Search
Close this search box.

[Diskusi Film] Pride: Solidaritas Gay-Lesbian Untuk Buruh

Suarakita.org- Riuh rendah tepuk tangan mengapresiasi pemutaran dan diskusi film minggu ini di Suara Kita. Minggu ini dengan nuansa Hari Buruh dan IDAHOT (International Day Against Homophobia and Transphobia – red) yang masih terasa, menurut Johan salah satu peserta nonton dan diskusi ini, film  Pride yang diputar di Suara Kita dianggap sangat pas dengan momentum yang ada.

Sekitar 25 orang peserta disksui dan nonton bareng ini memenuhi sekretariat Suara Kita dengan tawa, decak kagum, dan tepuk tangan. Menurut beberapa orang yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, PRIDE menjadi film yang dapat membangunkan semangat dan kebanggaan untuk gerakan LGBT.

Pemutaran film dan diskusi tanggal 9 Mei kali ini mendatangkan Ana Arifin (lebih akrab dipanggil Upi) dari Arus Pelangi. Diskusi film kali ini secara garis besar membahas mengenai pengorganisasian hingga kontribusi individu dalam gerakan LGBT, khususnya di Indonesia. Berbagai tanggapan memulai diskusi film kali ini. “Kita liat ada pernyataan dalam film kalau dalam gerakan lesbian dan gay mendukung buruh harus bikin divisi perempuan, karena perempuan punya permasalahan sendiri,” ujar Lini Zurlia salah satu peserta diskusi.

Hal ini dibenarkan oleh Upi sebagai pembicara, menurut Upi film PRIDE menggambarkan isu gerakan yang cross-cutting atau interseksional. “Gerakan LGBT pun masih sulit untuk mengaddress isu perempuan,” ungkap Upi secara lugas. Oleh karena itu, menurut pembicara, film PRIDE ini mengajarkan kita bukan hanya mengenai pentingnya solidaritas tetapi juga menjadi penting untuk melihat isu itu secara interseksional. Dalam diskusi ini diungkapkan bahwa diskusi lintas isu dalam gerakan masih menjadi andalan, terutama dalam pengorganisasian gerakan.

Suasana Diskusi Film Pride (Foto : Yatna Pelangi/Suara kita)
Suasana Diskusi Film Pride
(Foto : Yatna Pelangi/Suara kita)

Bukan hanya mengenai gerakan dan pengorganisasian, diskusi film kali ini juga dihujani tanggapan yang beragam dari peserta. Salah satu peserta dari perguruan tinggi bercerita mengenai bagaimana prosedur hukum di Indonesia dalam menangani kasus-kasus (terutama kekerasan) terhadap LGBT. Ada juga peserta yang mengungkapkan pengalamannya mengenai sikap apatis beberapa LGBT sebagai individu yang acuh terhadap kemajuan gerakan dan advokasi mereka. Ini yang terlihat berbeda dengan apa yang tampak dalam film PRIDE. “Ga bisa berkata-kata, seperti dapet inspirasi pas liat film ini, ngeliat semangat dan solidaritas,” ungkap Upi dengan semangat. Menurut pembicara, gerakan LGBT di Indonesia memang masih memiliki pe-er panjang. Walaupun Indonesia belum merayakan perayaan “PRIDE” seperti di London, tetapi setidaknya Indonesia sudah bisa merayakan IDAHO dan TDOR. “Itu udah kemajuan banget, siapa tau walaupun puluhan taun kedepan, perayaan PRIDE bisa ada di Indonesia,” ujar Upi sambil tersenyum.

Terdapat satu tanggapan yang sangat disetujui oleh forum. Hartoyo dari Suara Kita menyatakan dengan yakin, “menurutku fenomena gerakan mulai berubah sejak ada media sosial.” Berkaca pada film PRIDE kali ini, Hartoyo beranggapan bahwa semua orang bisa menjadi aktivis dan semua orang bisa jadi agen perubahan. Film kali ini mencotohkan kita bagaimana semangat dan solidaritas dapat menghancurkan sistem yang kaku walaupun secara perlahan. PRIDE menampilkan sebuah potret kebanggaan akan identitas seseorang. Jadi, untuk apalagi kita minder dengan orientasi seksual atau identitas gender kita? “LGBT adalah orang-orang terpilih karena anti-mainstream”, ujar Hartoyo. (Fira)