Oleh: Siti Rubaidah*
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis pembaharuan data tentang adanya sejumlah kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dalam sebuah acara penutupan Konferensi Nasional Pemulihan di Kampus Universitas Sumatera Utara Medan, 28 Oktober 2015 yang lalu. Ketua Komnas Perempuan Azriana menyampaikan bahwa bulan Oktober tahun ini merupakan satu tahun pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peringatan Sumpah Pemuda sekaligus.
Komnas Perempuan mencatat bahwa sejak tahun 2009 sampai dengan Oktober 2015 terdapat 389 kebijakan yang diskriminatif yang masih berlaku dan belum dibatalkan. Ini artinya, terjadi penambahan sebesar 31 kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah selama kurun waktu satu tahun. Di mana pada tahun 2014 Komnas Perempuan mencatat jumlah kebijakan yang diskriminatif adalah 365 (data Agustus 2014-Oktober 2015).
Satu tahun pelaksanaan Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014, masih banyak persoalan serius yang harus segera ditindaklanjuti. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memandatkan Menteri Dalam Negeri serta Gubernur untuk melakukan pembatalan jika terdapat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan umum (diskriminatif) dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, namun sampai saat ini belum satupun kebijakan yang diidentifikasi diskriminatif dibatalkan. Sehingga menjadi penting bagi Pemerintah Pusat dalam tata kelola negara untuk menegaskan kepatuhan para penyelenggara negara pada konsensus kehidupan kebangsaan yaitu konstitusi, sebagai landasan hidup bersama bangsa.
Dari 389 kebijakan diskriminatif ini, 322 diantaranya berdampak langsung pada kehidupan perempuan (138 kebijakan mengkriminalisasi perempuan, 30 kebijakan mengatur ruang dan relasi personal, 100 kebijakan tentang pemaksaan busana, 39 mengatur jam malam, 15 mengatur tentang pembatasan mobilitas perempuan), dan 54 diantaranya membatasi jaminan kebebasan hidup beragama warga negara. Kebanyakan kebijakan tersebut berbasis moralitas dan agama
Ada tiga persoalan serius yang mendorong kebijakan diskriminatif terus hadir dan bertambah jumlahnya, yaitu persoalan konseptual, struktural dan politik.
- Persoalan konseptual dimana para pengambil kebijakan masih belum memahami secara utuh perihal jaminan konstitusi atas hak asasi manusia dan kesetaraan substantif. Yakni anatanya adalah perihal kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai isu kejahatan dan bukan moralitas, relasi negara dan masyarakat yang mempengaruhi pemahaman tentang ruang pengaturan dalam hukum dan pendidikan, hubungan antara negara dan agama, hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam kerangka demokrasi, hubungan antara nasional dan karakter lokal dalam kerangka otonomi daerah; serta tentang terobosan terkait bentuk-bentuk penghukuman. Dalam catatan Komnas Perempuan, banyak pemerintah mempunyai niatan baik dalam mengeluarkan kebijakan, namun karena tidak memahami prinsip konstitusi dan syarat perlindungan perempuan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, maka yang terjadi adalah pengaturan yang membatasi, bahkan mengkriminalkan perempuan.
- Persoalan struktural yang berkaitan dengan otoritas nasional dalam melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tingkat nasional yang seharusnya menjadi garda depan dalam kepatuhan pada konstitusi dan konstitusionlitas peraturan perundang-undangan, justru menghadirkan kembali pelembagaan kebijakan yang inskontitusional dan diskriminatif. Hingga Oktober 2015, ada 13 kebijakan diskriminatif yang dilahirkan oleh otoritas nasional.
- Persoalan politik dimana sejumlah elit politik menggunakan politisasi identitas berbasis agama untuk memenangkan pertarungan kuasa sehingga meskipun dapat, namun belum tentu mau, mencegah dan menangani kebijakan diskriminatif ini dengan tegas.
Lebih lanjut Azriana menjelaskan bahwa, kebijakan diskriminatif mengakibatkan persoalan serius antara lain:
- Pengikisan kewibawaan integritas hukum: Pengikisan kewibawaan hukum ini tampak pada pengaturan yang sia-sia, pengaburan kepastian hukum, ketidakefektifan dan terus berlangsungnya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan kebijakan daerah.
- Kriminalisasi dan Pemiskinan Perempuan: Perempuan menjadi korban penangkapan, dan ditempatkan sebagai pencetus persoalan, sehingga “polisi moral” seringkali tidak segan menggunakan kekerasan terhadap anggota masyarakat, khususnya perempuan atas nama pelaksanaan kebijakan daerah.
- Defisit kualitas demokrasi dan mengarahkan Indonesia ke kondisi kritis karena mempertaruhkan bangunan negara-bangsa Indonesia yang majemuk dan plural di tangan-tangan tirani “kehendak mayoritas” lokal, yang berjalan selaras dengan politik pencitraan
Komnas Perempuan menganggap bahwa ada sebuah kondisi serius dan sangat mengkhawatirkan karena Kebijakan diskriminatif ini bukan saja telah melegalkan pembatasan ruang gerak perempuan dan kesewenangan penangkapan. Dalam sejumlah kasus di Aceh, kekerasan seksual dan penghakiman massa juga dialami perempuan dalam proses penegakannya. Dan sayangnya pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Aksi brutal kelompok intoleran pada kelompok minoritas agama menjadi terlegitimasi karena adanya kebijakan atas tindakan intoleransi tersebut. Bahkan pemaksaan menjalankan keyakinan kelompok tertentu, atau justru pelarangan atas keyakinan yang dianut sehingga terjadi pengusiran, berdampak pada ketidakpastian hukum, pemiskinan, dan konflik sosial.
Situasi mengkhawatirkan tersebut digambarkan dengan terus berlansungnya pelembagaan diskriminasi oleh negara melalui Kebijakan Diskriminatif. Temuan Komnas perempuan atas tindakan kekerasan, aksi brutal serta diskriminasi yang dialami oleh kelompok-kelompok rentan, minoritas dan lemah karena didasarkan oleh adanya peran aktif negara melalui kebijakan.
Komnas Perempuan mencatat, dalam satu tahun terakhir (September 2014 – Oktober 2015) sebanyak 31 kebijakan diskriminatif kembali dilahirkan di beberapa wilayah, seperti Aceh (8), Bengkulu (1), Jawa Barat (8), Jawa Timur (8), Kalimantan Selatan (1), Kepulauan Bangka Belitung (1), Nusa Tenggara Timur (1), Sulawesi Selatan (1), Sumatera Barat (1) dan Sumatera Selatan (1).
Kehidupan kebangsaan kita masih sangat mengkhawatirkan, papar Azriana, dan ini harus menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara. Indonesia sebagai negara yang majemuk dan menjadi rumah bagi semua suku, agama dan kepercayaan, jenis kelamin sedang dihadapkan pada situasi terpuruk, di mana di tengah kokohnya jaminan Hak Asasi manusia yang di atur dalam konstitusi, justru banyak pihak termasuk oleh aparatur negara itu sendiri yang abai terhadap kondisi ini.
Selain merilis sejumlah kebijakan yang diskriminatif Komnas Perempuan juga merilis sejumlah data tentang kebijakan yang kondusif. Dalam hal ini, Komnas Perempuan mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh sejumlah Pemerintah Daerah yang mengeluarkan kebijakan yang kondusif. Kebijakan kondusif ini adalah kebijakan yang sesuai dengan jaminan pemenuhan HAM dan hak konstitusional warga negara yang tercantum dalam Undang-Undang Negara kesatuan Republik Indonesia 1945.
“Sejak tahun 2009 sampai Oktober 2015, tercatat adanya 301 kebijakan kondusif bagi pemenuhan HAM dan hak konstitusional yang berfokus pada kebijakan tentang Layanan terhadap perempuan korban. Sementara Kebijakan kondusif yang terbit dalam kurun waktu tahun 2015 ini tercatat ada 25 kebijakan, ” lanjut Azriana menjelaskan.
Dari 301 Kebijakan Kondusif tersebut, 19 diantaranya diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan tersebut antara lain mengatur MoU antar Kementerian atau Lembaga dalam penanganan perempuan korban kekerasan, bantuan hukum, Standar Pengelolaan Bantuan Hukum. Sisanya, 282 kebijakan dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kota. 282 Kebijakan kondusif di daerah antara lain mengatur: Pembentukan Tim Layanan Korban, Layanan Bantuan Hukum, Pembentukan P2TP2A, Pembentukan Forum Pengada Layanan, Pengarus Utamaan Gender, MoU penanganan pelayanan terhadap korban. Komnas Perempuan juga menemukan bahwa hanya ada 6 kebijakan kondusif yang menyediakan anggaran untuk mekanisme layanan terhadap perempuan korban. Sisanya mengatur struktur dan pembentukan tim.
Di sesi akhir Konferensi Nasional Pemulihan yang merupakan kegiatan yang Komnas Perempuan bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pusat Kajian Wanita Universitas Sumatera Utara dan Forum Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan merekomendasikan perlunya sebuah “Rumah Pemulihan” bagi perempuan korban kekerasan, yakni rumah yang aman dan kondusif yang disediakan oleh negara untuk menjamin hak-hak korban untuk mendapatkan pemulihan.
Konferensi merumuskan beberapa rekomendasi yang salah satunya adalah Komnas Perempuan mendesak kepada pemerintah nasional dan daerah untuk menjalankan mandat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang upaya koreksi nasional pada seluruh kebijakan diskriminatif yang masih berlaku. Dalam hal ini, ketegasan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur dalam membatalkan kebijakan diskriminatif yang muncul terus menerus. Komnas Perempuan juga meminta kepada Mahkamah Agung untuk membuka mekanisme Hak Uji Materiil secara terbuka, untuk akses pemenuhan keadilan bagi masyarakat yang terkena dampak kebijakan diskriminatif. Selain memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait, Komnas Perempuan juga mendorong kepada seluruh elemen masyarakat untuk memantau, mengkritisi dan mencegah lahirnya kebijakan diskriminatif yang dilahirkan di semua tingkatan.
Seluruh peserta konferensi dari berbagai daerah menutup acara dengan menampilkan adat dan budaya masing-masing lewat pakaian, lagu-lagu dan tarian daerah sebagai bagian mempresentasikan keberagaman khasanah adat dan budaya Indonesia.
*Penulis adalah pengamat sosial dan editor di Suara Kita