Search
Close this search box.

Konferensi Nasional Pemulihan: “Memastikan Tanggung Jawab Negara untuk Memenuhi Hak Korban”

Suarakita.org–Medan, 26 November 2015 bertempat di Gedung Aula Universitas Sumatera Utara diselenggarakan sebuah Konferensi Nasional Pemulihan yang mengangkat tema Memastikan Tanggung Jawab Negara untuk Memenuhi Hak Korban. Acara ini merupakan kerjasama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), Puslitham Kajian Wanita USU, Pemda Sumatera Utara dan Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan. Acara Konferensi ini berjalan selama tiga hari, terhitung mulai 26 sampai dengan 28 Oktober 2014.

Sebagai kegiatan pembukaan dalam Konferensi Nasional Pemulihan ini digelar sebuah Talkshow dengan tema Spektrum Besar Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Berbagai Dimensi: Tantangan, Keterkaitan dan Strategi. Hadir narasumber dari berbagai stakeholder antara lain; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Mabes Polri, LPSK dan Pemprov Jawa Tengah serta dua narasumber yang merupakan survivor korban KDRT dan penyintas kekerasan masa lalu (kasus 1965).

Ibu Mamik, panggilan akrab dari Christina Sumarniaty salah seorang penyintas korban kekerasan masa lalu menuturkan bagaimana pengalaman perihnya sebagai narapidana perempuan yang harus menerima penyiksaan dan pelecehan seksual. Para peserta dan seluruh hadirin yang berada di dalam ruangan dibuat tercekam mendengarkan penuturan kisah Ibu Mamik. Di mana dia harus berhadapan dengan pelecehan seksual dan penyiksaan fisik yang berulang, sehingga berdampak pada luka fisik dan psikis serta trauma yang berkepanjangan. Bahkan ketika dia keluar dari penjara kebebasan itu belum didapatkan secara langsung karena dia berhadapan dengan pengucilan dan stigma dari masyarakat.

Komisioner Komnas Perempuan Hajriayana menguraikan bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan seperti KDRT dan pelecehan seksual merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berbasis gender, di mana kekerasan tersebut hanya dialami oleh kaum perempuan karena dia seorang perempuan. Akan tetapi selama ini banyak Aparat Penegak Hukum (APH) yang tidak memahami dan memiliki perspektif korban maupun gender. Seringkali ada perlakuan diskriminatif yang dihadapi oleh perempuan dewasa korban perkosaan dan korban perkosaan anak akibat inses yang dilakukan secara berulang oleh pelaku. Pertanyaan APH seringkali justru menyudutkan dan menyalahkan si korban. Sehingga ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi dalam upaya penanganan dan pemulihan korban.

Indriyati Suparno, Koordinator acara menambahkan bahwa latar belakang Konferensi Nasional Pemulihan ini adalah banyaknya data kekerasan terhadap perempuan yang terjadi hampir di berbagai dimensi, yang berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun yang terjadi dalam lingkungan kehidupan pribadi.

Selanjutnya Indri menggambarkan, bahwa Data CATAHU Komnas Perempuan 2014 berhasil mendokumentasikan 293,220 kasus kekerasan dari seluruh penjuru tanah air. “Dari tahun ke tahun angka kekerasan yang dialami perempuan semakin meningkat. Ini menunjukkan bahwa para korban sudah mulai berani menyampaikan kekerasan yang mereka alami. Akan tetapi data tersebut seperti puncak gunung es, artinya masih banyak korban kekerasan yang belum berani mengungkap dan melaporkan kekerasan yang dialaminya, “ tutur Indri.

Terakhir Indriyati Suparno menyampaikan bahwa tujuan dari Konferensi Nasional Pemulihan ini adalah untuk membangun prinsip-prinsip pemulihan yang berorientasi pada perempuan korban dengan perspektif Hak Asasi Manusia (Ekosob dan CEDAW) dan prinsip PBB melawan Impunitas serta memperkuat peran negara dalam menjalankan tanggung jawabnya dalam proses pemulihan korban (Siti Roebaida).