Search
Close this search box.

[KISAH] Ragaku: Budak Adat

Oleh : V*

Suarakita.org- Selamat datang di area gelap. Mungkin tergelap dalam hidupmu, Diva.

Kau kandung benihmu yang tak kau harap, atas jiwamu yang masih belum menerima bahwa ragamu dijadikan sebuah alat. Kau adalah media bagi budaya. Budak bagi adat. Merupakan keharusan kau menjadi pelayan bagi lelakimu, tak peduli betapa tersiksanya saat kau ditiduri. Mulutmu dibungkam kelambu kodrat. Dan mereka berkoar bahwa itulah mau Sang Tuhan. Itulah keharusan. Tak seorangpun merasa menyiksa, ketika hanya bisa kau tumpahkan tangis saat kemaluanmu terasa perih, terjamah sosok yang tak sedikitpun kau inginkan. Bagi mereka, kehormatanmu yang tercabik adalah kehormatan mereka, yang tak ingin kepunahan citra. Sang Budayawan meracikmu di gelas emas. Kau madu manis bagi kemaluan lelaki. Dengan paradigma bahwa kehormatanmu akan terjaga, kau sudah dinodai, bahkan jauh sebelumnya.

Kau seorang perempuan yang mencintai perempuan, Diva.

Kau miliki kekasih layaknya jantung berdegub indah, yang selalu mengalunkan nada gemulai dan menghembuskan nafas seharum surga, suaranya menggetarkan seluruh nuranimu, serupa cumbuan lembut dan panas di setiap malam. Membuatmu bernyawa.

Kau abaikan darah berceceran yang menodai langkah dan bayanganmu, karena rantai yang mengikat kuat kedua kakimu. Kau acuhkan etika dunia yang tak kan pernah bersahabat pada pilihan hatimu yang berbeda.

Kau ditakdirkan seperti puteri raja lainnya, Diva. Tak berpilih, dan harus menghadapi kodratnya.

Kau menjadi boneka bermuka sedih yang membawa bahagia untuk semua orang, di hari itu. Kau lalui setiap detail prosesi pernikahan tanpa seorangpun mengijinkanmu untuk tidak terlihat bahagia, walaupun mereka tahu kau tidak merasakan apapun selain hampa. “Makamku telah disiapkan.” ujar hatimu, beku.

Malam nanti kau akan ditiduri lelaki itu, Diva. Bukan perempuanmu, yang bahkan bayangannya saja ingin selalu kau miliki tanpa terlepas. Gerbang neraka seolah terbentang, walau kau menikah dengan kesucian adat dan agama.

Dan hari-hari memang berlalu seperti di ambang kematian. Lebih buruk dari mati.

Kau mempertanyakan bahagia.

Waktu membunuhmu. Kau rindukan kedamaian pelukan kekasihmu, perempuanmu. Kau rindukan setiap inci dari dirinya yang selalu mampu menenangkanmu dan membahagiakanmu lebih dari apapun. Dia bukan seorang adam, namun dia lebih dari seorang hawa.

Bayangmu mengabur namun jelas, menuju hari itu, saat kalian dipisahkan, bersimbah tangis dalam pelukan yang berharap tak terlepas. Dia mencintaimu bahkan ketika kau torehkan luka di sekujur relung hatinya atas pernikahanmu. Dia tak berdaya, hanya karena dia tak memiliki sperma. Aturan dunia yang pasti namun menggelikan. Semesta tahu apa itu cinta, namun tidak dengan jiwa-jwa fana yang dilahirkannya. Dan kami adalah korban, dari yang disebut kodrat, adat, budaya, aturan, dan sejenisnya.

Lalu kau kandung benih itu, Diva.

Benih yang tak kau harapkan. Kekacauan jiwamu semakin menjadi. Kau selalu berharap dijemput mati. Nuranimu tertutup kegilaanmu. Tak pernah kau bayangkan bahwa kau tak kan bersukacita menjadi ibu. Kau menjadi buta, Diva. Ini bukan dirimu.

Namun darah lebih kental dari air.

Benih yang tak kau harap itu terus tumbuh. Dia mulai berbisik, walau kau menolak mendengar. Dia mulai berbicara walau kau selalu sibuk pada perbincanganmu dengan hatimu sendiri. Dia mulai menyentuh walau kau menolak merasakannya. Dia memberimu cinta. Dia mencintaimu jauh sebelum kau mencintainya.

Gerak tubuh dan degub jantungnya melenyapkan kebencianmu. Kalian menyatu dalam ikatan sakral yang tiada selain Tuhan yang bisa menjalinkannya. Janin kecil dalam perutmu perlahan menjadi bagian dari dirimu, melebur utuh dengan nyawamu, sejak dia memiliki ruh, hingga kau tak ingin kehilangannya, seperti kau tak ingin kehilangan dirimu.

Dan dia berhasil, Diva. Hatimu yang gelap akhirnya memiliki celah, dimana udara mengalir masuk dan membuatmu bernafas kembali. Ruang sempit dan sesak itu tak lagi membuatmu seperti jenazah di liang kubur. Janin kecilmu menjadi cahaya mungil Menerangi gelapnya hidupmu dalam nyata. Bahkan membuatmu bahagia setelah sekian lama kau mempertanyakan tentang sejatinya bahagia: kau akan menjadi seorang bunda. Kau tak kan lagi sendirian menghadapi kejamnya kenyataan. Dia menjadi sebuah harapan, impian, dan kesejatianmu untuk bahagia.

Gelap itu perlahan memudar. Kau tidak akan sendirian menjalani hidup dalam pesakitan.

Namun kenyataan memang kejam..

Dia pergi.

Janin kecil sucimu memilih pergi dengan suci. Sesuci caranya mensucikanmu. Kau harap kau akan ikut dengannya, waktu itu.

Cahaya mungil itu lahir… dengan segala keajaibannya. Dia sempat bertahan hanya untuk menyampaikan pesan padamu: “Ibu, kita tidak akan lama bersama, namun percayalah, kau akan lebih kuat dari sebelumnya. Aku dikirim Tuhan untuk memberikan kekuatan itu padamu.”

Kau bahkan belum menyentuhnya, apalagi memeluknya. Kau rasakan penderitaan yang lebih dari kesakitanmu selama ini. Hancur berkeping. Jantungmu berhenti berdenyut seketika.

“Apa lagi ini, Tuhan? Tak cukupkah penderitaanku selama ini? Satu-satunya cahayaku kau renggut dan padamkan seketika.” ujar hatimu.

Kau tak ingin dia pergi.

Kau belum mengijinkannya pergi.

Namun tugasnya sudah selesai, Diva.

“Apakah ini salahku? Atau salah kalian? Akukah pembunuh bayiku, atau kalianlah pembunuhnya?” darahmu telah demikian mendidih dan kebencianmu kembali menguap. Kau kutuk dirimu yang kau anggap tak mampu menjaga janin yang kau kandung, bahkan pernah tak mengharapkannya. Kau kutuk mereka karena membuatmu menderita sehingga kau tak dapat bersuka cita menyambut kehadiran janin di perutmu.

Jantungmu terlepas sudah, degubmu palsu. Kau mayat.

Kau sudah tak peduli pada apa yang paling kau takutkan, yaitu kenyataan bahwa penderitaanmu harus bertambah. Kau tahan untuk tak mengumpat akan sia-sianya perjuanganmu menerima derita atas pilihanmu untuk berbakti. Kau takut Tuhan mendengarnya walau Tuhan tentu mendengarnya.

“Apakah ini karena aku pernah tak mengharapkannya? kau salahkan dirimu bertubi-tubi.

“Apakah ini karena aku tak sungguh-sungguh menjaganya?” pertanyaan terus bergulir di hatimu, menusuk seperti sembilu.

“Ini karena kalian!!!!!” dan kau terus menyalahkan.

Apapun itu. Kau kembali pada gelap. Gelap yang lebih gelap dari kegelapan yang mengitarimu sebelumnya.

Namun secercah rasa hangat mengalir di relungmu yang beku. Kau tahu bahwa puterimu tidak diciptakan Tuhan untuk membuatmu semakin mengutuk dirimu dan keadaan, Diva. Dia terlalu suci untuk itu, dan Tuhan terlalu Maha Baik untuk itu. SkenarioNya tak selalu indah, tapi akan selalu bermakna sempurna.

“Tuhan tidak membuat takdir ini hanya untuk semakin menghancurkanku. Itu tidak mungkin.” suara hatimu melemah.

Semua hati hancur. Hati yang mendambakan lahirnya bayi mungil itu dari rahimmu. Mereka yang memaksamu untuk menikah. Mereka yang mencintaimu, namun lebih mencintai diri mereka sendiri. Semua mulut terbungkam. Tak ada yang mampu mereka ucapkan lagi, harapan dan impian padam sudah. Kau tahu mereka hancur melihatmu demikian menderita kehilangan buah hatimu. Mereka merasa bersalah, Diva. Kau tahu itu.

Diva, kau adalah diriku.

Penderitaanmu memang akan bertambah. Gelap memang semakin pekat menyerta. Namun hidup terus berjalan. Tugasmu sekarang bukanlah lagi melawan, apalagi menyalahkan Tuhan. Kau harus terus berjalan, berjuang melalui hari-hari penuh kesakitan untuk mencari tujuanNya atas dirimu, atas kepergian puterimu.

Suatu saat, kebebasan itu akan datang, Diva. Dengan caraNya, sesuai perjuanganmu.

=============

Mengenang kepergian puteri kecilku, Diva (bukan nama sebenarnya – red), yang berarti sebuah keajaiban. Dia adalah keajaiban bagi saya, dan semua orang yang memaksakan pilihannya kepada saya agar saya menikah. Kiandra mengajarkan bahwa kehendak manusia tak sebanding dengan kehendak Tuhan. Kiandra sangat diharapkan semua pihak keluarga hingga mereka tidak menyadari penderitaan saya untuk melalui sebuah pernikahan yang belum bahkan mungkin tidak pernah saya harapkan.

Saya adalah seorang perempuan yang mecintai perempuan. Saya seorang lesbian.

Saya berharap tulisan saya memberi inspirasi bagi para kaum lesbian yang mungkin memiliki nasib serupa. Bahwa ketika kita tidak bisa lagi melawan, kita tetap bisa berjuang melalui apapun, media tulisan, maupun tindak nyata dengan bergabung pada suatu komunitas yang menyuarakan suara hati kita. Dan bagi yang masih bisa berjuang, maka berjuanglah dan terus perjuangkan hidupmu. Menjalani hidup dengan pilihan orang lain tidak akan pernah melahirkan kebahagiaan. Percayalah.

Teruslah berjuang. Suarakan hatimu.

 

*Penulis adalah aktivis feminisme asal kota Solo.