Search
Close this search box.

[Kisah] Wawancara dengan Sapril Akbar: Kami, LGBT, Butuh Dukungan bukan Hinaan

Oleh: Yoon Rhi Sue*

-Tulisan ini sepenuhnya milik penulis dan tanggung jawab penulis-

SuaraKita – Aku ingin mengabadikan kejadian beberapa hari lalu. Tentang pertemuanku dengan seseorang yang sangat menginspirasi. Seseorang yang sangat berani dan cerdas. Seseorang yang memiliki empati yang tinggi terhadap sesama. Seorang lelaki yang sangat ingin berubah tapi keadaan membuatnya tak bisa melakukan hal itu.

Kisahnya mengajarkanku bahwa setiap orang, siapapun itu, dari kaum terkucilkan sekalipun, seburuk apapun pandangan masyarakat tentangnya, orang itu harus berpendidikan, entah melalui lembaga formal ataupun non formal agar tak lagi dipandang sebelah mata.

Dia juga mengajarkanku untuk lebih memahami dunianya, dunia yang hanya aku lirik sejenak dan aku perdalam lewat tulisan. Ternyata dunianya tak sekecil dan sesederhana yang aku ketahui. Orang itu bernama lengkap Sapril Akbar, atau panggil saja Sasya. Lahir di Nusa Tenggara Timur 22 tahun silam namun memiliki darah bugis yang kental. Maklum saja, ayah dan ibunya juga berdarah bugis, suku penduduk Sulawesi.

Sebagai seseorang yang lahir dengan jenis kelamin laki-laki tapi memiliki gender perempuan, dia mengalami penolakan, cercaan dan makian dari orang-orang di sekitarnya, sama seperti kaum LGBTIQ pada umumnya. Tapi tak berlangsung lama, hanya di awal coming out karena dia menunjukkan prestasi yang cukup gemilang.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), April, sapaan akrabnya, selalu menjadi juara kelas. Tak hanya itu, dia juga mengikuti berbagai macam lomba. Pernah meraih predikat the best make up dalam Karnaval yang dilaksanakan pada 2013 lalu di Tarakan, kota kecil tempat dia tumbuh besar dan menimba ilmu hingga saat ini.

Tak hanya itu, dia juga pernah memenangkan Lomba Miss Waria, Lomba Gaun Malam serta Lomba Playback. Meski tak meraih juara pertama tapi hanya juara kedua, kemenangannya merupakan sesuatu yang membanggakan. Namun, kebanggaan itu tak dirasakan oleh ayahnya.

Sasya mencoba menjelaskan dan membuat ayahnya mengerti dengan keadaannya tapi tak berhasil, hanya ibu yang mendukungnya. Hingga dia memutuskan untuk pergi dari rumah. Dalam pelariannya, dia bekerja di salon agar bisa bertahan hidup.

Beberapa bulan kemudian, dia diminta untuk kembali ke rumah. Orangtuanya meminta agar dia menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Setelah lulus, mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Sasya ingin menjalani hidup yang seperti apa. Tentu saja dia menerima permintaan orangtuanya. Berbekal kesepakatan tersebut, dia menyelesaikan kuliahnya di  jurusan perhotelan di salah satu kampus swasta di Tarakan.

Sebagai seseorang yang berpendidikan tapi juga mengerti kehidupan malam seorang waria yang akrab dengan “mangkal”, sebutan untuk teknik menjajakan diri PSK waria, Sasya menyampaikan beberapa hal terkait profesi tersebut. Dia mengaku berempati terhadap waria yang memiliki profesi tersebut. Profesi yang lekat dengan kekerasan, baik kekerasan verbal maupun non verbal, baik kekerasan yang dilakukan oleh pelanggan atapun warga yang berada di sekitar “pangkalan”. Lemparan batu, botol bahkan air kencing bukan hal asing bagi para pegiat  profesi tersebut.

Mengapa mereka memilih pekerjaan yang jelas-jelas “tak manusiawi”? Memegang predikat waria sudah sangat berat, terlebih jika mereka harus melacurkan diri. Dalam wawancara, penulis menyadari banyak hal, hal yang tak pernah terlintas sekalipun terkait profesi tersebut, profesi yang dipilih oleh sebagian besar waria. Apa itu? Pilihan untuk menjadi seorang PSK waria merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup jika tak memiliki keterampilan. Mengapa? Ingat dua hal, pertama, waria adalah seseorang berjenis kelamin laki-laki tapi berpenampilan layaknya perempuan. Kedua, untuk bertahan hidup seseorang harus bekerja. Pekerjaan apa yang bisa dilakukan oleh mereka dengan penampilan tersebut, tanpa keterampilan? Tak ada.

Mengapa mereka tak memiliki keterampilan? Tentu saja karna tak berpendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal. Mengapa mereka tak berpendidikan? Terlepas dari mahal atau tidaknya pendidikan ala kapitalisme saat ini, ada alasan yang lebih fundamental. Apa itu? Pengusiran yang dilakukan oleh keluarga bahkan orangtua.

Orangtua yang seyogyanya memberikan dukungan materi pada anaknya malah melepas tangan begitu saja. Orangtua yang harusnya memberikan kasih sayang malah mencaci bahkan mengusir anaknya. Orangtua yang harusnya memberi pelukan agar anaknya tenang malah mencerca hingga anaknya semakin depresi.

Harusnya mereka memahami anaknya, memahami bagaimana sulitnya seorang LGBTIQ melakukan coming out. Tidak mudah untuk memberitahu orang lain tentang keadaan kita. Ada banyak kontradiksi, penyesalan dan rasa sakit. Semua luka itu semakin menganga oleh tindakan para orangtua yang tak bijaksana. LGBTIQ juga manusia, mereka memiliki kebutuhan primer, sekunder dan juga tersier. Mereka ingin menjalani hidup dengan rasa bahagia, tanpa harus membohongi siapapun.

Pengusiran membuat mereka tak punya pilihan selain menjadi PSK agar bisa mendapatkan sesuap nasi, agar bisa melanjutkan hidup. Apa yang salah dari seseorang yang ingin melanjutkan hidup? Pilihannya? Mereka tak punya pilihan lain.

Beruntung bagi Sasya karena dia memiliki orangtua yang peduli pada pendidikan anaknya. Selain itu, dia juga memiliki pacar yang tak ingin melihatnya melacurkan diri, seorang pacar sesama jenis yang telah menemaninya sejak duduk di bangku SMA.

Keberuntungan itu tak membuatnya menutup mata terhadap keadaan kaumnya. Dia berharap pemerintah tidak hanya melakukan rajia terhadap para PSK waria, tak cukup dengan itu. Tapi seharusnya memberikan pendidikan nonformal agar mereka memiliki keterampilan.

“Kalau pemerintah ingin mereka bekerja dengan halal, kenapa mereka nggak diberikan pelatihan. Sehingga yang belum ada pengalaman di bidang salon, mereka bisa kursus sehingga mereka nggak lagi menjajakan diri mereka di pangkalan-pangkalan,” ungkap waria yang tegabung dalam organisasi IWARTA (Ikatan Waria Tarakan) itu.

Berubah, waria yang lahir pada 10 Desember ini pernah berniat untuk berubah, mencoba menjadi “normal” bagi masyarakat. Tapi, tak berhasil.

“Susah ya Mbak kalau hati sudah begini. Mau diapain pun, bakal susah,” ungkapnya lagi.

Yah, memang sangat sulit untuk berubah, sangat sulit untuk mengubah naluri keperempuanan yang sejak kecil telah tertanam. Hanya orang-orang yang pernah mengalami, yang akan tau bagaimana sulitnya hal itu. Ada banyak kesakitan dan penderitaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya seorang LGBTIQ yang bisa benar-benar memahami penderitaan LGBTIQ lainnya.

 

 

*Penulis lahir di Tarakan, 11 Desember 1989. Penulis bisa dihubungi melalui email: yoonrhisue@gmail.com

Sapa Penulis di Akun Media sosianya:

Facebook : Yoon Rhi Sue

Twitter : @rhiiiiiiiii