Search
Close this search box.

[Kisah]: Transgender dari Nganjuk, Avika Warisman Merasa Senang

Suarakita.org- Melakukan penyesuaian kelamin merupakan keputusan besar dan berani. Misalnya, pengalaman pemuda asal Nganjuk ini yang belum genap sebulan menjalani penyesuaian kelamin di RSUD dr Soetomo Surabaya. Diwarnai pro-kontra selama prosesnya, dia kini mengaku plong dengan ’’wajah’’ baru sebagai seorang perempuan.

’’SELAMAT pagi. Silakan pilih menunya, Mbak,’’ sapa seorang pramusaji kepada Avika Warisman, 22, saat baru melangkah masuk ke sebuah rumah makan di Nganjuk Kota kemarin (17/6).

Dengan tubuh semampai setinggi 175 sentimeter dan rambut dicat pirang sebahu, Avika tampak percaya diri duduk dengan manis di salah satu sudut rumah makan itu.

Penampilannya yang stylish dan anggun memang menarik perhatian para pengunjung rumah makan tersebut. Siang itu, dia mengenakan kaus tanpa lengan berbalut jaket denim pink dipadu celana jins legging hitam.

Para pengunjung rumah makan tersebut mungkin tidak tahu bahwa Avika sebenarnya adalah seorang transgender. Apalagi tutur katanya terdengar lembut layaknya perempuan pada umumnya. Gerak-geriknya yang ditunjang aksesori busana yang dikenakan juga tampak begitu feminin.

Sambil menunggu pesanan datang, remaja asal Dusun Kandeg, Desa Waung, Kecamatan Baron, Nganjuk, tersebut mengeluarkan beberapa lembar dokumen dari tas jinjingnya. ’’Masih ditunda lagi prosesnya di pengadilan. Nanti harus balik ngurus lagi,’’ ucap Avika kepada Jawa Pos Radar Nganjuk.

Kemarin Avika memang baru saja mendatangi kantor Pengadilan Negeri (PN) Nganjuk. Didampingi teman karibnya semasa bersekolah di SMA Negeri 1 Kertosono, dia hendak mengurus akta perubahan identitas jenis kelamin. Yakni, dari status lamanya yang terlahir sebagai laki-laki menjadi perempuan. Perubahan itu terjadi setelah Avika menjalani operasi ganti kelamin di RSUD dr Soetomo Surabaya.

Avika sebenarnya berharap proses administrasi perubahan kelamin dirinya itu bisa beres kemarin. Namun, karena kendala teknis di internal pengadilan, dia diminta kembali lagi dalam beberapa hari ke depan. Dia sempat merasa kecewa mendengar penundaan tersebut. Tetapi, dia tetap memilih bersabar karena masih punya cukup waktu luang.

’’Sekarang saya masih harus kontrol pascaoperasi. Jadi, lebih banyak istirahat di rumah,’’ ujar remaja kelahiran 14 April 1993 itu.

Avika lantas menceritakan proses perubahan pada fisiknya tersebut. Dia mengungkapkan, penyesuaian kelamin itu dijalaninya pada 26 Mei lalu. Dia ditangani tim ahli bedah plastik RSUD dr Soetomo. Rangkaian operasi berlangsung sekitar tujuh jam, pukul 08.00 hingga 14.00. Dia baru tersadar beberapa jam kemudian ketika hari sudah gelap.

’’Sampai sepuluh hari setelah operasi, saya harus menjalani rawat inap. Bed rest di rumah sakit,’’ kenang anak pasangan Suparman dan Sunarti tersebut.

Avika memilih RSUD dr Soetomo untuk menjalani penyesuaian kelamin karena mendapat informasi bahwa rumah sakit milik Pemprov Jatim itu merupakan yang terbaik di Indonesia untuk operasi transgender. Avika adalah pasien bedah kelamin ke-41 di RSUD dr Soetomo untuk perubahan kelamin dari laki-laki menjadi perempuan.

Prosesnya dimulai sejak awal Januari lalu, ketika Avika pertama datang ke salah satu ahli bedah untuk mengutarakan niatnya tersebut. ’’Lalu, saya diminta tes ke beberapa poli. Mulai poli kandungan, poli dalam, sampai poli psikiater,’’ kenangnya. Bila satu saja gagal, Avika dipastikan tidak bisa menjalani operasi.

Prosedur itu memakan waktu hingga lima bulan. Bahkan, Avika mengaku sempat down di tengah jalan lantaran tidak kunjung mendapat kabar kepastian. Sampai-sampai, dia berencana pindah ke Bangkok, Thailand, yang diketahuinya lebih praktis dan cepat.

Namun, hal itu urung dilakukan setelah kabar yang ditunggu-tunggu tersebut datang. Tim dokter dari RSUD dr Soetomo memberikan kepastian pelaksanaan operasi Avika. Di balik prosedur yang cukup panjang itu, belakangan Avika merasakan manfaat lain, Yakni, mental dan fisiknya lebih siap dalam menghadapi perubahan fisik pada dirinya.

Selama proses berjalan, anak kedua di antara tiga bersaudara itu menyatakan selalu didampingi sang ibu, saudara, serta teman-teman dekatnya. Dukungan dan kehadiran mereka dirasakan Avika sebagai pemacu semangat sehingga mental dan fisiknya siap menjalani proses tersebut.

Tetapi, karena dukungan itu pula, Avika sempat merasa takut dan grogi menanti detik-detik memasuki ruang operasi. Meskipun, di balik dukungan orang-orang terdekat tersebut, Avika tetap merasa ada satu sosok penting yang tidak bisa menjadi saksi sejarah hidup dirinya.

’’Ayah saya (almarhum Suparman, Red) sudah meninggal setahun lalu,’’ ucap Avika menunjukkan raut sedih.

Sejak kecil Avika begitu mengagumi sosok sang ayah. Menurut dia, dukungan (penyesuaian) pertama justru datang dari sang ayah yang sempat memberikan pesan terakhir sebelum meninggal. Almarhum merestui keinginan Avika untuk menjalani penyesuian kelamin.

’’Setelah ayah meninggal, gantian mama yang semangat kasih dukungan,’’ ujarnya.

Bahkan, sang ibulah yang beberapa kali menyemangati ketika Avika tiba-tiba down dan ragu-ragu. ’’Mereka (orang tua, Red) mikir gimana ke depannya aku. Daripada hidup nggak jelas, lebih baik operasi,’’ ungkapnya.

Lantas, berapa biaya yang dihabiskan Avika untuk menjalani operasi ganti kelamin itu? Dia tampak enggan menyebutkan nominal yang sudah dihabiskannya. Menurut dia, semua yang sudah dikeluarkan sebanding dengan yang didapat saat ini. Bukan hanya operasi, Avika juga ’’menyempurnakan’’ penampilannya dengan melakukan terapi suntik hormon. ’’Iya, memang ada terapi untuk suntik hormon,’’ jelasnya.

Ayah dan ibu Avika, rupanya, sudah lama menyadari bahwa anak laki-lakinya itu tidak nyaman dengan kondisi psikologisnya. Avika kali pertama menceritakan keinginannya berganti kelamin itu kepada beberapa teman dan kerabat dekatnya sekitar dua tahun lalu. Saat itu, dia mendapat banyak tentangan serta penolakan, bahkan sempat dicap tidak waras.

Avika mulai merasakan adanya ketidaknyamanan dalam dirinya sejak kelas 2 SMP. Dia merasa lebih nyaman menjadi seorang perempuan daripada wujud fisiknya yang laki-laki kala itu. Namun, saat itu, dia belum berani terang-terangan karena di sekolah harus tetap mengenakan seragam laki-laki sampai SMA. Dia baru berani membuat ’’kejutan’’ saat acara perpisahan kelulusan SMA pada 2011 dengan memilih mengenakan kebaya dan riasan layaknya teman-teman perempuan di sekolah.

’’Banyak yang terkejut. Tetapi, saya malah dapat penghargaan busana terbaik di acara itu,’’ kenang saudara kandung Agus Bastomi dan Abrelia Tri Warisman tersebut.

Selepas SMA, Avika menjadi lebih leluasa menunjukkan ’’jati diri’’-nya. Apalagi, setelah meneruskan kuliah D-3 di jurusan Food and Baverage Product spesialisasi hot kitchen di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo Jogjakarta, penghobi memasak dan tata rias tersebut merasa memiliki lingkungan yang lebih mendukung.

’’Di luar kuliah, saya biasa ikut pemotretan dan jadi model tata rias di Jogja,’’ ujarnya.

Selebihnya, sampai sekarang Avika sadar sepenuhnya bahwa seorang transgender masih dipandang sebelah mata dan belum bisa diterima sepenuhnya. Lebih-lebih di lingkungan pedesaan tempat tinggalnya.

’’Tetapi, itu tidak menggoyahkan saya. Sebab, keinginan saya sudah kuat,’’ tegasnya.

Kini terbukti, Avika telah berubah menjadi seorang perempuan cantik dan lebih bahagia menjalani kehidupannya. Saat ini yang sedang ditunggunya adalah menanti kepastian perubahan fisiknya tersebut secara hukum.

Sementara itu, Prof Dr Djohansjah Marzoeki SpBP, ketua tim dokter RSUD dr Soetomo, mengingatkan pasien yang ingin menjalani operasi ganti kelamin untuk tidak main-main. ’’Karena itu, niatnya harus dibulatkan dulu sebelum memutuskan untuk operasi,’’ ujar ahli bedah plastik lulusan University of Groningen Belanda itu.

Untuk melakukan penyesuaian kelamin Avika, Djohansjah menggandeng dokter spesialis penyakit dalam, psikiater, serta psikolog. ’’Operasi berjalan lancar dan tidak ada halangan,’’ tambahnya.

Sebelum operasi, Djohan memastikan bahwa Avika tidak memiliki infeksi apa pun. Menurut dia, syarat utama untuk menjalani operasi perubahan kelamin adalah terhindar dari infeksi. ’’Pasien harus dalam kondisi sehat jasmani dan rohani,’’ papar dokter yang juga pernah melakukan operasi ganti kelamin terhadap artis Dorce Gamalama tersebut.

Djohan mengaku, selama ini mayoritas yang menjalani operasi ganti kelamin adalah laki-laki. Kebanyakan berusia lebih dari 20 tahun. Dia mewanti-wanti untuk berhati-hati dalam menjalani operasi ganti kelamin. ’’Bila terjadi kesalahan, akan berisiko infeksi hingga saluran usus,’’ tegas guru besar Fakultas Kedokteran Unair Surabaya itu.

Sumber; radarpekalonganonline.com