Search
Close this search box.

[Opini] Hibah dan Hak LGBT

Oleh: Teuku Ramzy Farrazy*

Suarakita.org – Bantuan luar negeri adalah proses beralihnya modal, barang, jasa dari suatu negara atau organisasi internasional ke penerima atau resipien yang membutuhkan (Williams, 2011). Bantuan luar negeri termasuk di antaranya berupa makanan, bantuan militer, saran teknis dan pelatihan serta dapat bersifat hibah atau kredit lunak (kredit ekspor). Bantuan luar negeri seperti hibah sangat diperlukan oleh Indonesia, dikarenakan negara belum sepenuhnya mampu membiayai pembangunan dengan sumber dalam negeri. Maka hibah yang selama ini diterima Indonesia sangatlah bermanfaat bagi banyak sektor seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan sumberdaya manusia, infrastruktur dan lingkungan. Namun, sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia yang belum mengakui hak–hak LGBT tentu menjadi sebuah dilemma tersendiri bagi Indonesia ketika berhadapan dengan negara–negara donor yang mayoritas telah mengakui hak LGBT dalam proses berdemokrasi. Bagaimanakah peran dan pengaruh hibah terkait hak LGBT?

Indonesia pertama kali menerima bantuan asing dari UNICEF pada 1948 untuk mengatasi bencana kelaparan. Ada pula Consultative Group for Indonesia (CGI) serta beragam Dalam konteks hubungan bilateral Indonesia dengan negara–negara Barat, baik itu Australia, Amerika Serikat, Uni Eropa atau Kanada. Kita sudah mengetahui bahwa Indonesia telah menerima hibah dalam jumlah sangat besar. Sebagai contoh, Australia memberikan 605 juta dollar pada 2014 kepada Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai Negara penerima donor terbesar bagi Australia. Pun hal nya dengan Amerika Serikat yang mengucurkan hibah 600 juta dollar kepada Indonesia pada 2013.

Bantuan luar negeri yang berupa hibah pada dasarnya berbeda dengan Hutang Luar Negeri (HLN). Yang membedakannya adalah sifat dari hibah yang tidak perlu dikembalikan, sedangkan HLN harus dikembalikan. HLN pada era perang dingin marak dijadikan alat intervensi politik Amerika Serikat dan Uni Soviet kepada negara–negara berkembang yang kemudian menjadi negara satelit dua adikuasa tersebut. Paska tumbangya Soviet, kini kondisi Multipolarisme memunculkan beragam kekuatan baru dunia seperti BRICS. HLN (yang dianggap kurang manusiawi) terbukti masih menjadi alat yang efektif untuk menyetir kebijakan negara penerima seperti yang dilakukan oleh China kepada beberapa negara di Afrika. Namun, hibah juga tidak terlepas dari sifat merkantilis yang memuat kepentingan nasional negara–negara Barat dalam menegakkan hak LGBT. Contoh kasus terbaik adalah ketika Denmark dan Norwegia menunda hibah untuk Uganda paska pemberlakuan UU Anti Homoseksualitas (juga dikenal sebagai ‘kill the Gays bill’) di negara tersebut, Februari 2015. Padahal, Uganda menggantungkan 20 persen APBN nya dari donor negara–negara Barat. Kerugian finanasial Uganda akibat ‘hukuman’ Norwegia dan Denmark tidak tanggung–tanggung, mencapai 17 juta dollar. Adapun Bank Dunia menunda pinjaman sebesar 90 juta dollar dengan pernyataan ‘khawatir atas dampak buruk UU tersebut bagi peningkatan sektor pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial’.

Di sini dapat dipahami bahwasanya terdapat suatu relasi antara hibah dengan hak–hak LGBT. Dalam Queer politics, konsep Barat akan modernitas dan politik LGBT dapat ditransformasikan menjadi suatu identitas yang kuat untuk pembangunan (Rahman, 2015). Barat melalui hibahnya mencoba untuk melakukan apa yang disebut sebagai “queering global South” meskipun LGBT bukan produk Barat semata. Kemajuan agenda Queering Global South di ranah Asia dapat terlihat jelas di Vietnam, Thailand dan Nepal yang semakin memperhatikan hak LGBT dalam agenda nasionalnya.

Namun dalam konteks pembangunan internasional, negara–negara Selatan (negara berkembang di Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika) memang belum terlepas dari isu pelanggaran hak terhadap LGBT. Dalam konteks Indonesia kita dapat lihat belum adanya perlindungan hukum terhadap LGBT (khususnya Transgender) dan bahkan ada banyak PERDA yang tidak menguntungkan untuk LGBT. Sebagai contoh, Peraturan Daerah No. 2 tahun 2004 di Kota Palembang yang mengkriminalisasi LGBT yang dikategorikan sama dengan pelacuran. Wacana queering global south menjadi relevan bagi negara–negara Barat atau organisasi internasional untuk terus ‘menekan’ Indonesia guna mewujudkan penegakan hak LGBT. UNDP Indonesia, sebagai organisasi pembangunan internasional juga cukup menyadari perannya dalam queer politics ini, seperti kita lihat dalam  program “My Purple School” yang menekankan pentingnya ruang yang aman terutama bagi murid–murid LGBT di Indonesia yang rawan menjadi korban bullying. Amerika Serikat melalui USAID juga telah menjalin kerjasama dengan UNDP Indonesia untuk memfasilitasi advokasi dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menaikkan isu hak LGBT dalam program “Being LGBT in Asia” di Indonesia.

Hibah menjadi instrumen yang efektif untuk menegosiasikan kebijakan negara penerima, dimana nilai–nilai yang dianggap ‘tidak demokratis’ dapat diubah sesuai dengan standar peradaban negara donor (HAM, demokrasi, liberalisme dan rule of law). Penegakan hak LGBT di Indonesia dapat menjadi mutual gain, dimana diskriminasi berbasis SOGI sudah lama sekali lekang oleh zaman dan erat kaitannya dengan hukum era kolonial yang dilanjutkan oleh negara bekas jajahan. Queer politics telah terintegrasi dengan baik ke dalam agenda politik luar negeri Barat – termasuk Amerika Serikat – dan menjadi standar penting yang harus diadopsi oleh negara–negara yang ‘dibantu’ oleh Amerika Serikat, termasuk Indonesia.

Penggunaan hibah sebagai instrumen penegakan Hak LGBT tentu saja akan memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif yaitu dukungan yang lebih kuat terhadap pemerintahan yang demokratis,  mengingat Indonesia melalui Nawacita yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo memiliki semangat penegakan Hak Asasi Manusia – meskipun belum ada suatu langkah maju namun terdapat titik temu yang membuat hibah menjadi sejalan dengan visi dan kebijakan nasional Indonesia. Adapun dampak negatif dari penggunaan hibah untuk penegakan hak LGBT adalah semakin eratnya sentiment anti – Barat dan memunculkan apa yang disebut sebagai ‘gay conditionality’ (Kahlina & Ristivojevic, 2015) seperti pada kasus Uganda yang ditunda hibahnya. Kalangan aktivis LGBT Uganda sendiri melaporkan semakin besarnya sentiment anti – Barat paska penundaan hibah tersebut, yang pada akhirnya akan berakibat semakin lekatnya citra LGBT sebagai produk peradaban barat. Hal ini diperjelas dengan pembunuhan terhadap David Kato, aktivis LGBT Uganda paska ‘hukuman’ yang dijatuhkan oleh Denmark dan Norwegia. Hal ini merupakan salah arti, karena sekali lagi, masih kuatnya pandangan negara–negara Selatan bahwa LGBT adalah produk barat. Dikotomi seperti ini tidak seharusnya ada karena nilai – nilai baik seperti Hak Asasi Manusia sudah seyogyanya diwujudkan oleh semua negara.

Sebagai catatan, pelanggaran HAM seperti pada kasus hukuman mati Bali Nine di Indonesia berujung kepada pemotongan bantuan Australia sebesar 300 juta dollar pada Mei 2015. Bukan tidak mungkin bila penegakan hak LGBT tak kunjung mengalami kemajuan di Indonesia, akan terulang kembali hal yang sama dalam hal hibah dari negara–negara sahabat termasuk Australia dan Amerika Serikat. Tidak ada argumen kuat bahwa Indonesia tidak membutuhkan hibah. Indonesia masih membutuhkan hibah untuk memperkuat agenda pembangunan yang cukup ambisius.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 saja kita dapat melihat besaran porsi hibah dari luar negeri sebesar 3,3 Trilyun Rupiah. Dengan direvisinya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat menjadi 4,8 persen pada 2015 (dan diperkirakan tidak banyak bertumbuh pada 2016) tentunya hibah masih relevan dalam era pemerintahan Joko Widodo, terutama untuk sektor–sektor prioritas seperti pangan, pendidikan dan kesehatan. Disinilah diperlukan strategi khusus bagi negara–negara Barat dalam melaksanakan queer politics – nya kepada Indonesia.

Hibah pada dasarnya memiliki banyak manfaat seperti program–program pembangunan yang menjangkau masyarakat di Papua, Jambi, Kalimantan, NTT dan sebagainya. Sebagai contoh, Selandia Baru melalui badan NZAID telah berkontribusi terhadap peningkatan mutu UMKM yang memproduksi minyak kelapa di Sarmi, Papua (lihat berbagai bantuan untuk Indonesia di situs www.id.undp.org). Tentunya hal ini sangat membantu di tengah berbagai keterbatasan yang dialami oleh pemerintah.

Maka, Indonesia harus mempertimbangkan lebih lanjut beberapa kebijakannya terkait hak LGBT. Hal ini tentu tidak perlu dipandang sebagai berkurangnya nasionalisme atau tunduknya pemerintah kepada negara Barat yang memasukkan unsur gay conditionality tersebut, karena mengadopsi nilai–nilai yang pada dasarnya sesuai dengan Universal Declaration of Human Right ataupun Prinsip-prinsip Yogyakarta tentunya adalah hal positif yang dapat diukir oleh pemerintah. Berbeda dengan HLN yang harus dikembalikan dan membawa semangat dikotomi donor – resipien yang kaku, hibah turut membawa konsekuensi moral yang harus dipikul negara penerima. Hibah yang datang di Indonesia lebih membawa semangat kesetaraan, partnership. Dengan pengakuan lebih besar terhadap hak LGBT, Indonesia berpotensi menerima lebih banyak lagi manfaat dari hibah negara–negara Barat yang dapat dialokasikan untuk membantu percepatan pembangunan.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Nasional

 

 

Referensi:

Kahlina, Katja & Ristivojevis, Dusica. 2015. LGBT Rights, Standards of ‘Civilisation’ and the Multipolar World Order. E – International Relations. http://www.e-ir.info/2015/09/10/lgbt-rights-standards-of-civilisation-and-the-multipolar-world-order/

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. APBN 2015. www.kemenkeu.go.id

Rahman, Momin. 2015. The Politics of LGBT Muslim Identities. E – International Relations. http://www.e-ir.info/2015/04/02/the-politics-of-lgbt-muslim-identities/

Tempo. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Ini Hanya 4,8 Persen. http://m.tempo.co/read/news/2015/12/04/090724989/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-tahun-ini-hanya-4-8-persen

UNDP Indonesia. 2014. Being LGBT in Asia : the Indonesia Country Report.

UNDP Indonesia. The Blessings of Coconut Oil in Indonesia’s Papua. http://www.id.undp.org/content/Indonesia/en/home/ourwork/democraticgovernance/successstories/the-blessings-of-coconut-oil-in-indonesias-papua-.html

Williams, Victoria. 2011. Foreign Aid. Encyclopedia Britannica