Search
Close this search box.

[Cerpen] Dua Ayah dan Satu Cinta

Oleh: Nurdiyansah Dalidjo*

Suarakita.org – Bocah itu tampak kesulitan membuat PR. Ia tengah duduk di kelas 3 SD.

“Ayah, sini, dong, bantuin aku mengerjakan soal Matematika! Ini sulit tau!”

Seorang lelaki dengan usia baru saja melewati pertengahan 20-an, menghampirinya. Di meja makan keduanya menjadi sepasang bapak dan anak lelaki pada umumnya. Ada canda dan senyum pada keduanya yang akan membuat keluarga mana pun menginginkan kebahagiaan yang sama.

Apa yang berbeda dari keluarga ini?

Sang bocah adalah anak lelaki yang diadopsinya ketika ia berumur sekitar 4 tahun. Peristiwanya mungkin dramatis. Bocah itu diambil dari sebuah panti asuhan. Tak ada yang tahu latar belakangnya. Pada suatu subuh, tangisan bayi memecahkan keheningan. Hari itulah yang dijadikan hari lahir sang bayi yang masih merah dan kedinginan di pagar dekat selokan.

Pasangan Ayah, sekaligus orangtua lain dari si bocah, sedang asyik memasak. Tangannya begitu cekatan memotong bawang dan berbagai sayuran padat hingga ukuran kecil-kecil. Si anak sulit memakan sayuran jika tak dipotong kecil dan disamarkan dengan daging. Tangannya yang kokoh akan memainkan sedikit atraksi.

“Hey, lihat kemari!”

Ayah dan bocah berhenti sejenak dan memberikan tepuk tangan dengan decak kagum ketika dilihatnya api menjalar sampai ke atas panci dan bahan-bahan dilempar-lempar ke udara.

“Wah, Papah makin hebat aja, nih!” Bocah kecil itu langsung terlonjak dari kursi makan dan menghampirinya di dapur. “Masak apa, sih? Kok baunya harum! Hmmm… Pasti enak, deh, masakan bikinan Papah.” Dipeluknya paha Papah-nya yang sedang serius memasak. “I love you!”

Ada senyum terpancar di antara ketiga lelaki itu. Seperti ramuan peri telah tersebar. Racikan yang terdiri dari cinta berwarna merah jambu, untaian pelangi saat masih gerimis, serbuk jamur dari hutan hujan tropis, air bening dari mata air pegunungan bersalju, aroma rumput yang berembun, dan tanah basah sehabis hujan. Di banyak tempat, ramuan ini dianggap haram dan dicaci-maki sebagai sebuah dosa. Tetapi ada lebih banyak anak membutuhkan hal yang sederhana: sebuah rumah dan kasih sayang, dibandingkan mendebatkan hal yang kontroversi.

Dua lelaki sedang membesarkan seorang bocah atas nama cinta. Siapa pun bisa mencibir dan menghina. Tapi tak ada yang bisa mengelak rasa bahagia dari apa yang dilihatnya. Entah sampai kapan mereka akan bertahan.

***

Keduanya tidak sendirian membesarkan si bocah mungil yang baru saja disunat. Ada seorang pekerja rumah tangga berusia senja yang dengan setia melayani: si Bibi. Ia seperti nenek bagi si anak. Bagi pasangan kekasih, bagai ibu yang hilang. Ia tak memahami betul soal apa yang sedang terjadi. Agama si Bibi – katanya – melarang apa yang dilakukan tuan-tuannya. Namun kerutan wajahnya sederhana. Seperti dunia yang melihat kebijaksanaan dengan sangat jelas dan nyata. Kebahagiaan ada di rumah ini. Sangat klise, tapi itulah yang terjadi sebenarnya dengan mereka.

Apakah kau percaya? Bahkan aku pun tak mempercayai apa yang kulihat. Ketika selintas pelukan dan ciuman mesra dilakukan sepasang kekasih tersebut setiap pagi dan malam. Keduanya tak hanya akan membuatmu iri, tetapi juga (mungkin) cemburu. Atau kau merasa ada sesuatu yang kosong tak kau miliki, sementara pasangan ini memiliki? Percayalah, kadang aku bisa kesal, sekaligus iri, dan mungkin cemburu.

Pagi-pagi sekali, dua bapak itu keluar rumah bersama si anak. Masing-masing telah berseragam lengkap. Masuk ke dalam sebuah mobil keluarga.

Ayah tampak begitu maskulin. Badannya agak kekar seperti atlet. Tetapi Papah yang berada di usia pertengahan 40 tahun itu tak juga tampak feminin. Keduanya tidak sedang memainkan peran sebagai orangtua yang terdiri dari bapak dan ibu. Aneh! Seharusnya ada keseimbangan yang sedang goyah. Tetapi keduanya tampak baik-baik saja.

Jangan-jangan si anak lelaki ini dibesarkan kelak untuk melayani keduanya? Astaghfirulloh, apakah mungkin mereka yang memiliki senyuman bidadari itu tega melakukannya?

Perumahan ini memang unik. Terletak di pinggiran metropolitan dan menjadi miniatur dari potret pasangan/keluarga urban saat ini. Hanya terdapat 20 rumah. Hampir seluruhnya adalah pekerja kantoran yang pergi pagi dan pulang malam. Tidak semuanya telah menikah, tapi mereka memiliki keluarganya sendiri. Di seberang lain, ada sepasang laki-perempuan yang tidak menikah. Ada ibu tunggal dengan tiga anak. Ada rumah yang saling berhimpitan dihuni oleh suami dan istri secara sendiri-sendiri di atap yang berbeda. Sisanya adalah mereka yang single, tapi juga belum tentu avalaible. Kami lumayan akrab, namun tak banyak mencampuri urusan pribadi. Ah, mungkin saja diam-diam para PRT (pekerja rumah tangga) menjadi detektif bayaran sebagai perantara gosip.

Si Ayah dan Papah ini sangat ramah pada siapa pun. Terutama Papah lebih banyak bergaul dengan para perempuan, baik ibu rumah tangga, perempuan pekerja kepala keluarga, bahkan PRT yang sebagian besar perempuan di sini. Wajah keduanya tampan. Para perempuan selalu tersenyum penuh sipu ketika sepasang lelaki ini keluar rumah dengan celana pendek sambil berlari-lari kecil bersama sang bocah di Sabtu pagi. Kadang, jika keduanya sedang mesra, seperti abang dan adik lelaki saja. Orientasi seksual mereka yang berbeda, tentu saja tak mengubah wajah ganteng mereka berdua. Akui saja, bahwa siapa pun bisa menikmatinya.

Hampir tak ada konflik di dalam rumah tangga itu, selain tangisan si kecil yang kadang bandel. Kita tak selalu tahu apa yang benar-benar terjadi di dalam. Namun urusan di ranah publik, tak melulu mudah. Akte Kelahiran si anak selalu menjadi masalah. Isinya hanya menyatakan nama si Papah sebagai wali. Tak ada nama ibu, sementara tanggal kelahiran adalah hari di mana bayi ditemukan. Waktu si anak hendak memasuki SD, tak ada sekolah negeri yang bersedia menerimanya. Tak ada pilihan, selain sebuah sekolah swasta yang elit di mana setiap kenaikan kelas, keduanya datang menghampiri wali kelas yang berbeda tiap tahunnya untuk menjelaskan latar belakang keluarga si anak. Beberapa guru menyambut dengan senyuman, sementara yang lain menahan segala kecurigaan dan berusaha se-profesional mungkin sebagai guru di sekolah swasta internasional ternama.

Diam-diam si anak mulai curiga ketika menyadari banyak anak memiliki perempuan dewasa yang mendampingi mereka. Bernama “Ibu.” Dengan bijak Ayah mengatakan kalau ada Bibi yang selalu menemani dan siap diajak. Berbeda cara dengan Ayah, Papah akan selalu berterus terang. Ia mengajak si anak berbicara dengan serius seolah ia adalah teman yang akan memahami apa yang akan dijelaskannya.

“Anak-anak bisa punya bapak dan ibu. Laki-laki dan perempuan. Semua anak-anak dilahirkan oleh perempuan, oleh ibu. Ayah dan Papah juga punya ibu. Kamu juga punya ibu. Tetapi anak-anak yang dilahirkan oleh ibu, bisa saja kemudian hanya memiliki bapak saja atau ibu saja. Ada yang salah satu orangtuanya meninggal atau berpisah. Sudah pasti ada yang memiliki bapak dan ibu. Tapi kamu punya dua bapak: Ayah dan Papah.”

Bocah itu menundukkan kepalanya ke bawah dan terdiam. Entah paham atau tidak.

“Kamu kenapa?”

“Tapi aku tetap saja tak punya ibu,” ungkapnya sedih.

“Apa yang ibu dari teman-teman kamu lakukan?”

Si anak mengurutkan para ibu dari deretan nama teman-temannya, mulai dari ibu yang membuatkan bekal, ibu yang mengantar sekolah, ibu yang membelikan tas baru, ibu yang dipanggil “Ibu” atau “Bunda” atau “Mamah,” ibu yang cantik, ibu yang ini dan ibu yang itu.

Lelaki yang dipanggil si anak dengan sebutan Papah itu menjelaskan bahwa mereka memberikan apa yang ibu teman-temannya berikan. Tetapi keduanya lantas sadar kalau si anak membutuhkan sosok perempuan melebihi dari sekedar untuk dipamerkan sebagai bentuk kesempurnaan. Kadang anak-anak bisa sangat kejam dan keduanya pernah memiliki banyak pengalaman bagaimana pertemanan dan kepolosan bisa sangat menyakitkan.

Sejak hari itu, mereka sepakat memanggil Bibi dengan nama baru: Nenek. Dan Nenek yang perempuan mengantarkan si anak ke sekolah setiap hari. Ia menunjukkan bahwa ia juga punya perempuan dalam keluarga.

Bisakah kau bayangkan pikiran gila macam apa yang dimiliki sepasang kekasih ini ketika memutuskan memiliki anak? Keras kepala? Ya, aku berpikir demikian. Aneh, tapi mereka justru tampak lebih ideal daripada keluargaku sendiri. Bukankah kadang desakan perkawinan mungkin adalah keputusan yang keras kepala?

Masa-masa selanjutnya, pertanyaan si anak mulai rumit. Ia bertanya tentang perkawinan, tentang mengapa perempuan kawin dengan laki-laki, apa itu homo, mengapa ia memiliki dua bapak, di mana alamat panti asuhan yang merawatnya ketika bayi, mengapa ada teman yang mengejeknya tak punya ibu, mengapa ada orang yang bilang kalau sesama lelaki atau perempuan tak boleh berciuman, siapakah banci, mengapa perempuan senang berdandan, mengapa laki-laki tidak memakai bedak di wajah, mengapa ada lelaki yang terlihat seperti perempuan, begitu pula sebaliknya, mengapa perempuan punya dada yang membusung, apakah fungsi kelamin….

Pertanyaan-pertanyaan terus datang dan keduanya belajar bagaimana menjawab dengan jujur untuk mudah dipahami oleh seorang anak yang masih duduk di akhir Sekolah Dasar sedang beranjak remaja. Keduanya terlihat lelah, tapi tak pernah sedikit pun menyerah.

Kadang, jika anaknya tak mampu memahami apa yang dijelaskan, Ayah atau Papah kembali menjelaskan. Jika masih sulit, keduanya meminta tolong pada Bibi untuk menjelaskan. Ketika ketiganya tak mampu lagi menjelaskan, mereka cukup dengan memeluk si anak dan memberikan kehangatan yang tanpa perlu penjelasan.

Siapa pun menginginkan ramuan yang telah mereka tebar. Siapa pun ingin mencurinya jika tak bisa mendapatkannya.

***

Suatu ketika si anak pulang dengan keadaan penuh tanah dan luka pada minggu pertamanya di SMP. Ia berkelahi. Seorang teman SD-nya menyindir tentang orangtuanya yang adalah pasangan homo. Matanya bonyok, pipinya lebam, dan pada ujung bibirnya ada cairan merah yang menetes. Ayah menasehati untuk jangan lagi berkelahi. Jika tak bisa menahan diri, lebih baik pergi. Tapi si anak tak terima diperlakukan hina. Ia bersikukuh kalau teman-temannya perlu mendapat pelajaran. Orangtuanya sadar, hormon remaja mulai bekerja.

Si remaja lelaki berulang tahun. Sebuah pesta kecil diadakan malam hari. Sepanjang jalan, penuh dengan mobil-mobil terparkir. Beberapa tetangga datang menghampiri. Mereka ikut berpesta. Orang-orang dengan tampilan berbeda berdatangan: waria, perempuan berambut cepak, lelaki dengan pakaian necis…. Pada pesta itu, kau dimaklumi jika salah menyebut mas atau mbak. Tetapi entah mengapa pesta itu malah semakin semarak dengan warna pelangi. Masih ada lebam pada pipi si anak sisa perkelahiannya di sekolah. Beberapa sahabatnya datang dan begitu tampak nyaman tanpa ada perdebatan. Kawan-kawan si Ayah begitu lucu dengan pakaian unik penuh tawa dan keriangan. Balon berwarna-warni. Siapa pun mungkin akan merasa aneh, sekaligus merasa ada kegembiraan yang begitu lepas.

Tengah malam, para kawan orangtua melanjutkan pestanya sendiri. Mereka saling berbagi tentang persoalan membesarkan anak dan juga tentang masalah kekasih. Sesekali ada humor yang meledakan keriangan. Kehangatan.

Semakin larut, Ayah dan Papah berduaan saja di taman. Lantas berciuman sangat dalam di antara keramaian. Ini mungkin pemandangan yang janggal, tapi siapa pun tak dapat menyangkal pada cinta keduanya yang menyatu dan seolah tampak kekal.

Kini aku benar-benar cemburu, sekaligus menikmati pemandangan ini. Sebuah hasrat telah kupendam dalam-dalam.

***

Si anak makin besar dan tampaknya mulai makin nakal. Sementara Bibi telah meninggal. Apakah ada sebuah kenyataan pahit yang tak bisa diterima oleh si anak? Apakah teman-teman sebayangnya membuatnya malu dengan orangtua dua bapak? Tak ada yang tahu pasti bagaimana kehidupan remaja, bahkan mungkin remaja itu sendiri.

Papah menghadapi si anak dengan santai dan biasa saja, sedangkan Ayah mulai panik karena anak yang merokok padahal si anak masih duduk di bangku SMP. Papah yang juga merokok tak mempermasalahkannya. Papah dan anak merokok kretek yang sama. Ia sepaham bahwa tak selamanya merokok kretek harus dilihat sebagai kesalahan maupun ancaman. Ia percaya kretek untuk kehidupan sebagaimana buyutnya yang menghisap kretek sejak kecil bisa hidup sehat sampai menembus 90 tahun.

Papah dan Ayah mulai banyak mendebatkan hal-hal tentang membesarkan remaja. Suara-suara pertengkaran kian terdengar dari celah-celah rumah.

Remaja itu kian dewasa. Usianya telah 18 tahun. Tak ada pesta meriah lagi. Tetapi ia telah memperkenalkan kekasihnya yang perempuan. Mereka sering menginap bersama di rumah dalam satu kamar.

“Aku ngga ngapa-ngapain, Yah. Ya ampun, Ayah percaya, deh, sama aku kalau kami hanya menonton DVD dan mengobrol.”

Ayah dan anak bertengkar hebat. Ayah tak menyukai sang anak yang sudah berani mengajak anak perempuan menginap dalam satu kamar yang sama.

“Kamu sudah izin dengan orangtuanya?”

“Ya, sudah, Ayah! Aku itu bisa jaga diri, kok, kami berpacaran, tapi percaya deh kalau kami bisa jaga diri!”

Tak ada yang tahu apakah si anak berkata jujur atau berbohong.

“Kamu sudah menciumnya? Memegang payudaranya?”

“Apaan, sih? Ayah keterlaluan!”

Suara pintu terbanting kencang.

Ayah tampak sedang mencoba membuat-buat masalah. Apakah ada pertengkaran di antara sepasang kekasih itu?

Keesokannya, Papah mengajak anak berbicara. Anak itu sudah menerima pelajaran seks dari Papah dan Ayah-nya. Tetapi mungkin sekedar mengingatkan, ia mendapatkan kembali kuliah yang hampir sama. Si anak yang terbiasa dengan istilah-istilah, kini mendengar lagi. Dijelaskannya tentang nilai-nilai bahwa kenikmatan seksual merupakan bagian dari hak. Papah menekankan pada kesetiaan dan kejujuran. Papah kembali menerangkan tentang hal-hal yang sentimentil. Si anak pun tak tega memotong pembicaraan. Papah merasa sudah saatnya untuk menceritakan pengalaman pertamanya melakukan hubungan seks dengan perempuan (pada awalnya) dan juga lelaki (pada akhirnya secara konsisten). Hal-hal tentang perasaan, ikut dibahasnya. Bagaimana rasanya ketika pertama kali Papah berhubungan dengan perempuan. Ia bergelut dengan penyesalan, menyakiti orang lain, dan tentu saja penyangkalan. Sampai ia berjumpa seorang lelaki muda: Ayah si anak. Lelaki pertama dan yang terakhir.

“Bukan free sex, tetapi safe sex!” Papah menjelaskan tentang dampak dari sebuah aktivitas seksual dengan kondom. Bukan soal fisikal, tapi psikologis dan emosional. Juga medikal. Ia bercerita tentang pengalamannya menjadi aktivis dan bekerja untuk sebuah organisasi yang serius terhadap persoalan men who have sex with men dan para pekerja seks, baik perempuan, lelaki, maupun waria.

Ia memberi anaknya satu paket bungkus kondom. “Ini simpanlah! Bukan suatu dorongan buat Papah bagi kamu agar segera melakukan hubungan itu, tetapi jika waktunya telah siap, kamu bisa memakainya dengan bertanggung jawab.”

“Aduh, Papah, apa-apaan, sih?” ia tersipu malu.

“Kamu bisa saja menolak atau merasa malu. Tapi kelak, kamu akan menemui waktunya dan kamu harus sudah bertanggung jawab. Papah dan Ayah tidak menikah. Kamu tahu alasannya. Tetapi kami mengikat komitmen. Karena ini lebih dari sekedar perasaan, melainkan juga kehidupan orang lain, ada kehidupan kamu di antara kami.”

I love you, Pah!”

Keduanya berpelukan seperti sebuah adegan usang yang lama tak terjadi, kini kembali terulang.

You are my love, Dear!”

Tapi hal-hal lain tak berjalan semudah itu.

Ayah tanpa izin menggeledah kamar anaknya dan menemukan bungkus kondom yang masih rapih. Ia marah. Dan beradu pendapat dengan pasangannya. Ketika keduanya bertengkar hebat pada suatu malam, si anak yang baru saja pulang, hanya bisa duduk di teras mendengarkan segalanya sambil menangis. Ia banyak memiliki teman yang orangtuanya bercerai, tetapi ia kini sulit membayangkan jika kedua bapaknya harus berpisah.

Ayah mulai sering tidak pulang.

Semua bertanya-tanya apakah dia memiliki kekasih gelap?

Tetapi Papah menyadari usianya yang kian senja dan menjelang pensiun. Kehidupan tidak sama lagi dan selalu ada konsekuensi dari apa yang diputuskannya dulu ketika berkomitmen dengan pasangan yang jauh lebih muda darinya. Apalagi tak ada perkawinan di antara keduanya, selain sekedar sebuah perjanjian untuk tinggal dan membesarkan anak bersama.

Seluruh kemarahan mencapai titik temunya ketika si anak melihat Ayah bergandengan dengan lelaki yang lebih muda di sebuah restoran pada malam hari. Si anak tengah berkencan dengan sang gadis. Ia meminta izin untuk meninggalkan kekasihnya untuk membuntuti Ayah-nya. Tentu saja si gadis mengizinkan dan memahami kemarahan sekaligus rasa penasaran pacarnya itu.

Dan benar saja, Ayah dan lelaki muda itu berakhir di sebuah hotel kecil di sudut kota.

Di rumah, si anak tak memberitahu Papahnya yang mulai banyak menghabiskan waktu di rumah. Kondisi kesehatannya tak memungkinkannya untuk bekerja di luar rumah selama 5 hari dalam seminggu. Pada makan malam yang kian jarang mereka lakukan bersama, si anak merespon dengan ketus segala basa-basi Ayah-nya. Dan malam yang panjang berubah menjadi ledakan kemarahan sampai pada sebuah pembongkaran.

Ada banyak alasan-alasan yang tak terungkap. Tetapi siapa peduli, selain pada alur kisah mereka.

Esoknya, para tetangga mulai bergunjing melalui telinga-telinga para PRT. Kami seperti lega betul melihat kenyataan bahwa sepasang gay ini tak lebih sakinah daripada kami yang memilih menjadi keluarga “normal.”

***

Akhirnya tersiar kabar kalau Ayah dan Papah itu telah berpisah. Ayah memutuskan untuk keluar rumah. Si anak tetap tinggal bersama Papah. Keduanya berpisah dengan baik-baik. Pada hari kepergian Ayah, sang anak dan Ayah saling memaafkan. Mereka berpelukan. Ayah akan tinggal di apartemen sendiri (mungkin dengan kekasihnya yang lain). Si anak meminta Ayah untuk berjanji menengoknya di rumah. Tentu saja, janji itu diiyakan. Tak ada yang bisa menyangkal kesedihan dalam keluarga ini. Rangkaian potret kebersamaan mereka yang gemar melakukan jogging dan piknik di akhir pekan, mungkin tidak akan pernah terulang, begitu yang dibayangkan si anak.

Seorang perempuan hadir lagi di rumah itu tak lama kemudian. Keponakan si Bibi dari desa membutuhkan pekerjaan, dan ia bekerja seperti yang dilakukan bibinya kala dulu.

Anak itu menjadi lelaki yang tampan dengan kemantapan dan jati diri. Usianya telah matang dan ia berhasil masuk universitas terbaik di kota ini. Sementara lelaki tua itu pun tak juga kehilangan ketampanannya. Ia memutuskan membujang untuk sementara waktu ini mungkin.

Lelaki tua yang masih berparas menarik itu masih gemar memasak. Aroma sedap masih sering tercium dari jendela dapur. Masih gemar membeli sendiri sayuran dan lauk-pauk bersama para tetangga yang kebanyakan perempuan. Beberapa mulai menggodanya suatu pagi ketika mereka berkumpul begitu tukang sayur gerobak muncul. Tetapi godaan tak lebih dari sekedar keakraban yang membuatku ingin dirangkul.

***

Malam itu seperti biasanya aku datang ke rumahnya yang telah lama menjadi tetanggaku.

“Selamat malam, Pak Tony!”

Sudah sekitar 20 tahun lamanya aku memperhatikan keluarga ini, tepatnya sosok lelaki yang menyambutku ini. Ia masih terlihat menarik meski tak segesit dulu. Jalannya perlahan. Tetapi masih terlihat ada ketegasan.

“Malam! Masuk, Pak Ben! Sebentar ya saya ambilkan dulu uangnya.”

Sebagai ketua RT di masa kedua ini, setiap sebulan sekali, aku akan berkeliling ke setiap rumah untuk menarik iuran rutin dan melakukan pencatatan, pula pengamatan.

“Bibi dan anakmu sedang ke mana? Tumben sepi sekali!” Biasanya, anaknya itu pulang tengah malam pada akhir pekan, sementara pembantunya mendapatkan hari libur setiap Minggu yang dipakainya untuk menginap di rumah kerabat dekat. Aku telah lama menantikan saat datangnya saat ini.

“Oh, biasa kalau Mbak lagi libur. Ya, kalau anak-ku ya seperti biasa ‘lah dengan teman-temannya. Ini uangnya, Pak Ben!”

Aku segera melakukan pencatatan dengan tangan gemetar.

“Oiya, rumah di depan ini masih belum terisi, Pak?” katanya memulai pembicaraan.

Kami mulai mengobrol sekedar basa-basi antar-tetangga. Namun, sebuah ketegangan terus menjalari tubuhku.

“Aduh, sampai lupa ini bikin minum. Sebentar, ya, saya buatkan teh!”

Ngga usah repot, toh, Pak.”

Tony berjalan membelakangi ruang tamu. Suara lemari kayu dibuka. Menimbulkan suara decit yang menggoda. Ia sedang mengambil teh di antara kitchen cabinet di atas kompor. Seperti biasa, teh tubruk yang akan disaringnya.

Sebuah dorongan menggerakkan tubuhku tanpa sanggup lagi aku kendalikan.

Bagaimana jika aku berjalan menuju dapurmu. Dengan tiba-tiba dari belakang aku menghampirimu. Lalu kuberikan dengan diriku sebuah dekapan yang membalutmu. Kucium aroma tubuhmu. Sebuah rindu yang kuinginkan darimu. Betapa hangat ketika pipiku menyentuh punggungmu.

Ah, sudah lama aku menginginkanmu! Kau tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk merenungi momen ini? Aku memelukmu dengan erat dan dalam. Bagai aku yang hendak tenggelam. Ahhhh, Tony, aku telah memendam hasrat terhadap dirimu.

Lalu kau pun berbalik menatapku.

Tanpa pikir panjang, kucium bibirmu dengan lembut. Sebuah gelora segera terpecah.

 Kau diam saja.

Bukankah kita sama lelaki? Aku membuka bajuku untuk menunjukkan pahatan indah pada dada dan perutku yang dengan serius kubentuk setelah kau tak lagi berpasangan.

Aku tak melepaskan ciumanku untukmu. Momen yang lama kutunggu, akhirnya datang. Kurasakan ada mekar yang merekah dalam diriku.

“Ini tehnya!”

Sebuah lamunan pecah. Asap kretek memenuhi ruangan. Ada rasa pahit yang basi pada lidahku.

Kusegerakan menyeruput teh dan permisi untuk pergi. Untuk lari dari angan yang selama ini sesungguhnya kucari.

“Buru-buru sekali?”

“Bari ingat aku ada janji mengajak piknik anak dan istri.”

***

Dari balik tirai dan jendela, masih kuperhatikan mereka yang menjadi tetangga.

Belakangan si Ayah kembali. Tak ada yang tahu pasti apa yang sebetulnya telah terjadi. Kehidupan yang semula tragedi, kini menjadi semacam abadi. Seperti sebuah film hitam-putih usang sedang diputar lagi. Mereka mengganjil lagi. Dalam satu atap yang sama, ada dua jantan tengah membesarkan lelaki. Di taman yang diterangi remang cahaya redup, Ayah dan Papah asyik berciuman mengulang memori. Sementara si anak bersama pacar barunya sedang asyik menonton drama romantis di depan layar televisi. Si Bibi sendiri dalam kamar yang mungil betah sekali bersarang di awal malam sendiri. Dengan dinding penuh poster para aktor India bertelanjang dada, mungkin dia sedang asyik bermasturbasi. Sementara kutemukan diriku lelaki sedang memperhatikan dengan iri. Segaris warna-warni pelangi dengan hamparan serbuk peri.

 

Selasa, 16 Juli 2013

Direvisi pada Sabtu, 10 Agustus 2013

 

*Diyan adalah penulis buku Porn(o) Tour. Sapa penulis di akun Twitter-nya.

Bagikan

Cerpen Lainnya