Oleh : Nursyafira Salmah*
Suarakita.org- Bagi Anda yang mengikuti berita mengenai SEA Games 2015 di Singapura akhir-akhir ini, pasti tidak asing dengan berita yang satu ini. Sebuah headline dari portal media online memaparkan sebuah judul tulisan SEA Games 2015;Filipina Minta Panitia Periksa Gender Pemain Voli Putri Indonesia (Tribunnews.com, Rabu 10 Juni 2015). Dari berita tersebut saya menyimpulkan bahwa pada intinya Filipina mengajukan protes kepada panitia pelaksana SEA Games 2015 Singapura atas gender pemain tim bola putri Indonesia, Aprilia Santini Manganang.
Filipina menuntut dan meminta mereka memeriksa karakteristik gender pevoli putri tersebut. Menurut Inquirer.net, Roger Gorayeb sebagai pelatih voli tim putri Filipina meragukan Aprilia karena penampilan fisiknya yang tampak berotot, sangat kuat, seperti memasukkan pemain putra dalam tim putri.
Kasus yang menjadi sorotan dalam headline tersebut adalah mengenai ‘tes gender’. Tes gender di dalam ajang olahraga ini ternyata bukanlah yang pertama kali. Sebelum kasus Aprilia, ajang olahraga Internasional lain pernah mengalami hal ini. Diantaranya adalah kasus Santhi Soundarajan, pelari putri India dan Caster Semenya, pelari putri Afrika Selatan. Tes gender dalam ajang olahraga merupakan hal yang sangat kontroversial dan sensitif. Tes gender diyakini dapat menimbulkan dampak psikologis pada si atlet (tribunnews.com). Bukan hanya itu, tes gender sendiri memiliki proses yang sangat kompleks dan melibatkan banyak ahli di dalam dunia kesehatan.
Orang awam pada umumnya mengartikan ‘gender’ dengan pengertian yang sama dengan ‘jenis kelamin’ (seks). Namun, secara ilmiah keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Seks mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan ciri-ciri biologis seperti jenis kelamin dan penentuan jumlah kromosom seseorang (Beauvoir, 1975). Karena seks mengacu pada ciri-ciri biologis seseorang, maka seks menjadi penentu perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki yang dibawa sejak lahir. Seks atau jenis kelamin juga dinilai sebagai sesuatu yang mengacu pada perbedaan psikis dan psikologis antara perempuan dengan laki-laki, termasuk karakteristik primer seks (sistem reproduksi) dan karakteristik sekunder seperti ukuran tubuh dan massa otot (Little and McGivern, 2012).
Di sisi lain gender adalah perbedaan yang dibangun secara sosial kultural, yang terkait dengan perbedaan status, sifat, peran, maupun tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Gender adalah sebuah identitas yang merupakan sebuah hasil konstruksi atau pencirian peran sosial seseorang, sehingga orang tersebut diidentifikasi oleh orang lain dan lingkungannya sebagai laki-laki atau perempuan. Seperti pernyataan Butler (dalam Beasley, 2005) bahwa gender adalah performa atau bentuk tindakan kuasa. Gender itu diinterpretasikan sebagai sesuatu yang dicerminkan atau didapat dari konstruksi tubuh (Butler, 1990). Identitas berbasis gender adalah sesuatu yang ‘dimainkan’ atau ‘diperankan’ karena gender sangat bersifat performatif.
Setelah kita memahami dua pengertian di atas, mari kita kembali melihat kasus ‘tes gender’ yang sebelumnya telah saya paparkan. Jadi, mengapa wacana tentang tes gender itu muncul? Dari hasil pengamatan saya berdasarkan beberapa kasus yang pernah terjadi, tes gender dalam ajang olahraga dilakukan karena muncul protes yang menyatakan keberatan akan kondisi fisik seseorang yang performanya ‘tidak biasa’ atau bahkan ‘berlawanan’ dari kategori jenis kelamin yang melekat pada orang tersebut sejak lahir. Berdasarkan kasus tes gender yang pernah terjadi, semua yang harus menjalani tes ini adalah atlet perempuan. Menurut sebuah berita dalam tempo.co, atlet perempuan tidak lagi dapat bertanding sebagai wanita jika mereka memiliki kadar testosterone alami dalam kisaran pria.
Terdapat pedoman baru tentang hiperandrogenisme pada perempuan yang direkomendasikan oleh International Olympic Comission (IOC) pada 5 April 2011 dan diterima oleh Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF) pada 12 April 2011(dikutip dari portal berita Tempo.co, Kamis 5 Mei 2011 oleh Tjandra Dewi). Hiperandrogenisme sendiri adalah sebuah kelainan hormon dan ovarium dan kelenjar adrenal (American Association of Clinical Endocrinologists, 2001). Menurut tempo.co, kasus hiperandrogenisme yang paling umum adalah sindrom insensitivitas androgen (AIS). Dalam kasus AIS janin sebenarnya dikategorikan dengan jenis kelamin laki-laki (secara genetik). Namun, reseptor testosteronnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, janin tidak menanggapi sinyal hormonal untuk berkembang seutuhnya dengan karakteristik biologis laki-laki. Dalam kasus ini, biasanya janin akan berkembang sebagai perempuan akan tetapi ia tak punya ovarium, melainkan testis (dikutip dari portal berita Tempo.co, Kamis 5 Mei 2011oleh Tjandra Dewi).
Menurut Malcolm Collins seorang ahli biokimia medis yang mengambil spesialisasi kedokteran olahraga si University of Cape Town, tes gender dalam ajang olahraga ini adalah bentuk aturan main yang fair. Peraturan ini berlaku untuk perempuan yang memproduksi hormon androgen, terutama testosterone melebihi level normal. Ini berefek samping pada postur dan karakteristik biologis perempuan tersebut seperti karakteristik biologis laki-laki. Tubuh akan berekembang memiliki massa otot lebih besar. Di sisi lain, seorang ahli endokrinologi di Yale School of Medicine di New Haven, Connecticut, Myron Genel menyatakan bahwa pedoman itu seharusnya mengeliminasi stigmatisasi terhadap perempuan yang dianggap banyak orang tidak terlihat ‘sebagaimana mestinya’.
Dari penjelasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa ‘tes gender’ ini bisa memperlihatkan kepada masyarakat luas bahwa terdapat variasi seks dalam tubuh manusia. Bukan seks yang berarti jenis kelamin, melainkan komponen-komponen biologis seperti kapasitas kromosom dan hormon seseorang. Satu hal yang menjadi sangat penting, ‘tes gender’ ini hadir karena peraturan dan ketentuan dalam ajang olahraga yang jelas-jelas bersifat sangat biner. Sehingga, orang-orang dengan karakteristik seks yang spesial dan pilihan gender yang tidak mainstream (transgender), diragukan untuk ikut serta dalam ajang olahraga umum seperti ini. Seks dan gender itu sangat cair dan bervariasi. Mungkin di satu sisi pedoman peraturan ajang olahraga ini terkesan diskriminatif. Namun, semua ini ada karena efek domino dari pandangan yang biner dan heteronormativitas. Yang sudah terpatri dalam benak orang awam adalah “perempuan memiliki karakteristik tubuh dan sifat X” sedangkan “laki-laki memiliki karakteristik tubuh dan sifat Y”. Sehingga saat “perempuan itu Y” dan “laki-laki itu X” maka akan dianggap ‘di luar normal’.
*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI tingkat akhir dan pernah menjadi mahasiswa magang di Suara Kita.