Search
Close this search box.

[OPINI] Melihat Kembali Sejarah dan Perkembangan Queer Dalam Ranah Akademik

Oleh: Vasava Shakti

Suarakita.org – Queer adalah suatu konsep atau istilah yang sebenarnya memiliki sejarah etimologis panjang dalam peradaban manusia. Sebelum digunakannya istilah queer, masyarakat sebelumnya menggunakan istilah sodomite untuk menyebut segala perilaku dan orientasi manusia yang dianggap “menyimpang” dalam kehidupan sosial hetero. Penggunaan kata sodomite atau sodom oleh para ahli memang awalnya diambil dari teks-teks keagamaan, namun dalam perkembangan berikutnya konteks keagamaan kata tersebut bercampur dengan konteks sosial dan politik. Harus diakui, sepanjang sejarah manusia, isu-isu atau segala hal yang terkait dengan sodomite/queer di masyarakat dianggap tabu untuk dibicarakan. Barulah pada abad ke-19, khususnya di dunia barat, isu ini menjadi besar untuk diperbincangkan dan diakui secara akademik, sehingga muncul cabang studi tersendiri yang berada di bawah studi ilmu seksologi.

Berdasarkan wawancara yang saya lakukan terhadap seorang akademisi queer, Hendri Yulius, tulisan ini akan mengajak anda untuk mempelajari atau me-refresh kembali ingatan tentang sejarah dan perkembangan gerakan queer dalam ranah akademik.

Hendri Yulius adalah seorang akademisi queer yang menyelesaikan studi program pasca sarjananya di National University of Singapore. Perjalanan hidupnya mempelajari LGBTQ bisa dikatakan cukup lama, karena dilakukan sejak SMA. Dirinya mengaku awalnya mempelajari feminisme terlebih dahul. Dari feminisme ia kemudian mempelajari post-feminisme dan berujung pada studi queer. Hendri adalah sosok yang sering diundang menjadi pembicara-pembicara di forum-forum dan seminar yang membahas ihwal LGBT dan seksualitas. Tak hanya sebagai akademisi, Hendri juga dikenal sebagai penulis melalui bukunya yang cukup dikenal di komunitas LGBT dengan judul Coming Out.

Sejarah kata Queer dikenal secara luas pertama kali di Amerika. Kata ini digunakan oleh kelompok atau individu yang homofobik dan tidak setuju dengan seksualitas non-normatif dengan tujuan menghina. Kata-kata lain yang serupa dengan queer yang digunakan saat itu adalah faggot dan sissy. Walau demikian, gerakan LGBT atau gerakan seksual non-normatif kata queer ini diubah maknanya menjadi sesuatu yang politis. Secara pasti, ejekan queer digunakan sebelum abad ke 20, sebelum gerakan LGBT benar-benar tersistematis. Barulah setelah peristiwa stonewall riots di Amerika pada tahun 1969, gerakan LGBT yang terorganisir menggunakan istilah ini. Kampanye yang dilakukan gerakan LGBT misalnya menjadi queer bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan menantang kembali norma-norma seksual yang sudah ada. Menjadi queer juga memiliki implikasi “terbebas” dari kotak-kotak yang dibuat masyarakat. Singkatnya kotak-kotak yang dibuat tidak bisa menampung diri seorang queer. Perlu diingat juga bahwa seorang queer tidak harus berorientasi LGBT, karena seorang heteroseksual juga dapat memiliki fetish queer.

Amerika Serikat adalah negara pertama yang melakukan studi besar terhadap queer. Walaupun ilmuwan Amerika bukanlah ilmuwan pertama yang melakukan queer studies, Seorang akademisi asal Amerika bernama Eve Kosofsky Sedgwick disebut sebagai pendiri queer studies. Eve adalah seorang professor yang terakhir mengajar di City University of New York Graduate Center (CUNY Graduate Center). Akademisi queer terkenal lainnya, Judith Butler, berasal dari Berkeley dan sekarang mengajar di Colombia.

Tak hanya akademisi, universitas pertama yang mengajarkan studi LGBTQ adalah Universitas Berkeley, California di tahun 1970. Analisa-analisa pertama yang membahas queer terinsiprasi dari studi etnisitas, women’s studies, termasuk teori kritis dari frankfurt school.

Dalam konteks bahasa Inggris dan barat, kata queer memang populer digunakan, namun sebenarnya dalam konteks lokal kita dapat menjumpai penggunaan istilah-istilah di beberapa kebudayaan sekitar yang konteksnya mengarah ke queer. Kata-kata ini mendeskripsikan orang-orang atau kelompok yang tidak conforming terhadap norma seksual atau gender yang ada. Misalnya di masyarakat Bugis ada bissu. Bissu adalah sebutan bagi masyarakat Bugis terhadap pendeta suci agama kuno mereka yang digambarkan tidak berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, melainkan keduanya secara bersamaan (hermafrodit) . Selain bissu masyarakat Bugis juga mengakui gender lain seperti calalai dan calabai. Calalai adalah seseorang dengan anatomi perempuan namun memiliki peran dan kewajiban yang umumnya dikerjakan lak-laki sedangkan calabai sebaliknya. Tak hanya di Indonesia, di India juga ada segmen masyarakat yang menyebut diri mereka hijra. Jadi dapat disimpulkan bahwa bissu, calalai, calabai, dan hijra adalah suatu identitas kultural sedangkan queer adalah identitas individu yang sifatnya politis.

Walaupun studi tentang queer seringkali menggunakan Amerika dan Eropa sebagai studi kasus, sebenarnya ada beberapa ilmuwan yang menggunakan negara berkembang sebagai lahan studinya. Tom Boellstorff dan Evelyn Blackwood misalnya. Mereka menggunakan queer studies dan pendekatan queer untuk meneliti kehidupan gay dan lesbian misalnya di Indonesia. Temuan Tom Boellstorff yang dipaparkan adalah bagaimana menjadi gay di Indonesia itu berbeda dengan di barat. Gay di Indonesia dalam penelitian dia menikah secara heteroseksual walaupun mereka klaim diri mereka gay. Berbeda dengan di barat. jika seorang individu sudah mengklaim dirinya gay maka ia tidak akan menikah dengan perempuan. Tapi di Indonesia Tom menemukan bahwa para gay di encourage untuk menikah (dengan lawan jenis). Dalam beberapa kasus dorongan untuk menikah dengan lawan jenis di Indonesia bertujuan agar seorang gay dapat “sembuh”.

Kompleksitas persoalan identitas seksual telah dibahas secara baik oleh dua orang ilmuwan seksualitas, Simone de Beauvoir dan Judith Butler, walaupun pada akhirnya mereka memiliki pandangan yang berbeda. Simone de Beauvoir menulis bahwa seseorang terlahir bukan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan. Menjadi perempuan itu berarti seseorang itu aktif menjadi perempuan. Aktif berarti seseorang memiliki agensi, pilihan, dan aksi untuk menjadikan diri saya sebagai perempuan. Seolah-olah saya memiliki pilihan untuk menjadi perempuan. Sedangkan menurut Butler, tidaklah seperti itu. Ia menjelaskan bahwa manusia lahir justru sudah terkotak-kotakan. Ini perempuan ini laki-laki. Kita tidak bisa aktif memilih atau aktif menjadi. Kita sudah dijadikan dengan sendirinya. Ketika saya lahir saya sudah disebut laki-laki karena saya memiliki penis maka dengan sendirinya langsung ibu saya membelikan baju warna biru. Kotak-kotak ini yang disebut oleh Hendri dengan istilah gendered matrix, dimana sejak lahir kita harus mengikuti salah satu kotak tersebut.

 

Teori N-Sexes

Teori N-Sexes adalah suatu teori baru yang sedang diusung oleh Gilles Deleuze, seorang filsuf Prancis. Deleuze melihat bahwa menjadi gay, lesbian, dan lain-lain adalah suatu cap identitas. Interpretasi Hendri terhadap Deleuze adalah; jike sebuah identitas yang melekat pada seseorang itu dicabut maka sisanya hanyalah sebuah desire, rasa ketertarikan kita. Seseorang bisa tertarik pada laki-laki. Yang lain dapat suka dengan perempuan. Mengapa hal ini harus dilabeli dengan gay atau lesbian? Karena itu terbatas masalah desire, jadi Deleuze ingin melepaskan itu dari persoalan identitas. Alasanya menurut Hendri karena gay dan lesbian itu hanyalah sebatas identitas sosial. Hal yang bersifat sexual desire tiba-tiba bisa menjadi fondasi identitas sosial seseorang selama ini hanya sebuah konstruksi. Contohnya orang yang suka coklat tidak harus disebut pecinta coklat, dan “pecinta coklat” tidak langsung menjadi identitas diri.

Pelabelan seperti inilah yang dikritisi Deleuze, karena kondisi demikian akan menciptakan kotak-kotak baru di masyarakat. Deleuze mengatakan jika seseorang memiliki desire maka biarkanlah hal tersebut menjadi desire semata. Jadi bedanya ketika seseorang mencintai coklat, atau mencintai binatang seperti anjing atau kucing, sebutan pecinta itu hanya sebagai sebutan saja, tidak seperti gay atau lesbian yang membawa identitas dirinya kemana mana. Hendri memberi contoh; misalnya ketika seseorang menanyakan Hendri itu adalah Hendri yang mana, maka lingkungannya akan menjawab “Hendri yang gay”.

Sekiranya ini adalah pemaparan yang bisa diberikan penulis. Pembahasan mengenai pemikiran, sejarah, dan pergerakan LGBTQ lebih lanjut akan saya lakukan lagi di kesempatan yang berbeda. Semoga bisa bermanfaat bagi pembaca.

 

Referensi:
http://www.webpages.uidaho.edu/ngier/sodom.htm
http://www.insideindonesia.org/sulawesis-fifth-gender-2