Search
Close this search box.

12495114_10154872229719762_6461360586882736371_n-269x267Suarakita.org – Kamis, 31 Maret 2016 lalu, Rumah KitaB mengadakan dirâsah al-kutub (kajian kitab) rutin dengan mengangkat isu “LGBTIQ” yang belakangan menjadi perbincangan cukup hangat. Rumah KitaB mengundang sejumlah kiyai muda NU, seperti Kiyai Ali Mursyid, Kiyai Asnawi, Kiyai M. Misbah Syam, dll., juga aktivis pejuang hak-hak LGBTIQ, Hartoyo dan Jane Maryam. Shofa Ihsan, peneliti dan penulis buku “In the Name of Sex” turut serta meramaikan kajian ini. Mukti Ali, peneliti Rumah KitaB, bertindak sebagai moderator yang memandu jalannya acara.

Hartoyo mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan tulisannya yang bertajuk “Keberagaman Seksualitas sebagai Identitas Nusantara”. Dalam tulisan 12 halaman itu ia menjelaskan secara panjang lebar, detail dan terperinci tentang LGBTIQ (lesbi, gay, biseksual, transgender, interseks dan queer). Dengan penjelasan ini diharapkan masyarakat menjadi lebih mengerti sehingga kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ tidak terjadi lagi. Sebab, menurutnya, selama ini kelompok LGBTIQ mempunyai diskriminasi “khas” yang menyebabkan hampir seluruh hak hidup mereka sebagai warga negara terampas. Penindasan adalah kata paling tepat untuk menggambarkan realitas kehidupan kelompok LGBTIQ khususnya Waria.

Perjuangan yang dilakukan oleh kelompok LGBTIQ, lanjut Hartoyo, adalah sebuah perebutan hak otoritas tubuh dan kebebasan atas pilihan seksualitas. Perjuangan atas kebebasan itu jelas telah diatur dalam konstitusi Indonesia, terutama kebebasan menjadi diri sendiri tanpa tekanan dari pihak manapun. Apa yang sedang diperjuangkan oleh kelompok LGBTIQ konteksnya “hampir” sama dengan apa yang diperjuangkan oleh kelompok feminis terhadap hak-hak perempuan dengan slogan “personal is political”, bahwa sesuatu yang personal adalah politik seseorang. Tidak ada kehidupan kita saat ini yang bebas dari kepentingan politik. Termasuk di dalamnya soal seksualitas setiap orang. Sehingga tidak ada satu pihak pun yang boleh mengintervensinya, termasuk negara.

Roland Gunawan, peneliti Rumah KitaB, menjelaskan bahwa dalam isu LGBTIQ Rumah KitaB memang terbilang masih baru. Makanya, para peneliti yang bernaung di bawahnya belum menentukan sikap. Sejauh ini, berdasarkan pembacaan terhadap sejumlah referensi di media-media online, didapati pro dan kontra di kalangan ulama dan akademisi. Kelompok yang kontra seperti biasa bertumpu pada teks-teks normatif agama (al-Qur`an dan hadits) dan dengan sangat yakin mereka mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok LGBTIQ bertentangan dengan nilai dan norma keislaman. Mereka percaya bahwa kelompok LGBTIQ akan mendapatkan azab dari Allah sebagaimana kaum Nabi Luth. Sementara kelompok yang pro mencoba melakukan studi-studi yang serius. Mereka sangat yakin dengan gagasan mereka, hanya saja argumentasi mereka kurang begitu kuat sehingga mudah dipatahkan. Sebagian dari mereka bahkan ada yang pesimis karena merasa tidak menemukan ‘ruang toleransi’ sedikit pun bagi kelompok LGBTIQ di dalam literatur-literatur keagamaan, khususnya di dalam khazanah fikih klasik (al-fiqh al-qadîm). Karenanya, mereka mendorong perumusan fikih baru (al-fiqh al-jadîd) yang lebih ramah terhadap kelompok-kelompok marjinal, termasuk kelompok LGBTIQ.

Paparan berikutnya disampaikan oleh Shofa Ihsan. Ia mengatakan bahwa masyarakat Nusantara sejak dulu sebetulnya sudah akrab dengan kelompok LGBTIQ, terutama waria. Tidak ada penolakan keras terhadap mereka. Kelompok LGBTIQ mengalami kekerasan dan diskriminasi itu setelah munculnya kelompok-kelompok Islam garis keras. Terkait kelompok LGBTIQ ini, dulu di Jazirah Arab, ketika itu Islam sudah menyebar, Khalid ibn al-Walid pernah menemukan praktik perkawinan sejenis. Khalid ibn al-Walid kemudian melapor kepada Abu Bakr, dan ternyata Abu Bakr tidak melakukan tindakan apapun. Bahkan pada masa kekhalifahan Islam, yaitu pada masa dinasti Umayah dan Abbasiyah, homoseks atau liwâth bukanlah sesuatu yang tabu, hampir menjadi fenomena umum. Demikian juga, mengenai kisah kaum Nabi Luth, mereka sebenarnya dihukum bukan karena melakukan liwâth, melainkan karena mereka melakukan kerusakan, pemerkosaan, dan kezhaliman.

Kiyai Asnawi, Ketua PSN (Paguyuban Santri Nusantara), mengatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan mengenai kelompok LGBTIQ adalah sikap terhadap mereka. Menurutnya, hukuman dalam bentuk “hadd” (hukuman yang telah ditetapkan syariat) dan “ta’zîr” (hukuman sesuai kebijakan pemerintah)—yang selama dianggap sebagai hukuman yang tepat terhadap kelompok LGBTIQ—adalah hak negara yang menganut sistem Islam, tidak boleh individu atau kelompok manapun di luar payung sistem tersebut untuk menerapkannya. Faktanya, Indonesia bukanlah negera Islam. Kalau Indonesia adalah negara Islam, lantas kenapa pada zaman Kerajaan Demak dulu tidak diterapkan qishâsh? Di seluruh kerajaan di Nusantara Islam hanya sebagai kultur, bukan sistem.

Kiyai Asnawi memandang, terkait LGBTIQ sendiri, dalam Islam terdapat tiga istilah, yaitu: hubb (perasaan cinta), takhannuts (praktik transgender), dan liwâth (homoseks) serta sihâq (lesbi). Pertama, hubb, kalau sekedar perasaan cinta dan ketertarikan terhadap sejenis (sebagaimana yang terjadi di kalangan LGBTIQ), itu tidak menjadi masalah, karena perasaan cinta tidak bisa dihindari. Kedua, takhannuts, kalau secara alamiah atau secara genetis (takhannuts khalqîy) seorang laki-laki sudah berkarakter seperti perempuan (misalnya dalam hal gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya berjalan, dan seterusnya), tentu itu tidak dilarang dan harus diterima. Yang menjadi masalah adalah takhannuts yang tidak alamiah (takhannuts ghayr khalqîy), bukan karena sebab genetis, agama melarangnya. Tetapi, kalau sudah menjadi habit, maka dalam syariat hukumnya sama dengan membuat tato di tubuh. Membuat tato jelas dilarang oleh syariat. Namun kalau sudah terlanjur dibuat dan amat sulit untuk dihilangkan, syariat memaklumi dan memberikan toleransi. Ketiga, liwâth dan sihâq, adalah praktik yang dipersoalkan di dalam syariat.

Kiyai Asnawi menambahkan, dalam penanganan liwâth yang sangat menarik untuk dilihat adalah pada peristiwa Perang Uhud. Kala itu tentara Muslim melakukan dua kesalahan fatal: pertama, mereka tidak disiplin pada pos masing-masing yang menyebabkan mereka kalah dalam perang; kedua, sebagian dari mereka melakukan praktik liwâth. Sikap Rasulullah Saw. dalam soal ini sangat manis, beliau berpegang teguh pada nilai ayat al-Qur`an yang berbunyi, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya,” [QS. Ali Imran: 159]. Beliau tidak melakukan kekerasan, tetapi memaafkan.

Indonesia dalam konteks ini, lanjut Kiyai Asnawi, yang tidak menerapkan sistem negara Islam dan menjadikan Islam hanya sebagai kultur, dalam penanganan liwâth dan sihâq lebih mengutamakan model al-hikmah (kebijaksanaan), al-maw’izhah al-hasanah (nasihat yang baik), dan al-mujâdalah bi al-latîy hiya ahsan (berdebat dengan cara yang lebih baik). Untuk itu, tidak boleh terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah: apakah liwâth dan sihâq termasuk zina sehingga dipantas untuk dihukumi dengan hadd? Kiyai Jamaluddin Mohammad, peneliti Rumah KitaB, mengatakan—dengan mengutip pendapat Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafiyah—bahwa liwâth dan sihâq itu tidak termasuk zina, karenanya tidak boleh dihukumi dengan hadd, tetapi hanya boleh dihukumi dengan ta’zîr.

Sependapat dengan Kiyai Jamaluddin Mohammad, Kiyai Asnawi mengatakan bahwa liwâth dan sihâq tidak termasuk zina, karena zina adalah ‘masuknya penis ke dalam vagina yang punya jalur ke rahim sehingga menyebabkan kehamilan’. Sementara liwâth dan sihâq tidak berpotensi menyebabkan kehamilan. Salah satu alasan kenapa hukuman terhadap zina lebih berat daripada liwâth dan sihâq adalah untuk menjaga keturunan. Syariat melarang zina agar rahim perempuan tetap terjaga dengan status yang jelas. Di berbagai kitab fikih, kesamaan antara liwâth maupun sihâq dengan zina hanya pada proses penetapan hukumnya, yaitu harus menghadirkan empat orang saksi. Kalau empat saksi tidak dapat dihadirkan, maka orang yang dituduh melakukan liwâth, sihâq, dan zina tidak boleh dijadikan terdakwa alias tidak boleh dihukum. Justru orang yang menuduh—jika tuduhannya tidak terbukti—yang dikenai hadd (hukuman berupa rajam dan cambuk) dan qadzf (pengasingan).

Achmat Hilmi, peneliti Rumah KitaB, memaparkan pandangan para imam fikih tentang liwâth. Menurutnya, sejumlah imam fikih seperti Sa’id ibn al-Musayyab, Atha’ ibn Abi Rabah, al-Hasan, Qatadah, al-Nakh’i, al-Tsauri, al-Auza’i, al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal sepakat bahwa hukuman bagi liwâth sama dengan zina, yaitu hadd (hukuman hadd yang ditetapkan oleh agama terhadap pelaku zina adalah rajam dan cambuk). Sementara Abu Hanifah, al-Murtadha, dan beberapa imam fikih lainnya sepakat bahwa hukuman terhadap liwâth cukup dengan ta’zîr, karena liwâth bukan zina. Abu Hanifah tegas mengatakan, “Tidak dicambuk dan tidak dirajam.”

Catatan penutup disampaikan oleh Mukti Ali, bahwa pada zaman Rasulullah hukuman hadd dan ta’zîr terhadap pelaku liwâth tidak pernah ada. Beliau tidak pernah menerapkannya terhadap para sahabat yang kedapatan melakukan liwâth. Hukuman hadd terhadap zina pun pernah dilakukan tetapi bukan atas permintaan beliau, melainkan atas permintaan pelakunya sendiri. Lagi pula, pada masa setelahnya—dua atau tiga abad setelah itu—para ulama berbeda pendapat; sebagian menyatakan harus dengan hadd, dan sebagian lainnya menyatakan cukup dengan ta’zîr saja. Artinya, hukum itu tidak tunggal, tidak hitam-putih, dan sangat beragam. Setiap orang boleh memilih pendapat yang menurutnya baik dan relevan dengan keadaannya.

 

Sumber: RumahkitaB.com