Search
Close this search box.

[KISAH] Bioskop Tua, Gay dan ‘Kemeriahan’ di Jantung Jakarta

OlehMiftah Ramdhani dan Teuku Ramzy Farrazy*

Suarakita.org – Berbicara mengenai kehidupan gay di ibukota, rasanya memang tidak ada habisnya. Sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, hiburan dan perekonomian di Indonesia, Jakarta menawarkan berbagai kesempatan dan memunculkan fenomena menarik – termasuk fenomena lokasi berkumpulnya kelompok gay ibukota. Hal inilah yang membuat saya dan rekan saya Adan, menjadi penasaran dan memutuskan untuk blusukan guna mengamati salah satu tempat berkumpulnya kelompok gay di Jakarta.

Adalah Bioskop tua yang terletak di bilangan Jakarta Pusat, bioskop yang berdiri pada tahun 1920 ini merupakan salah satu dari segenap bioskop yang populer dan menjadi tempat bersantai masyarakat elite Batavia jaman dahulu. Bioskop ini terletak persis di hoek persimpangan jalan. Untuk mencapainya cukup mudah, sebab lokasi bioskop ini sangat strategis, dekat dengan stasiun kereta, halte transjakarta serta pusat perbelanjaan.

Bisa dibilang bioskop satu ini sudah kehilangan pamor. Dengan menjamurnya jaringan bioskop modern semakin membuat bioskop-bioskop lama ini ditinggalkan publik. Namun yang membuat bioskop ini cukup istimewa adalah suatu fakta bahwa bioskop ini terkenal sebagai tempat berkumpulnya kelompok gay kelas menengah ke bawah. Hal ini telah banyak diketahui publik bahwa kelompok gay kelas menengah ke atas tentu akan memilih nongkrong di tempat-tempat mewah dibandingkan di sini. Berdasarkan pengamatan kami, tampak depan bioskop telah begitu lapuk dan bahkan kelihatan seperti gedung yang bekas terbakar. Bahkan, jika tidak bertanya kepada warga, kami pun tidak menyadari bahwa tempat tersebut merupakan gedung bioskop. Kami tiba sekitar pukul 04.15 sore dan mendapati loket masih tutup. Tiga orang pengunjung lain yang sedang nongkrong menyarankan kami untuk kembali lagi sekitar pukul lima sore ketika loket buka. Awalnya kami sempat ragu untuk memasuki gedung tersebut. Namun, dengan tekad untuk mengetahui langsung bagian sejarah dunia hiburan Indonesia, kami memutuskan untuk menunggu hingga pukul lima di warung kaki lima terdekat.

 

Bioskop yang Benar-Benar ‘Panas’

Pukul lima sore, kami kembali ke gedung dan tampak loket telah dibuka. Kami berjalan beriringan sehingga orang menyangka kami adalah pasangan (hal ini kami lakukan demi keamanan bersama). Maklum, lokasi ini memang dikenal sebagai sarang preman dan mafia. Penjual loket adalah seorang perempuan berusia 40an. Dengan ekspresi tidak ramah, ia memberi kami dua karcis berwarna merah jambu dengan logo pemerintah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (perisai Monas dan bersemboyan ‘Jaya Raya’). Hal ini menandakan bahwa pengelolaan gedung ini berada di tangan pemprov DKI. Satu karcis dibanderol seharga lima ribu rupiah saja. Sungguh sangat murah sekali karcis bioskop untuk sekelas film yang bahkan tidak kami ketahui judul, bintang dan genrenya. Hal ini menandakan bahwa film bukanlah suguhan utama, hal ini membuat kami ingin tahu betul seperti apa fasilitas dan hiburannya. Sebelum kami pergi ke bioskop ini, kami sempat melakukan riset kecil melalui selancar internet dan mendapatkan fakta bahwa bioskop ini tidak terlalu nyaman oleh sebab keberadaan tikus dan kecoa yang sering berkeliaran. Untuk itu kami membawa beberapa lembar koran bekas untuk dijadikan alas duduk di kursi yang tidak terlalu nyaman tersebut.

Selanjutnya, kami memasuki teater satu, berjalan begitu hati-hati karena ruangan yang terlampau gelap dan panas. Tidak ada pendingin ruangan, hanya terdapat beberapa kipas angin yang sudah berusia uzur. Jumlah bangku yang tersedia berkisar lima ratus, dengan perkiraan 23 baris yang tidak terisi penuh. Teaternya lumayan luas, dan terdapat toilet di dalam dengan kondisi yang mengenaskan, bau pesing yang menyeruak – juga lantai yang kotor yang menjadi sarang jutaan kuman dan bakteri. Tembok pun dipenuhi dengan coret-coretan erotis. Kami memilih untuk duduk di sayap kanan bagian tengah, dengan target dapat mengamati apa yang terjadi di seluruh ruangan.

Sepanjang film diputar, kami menghitung ada sekitar tiga puluh pengunjung yang berdatangan, dan hanya satu saja yang berjenis kelamin perempuan. Kebanyakan dari mereka datang seorang diri, dan berkat kilau cahaya dari layar lebar, kami dapat memastikan bahwa rata-rata usia dari pengunjung di atas 40 tahun, golongan ekonomi menengah ke bawah. Kami juga menemukan satu pengunjung paruh baya yang beretnis India-Indonesia dengan rambut beruban dan bekemeja rapi (diantara yang lain, hanya ia saja yang memakai kemeja kantoran). Terdapat pula satu dua pemuda yang berpindah-pindah tempat.

Ada dua film yang diputar. Namun kami tidak terkejut bahwa yang disuguhkan adalah film erotis Hongkong era 1980an dan film dokumenter bertemakan transgender dari Thailand bertarikh 1993. Adegan-adegannya pun sangat vulgar. Film pertama (film Hongkong – kami tidak mengetahui judul dan bintangnya) berkisah mengenai persaingan dua perempuan dalam mendapatkan seorang supir taksi tampan dengan berbagai intrik yang mereka miliki. Adegan pemerkosaan, berciuman panas disertai perabaan organ intim dan juga peremasan payudara menjadi alur utama film ini. Film kedua, berkisah mengenai dokumentasi kehidupan transgender penghibur di Pattaya, Thailand, tidak terlampau panas seperti film pertama, namun menariknya, dalam dokumenter ini ditampilkan beberapa kawasan ‘panas’ di Pattaya, lengkap dengan bioskop-bioskop khusus film erotis yang menjadi tempat berkumpulnya kelompok gay.

Suasana menjadi lebih ‘panas’ ketika adegan film semakin syur, kami juga mulai menemukan beberapa adegan syur yang nyata di bangku penonton, di pertengahan film. Suara-suara desahan mulai sayup-sayup terdengar. Di deretan depan, pria India paruh baya yang kami sebutkan sebelumnya ternyata didekati dua lelaki lebih muda yang mulai melayani, dan beliau mulai tampak keasyikan. Sedang, di deretan belakang kiri, seorang pria sedang menikmati servis oral dua tiga pria yang duduk di sampingnya – hingga datang satu orang lagi menghampiri untuk membantu, dan satu orang lagi yang menghampiri tapi sekedar ingin melihat-lihat. Tak selang beberapa lama, terdapat dua orang yang sengaja lewat mengintip adegan panas tersebut dan mereka yang beradegan nampak tidak keberatan dengan pengintipan itu. Kemudian kami memutuskan untuk sedikit mengintip, namun mereka tetap asyik melanjutkan adegan itu.

Kami berpindah tempat duduk ke deretan tengah, dan aktor-aktor yang baru saja kami ceritakan juga berpindah untuk kemudian berganti pasangan oral – tampak pula beberapa pasangan lain yang berciuman dan asyik bercinta. Di sisi lain, ada seseorang yang baru datang dan menghampiri seorang pria yang duduk sendirian, bercakap-cakap lalu langsung ‘deal’, kemudian bergegas ke bangku pojok atas untuk indehoy. Totalnya, ada lima grup yang asyik bercinta baik itu berdua saja ataupun secara berjama’ah sepanjang pertunjukan. Sunguh, ini merupakan situasi yang tidak biasa kami lihat – betapa meriahnya aktivitas di dalam sini. Bagi kami, pengekspresian aktivitas seksual secara transparan di tempat yang tergolong sebagai ruang publik ini cukup di luar dugaan dan membuat kami mati kata. Pasalnya, sebagai bagian dari warga negara yang masih belum memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap kelompok gay, orang-orang ini tergolong cukup berani. Setelah film berakhir, ada satu lampu menyala dari ujung depan (seperti di bioskop pada umumnya) dan seluruh penonton bergegas keluar melalui pintu exit dan bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Beberapa tampak membetulkan resleting dan gesper celana.

 

Saksi Sejarah yang Akan Menjadi Sejarah

Dari penelusuran kami di dalam bioskop, terdapat beberapa fakta yang kami dapatkan:

  1. Bioskop yang kami kunjungi ini semakin tergusur oleh zaman, lalu mencoba bertahan dengan memutar film-film erotis produksi Indonesia, Hongkong, Thailand dan lainnya – tentu dengan harga tiket masuk yang sangat murah.
  2. Pengelolaan bioskop berada dibawah pemerintah provinsi DKI. Karcis ditarik untuk retribusi.
  3. Jumlah pegawai sangat minim dan kebanyakan berusia lanjut usia yang telah lama bekerja di sana.
  4. Pengunjung bioskop kebanyakan merupakan warga yang berasal dari kelas menengah ke bawah, mendapatkan kepuasan seksual secara cuma-cuma atas dasar suka sama suka.
  5. Terdapat pula beberapa pengunjung yang datang tidak menonton film dan tidak pula melakukan aktivitas seksual, hanya sekedar melihat-lihat dan penasaran dengan kemeriahan yang ada.
  6. Profil pengunjung cukup beragam dari segi etnisitas. Warga keturunan India juga berkunjung ke sini.
  7. Bioskop ini menjadi salah satu lokasi favorit gay ibukota dari kelas menengah ke bawah semenjak meredupnya perfilman Indonesia di penghujung 1980an.

Kami juga mewawancarai seorang ibu tua, pedagang kopi di depan bioskop, bernama Karmunah (70). Ternyata ibu ini telah lama berjualan disini, dari zaman Presiden Soekarno. Berdasarkan penuturannya, bioskop ini ramai sekali pada zaman dahulu, tidak seperti sekarang, hanya dijadikan tempat aktivitas seksual saja. Usut punya usut, sebelum marak dijadikan tempat berkumpulnya kelompok gay, dulunya terdapat banyak prostitusi untuk kalangan heteroseksual.

Kehadiran jaringan bioskop modern, ditambah dengan mahalnya biaya sewa kamar hotel dan naiknya harga kebutuhan pokok membuat kelompok gay berpenghasilan rendah mencari alternatif lain dalam usaha pemenuhan hasrat seksual, dan hal ini disambut sebagai peluang baik oleh pengelola bioskop ini, yang mencoba bertahan melawan tantangan zaman.

Ibu Karmunah juga menuturkan kerapnya razia ke dalam bioskop oleh aparat keamanan. Namun tetap saja aktivitas seksual tersebut masih terpelihara. Seperti kata filsuf Lacan, “Kekurangan adalah ibu kandung dari hasrat”. Apalah daya mereka, yang hanya manusia biasa, ketika dihadapkan dengan control dan hasrat? Bukankah aktivitas ini juga menyumbang retribusi bagi pemerintah propinsi? Keberadaan bioskop ini beserta fungsinya menurut kami merupakan sebuah bentuk perlawanan kecil terhadap kapitalisme, yang hampir mematikan kehidupannya. Ibu Karmunah menyebutkan akan ada rencana pengalihfungsian bioskop ini oleh pemain ritel besar asal Amerika Serikat dalam waktu dekat. Bukankah juga memilukan, melihat sebuah gedung yang menjadi saksi bisu kemegahan Batavia, the Queen of the East pada masa silam, menuju ambang kepunahan? Ketika bangsa yang besar seharusnya pandai berkaca dari sejarah, pemerintah propinsi DKI Jakarta justru dapat menyulap bioskop ini untuk tetap eksis seperti bioskop-bioskop modern yang lain. Dengan kepemilikan tetap di tangan pemerintah propinsi, sehingga biaya tetap terjangkau untuk hiburan bagi warga berpenghasilan rendah.

Kami pun menghela nafas panjang mengetahui nasib apa yang kemunginan akan dihadapi oleh bioskop malang yang penuh cerita ini. Orang bijak pernah berkata, “Dan semua pun akan pulang saat pesta telah usai.” Lalu bagaimana selanjutnya? Mari kita tunggu respon dari komunitas pecinta dan pemerhati warisan sejarah dan budaya Jakarta untuk bersama-sama bergerak melindungi bangunan yang sudah selayaknya dinobatkan menjadi cagar budaya. Adapun mengenai sepenggal kisah kemeriahan kelompok gay ibukota di bioskop ini biarlah menjadi suatu keunikan perjalanan masyarakat Jakarta, yang majemuk dalam berbagai hal termasuk dalam orientasi seksual dan identitas gender. Seperti Bu Karmunah utarakan mengenai aktivitas mereka, “Ya, setuju-setuju aja sih asalkan mereka tidak mengganggu saya, itu bukan urusan saya, itu hak mereka, mungkin mereka hanya ingin punya tempat sendiri untuk melampiaskan hawa nafsunya.”

Salam keberagaman.

 

*penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Nasional