalâl Kisyk, Khawâthir Muslim fî al-Mas`alah al-Jinsiyyah, cet. III, 1992, Kairo: Maktabah at-Turâts al-Islâmî

 

[1] Baca: QS. Al-A’râf 34-186

[2] Lihat dalam QS. Hûd 70, 74, 77, 81, 89, QS. Al-Hijr 59, 61, QS. Al-Hajj 43, QS. Asy-Syu’arâ` 160, 161, 167, QS. An-Naml 56, QS. Al-‘Ankabût 26, QS. Shâd 13, QS. Qâf 13, QS. Al-Qamar 33, 34, QS. At-Tahrîm 10, QS. Al-An’âm 86, QS. Al-A’râf 80, QS. Al-Anbiyâ` 71, 74, QS. An-Naml 54, QS. Al-‘Ankabût 28, 32, 33, QS. Ash-Shâffât 133

[3] Ibnu Mandhûr, Lisân al-‘Arab, cet. III, 1414 H., Beirut: Dâr Shâdir, vol. XI, hal. 357

[4] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, cet. I, 2000, Mu`assasah ar-Risâlah, vol. XIX, hal. 161-163

[5] Muhammad Jalâl Kisyk, Khawâthir Muslim fî al-Mas`alah al-Jinsiyyah, cet. III, 1992, Kairo: Maktabah at-Turâts al-Islâmî, hal. 161-162

[6] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, cet. I, 2000, Mu`assasah ar-Risâlah, vol. XIX, hal. 161-162

[7] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, cet. I, 1422 H., Dâr Thûq an-Najâh, vol. VII, hal. 159

[8]  Jawad Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh al-‘Arab Qabla al-Islâm, tt., Baghdad: Jâmi’ah Baghdâd, vol. V, hal. 42-43

[9] Lihat catatan editor kitab Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal, cet. I, 2001, Mu`assasah ar-Risâlah, vol. IV, hal. 464-465. Juga At-Turmudzi, Al-‘Ilal al-Kabîr, cet. I, 1409, Beirut: Maktabah an-Nahdlah al-‘Arabiyah, hal. 236

[10] At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, 1998, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, vol. III, hal. 110

[11] Bakr bin Abdullah, Al-Hudûd wa at-Ta’zîrât ‘inda Ibn al-Qayyim, cet. II, 1415, Saudi: Dâr al-‘Âshimah, hal. 162-163

[12] Al-Baihaqî, As-Sunan al-Kubrâ, cet. III, 2003, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, vol. VII, hal. 159

[13] Ibnu Katsîr, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 1986, Dâr al-Fikr, vol. IX, hal. 162

[14] Adz-Dzahabi, Târîkh al-Islâm wa Waffiyât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, cet. I, 2003, Dâr al-Gharb al-Islâmî, vol. III, hal. 548

[15] Ath-Thabari, Târîkh ar-Rusul wa al-Mulûk, cet. II, 1387, Beirut: Dâr at-Turâts, vol. VIII, hal. 508-510

 

*Penulis adalah Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA). Tulisan ini pernah dimuat dalam beberapa edisi di website islamlib.com.