Search
Close this search box.

[CERPEN]: Maria Memilih Perawan

Oleh: Nurdiyansah Dalidjo*

Suarakita.org-Bunda Maria, Perawan yang berkuasa, bagimu tidak ada sesuatu yang tak mungkin karena kuasa yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepadamu….”

Tiga puluh lima tahun bukan usia yang mudah bagi perempuan. Kuucapkan Tiga Salam Maria setiap pagi dan malam hari, bahkan sebelum aku bisa membaca. Begitulah sejak kecil ibu mendiktekannya untukku. “Maria Perawan Suci adalah malaikatmu. Jangan pernah berpaling dari Sang Bunda. Jika kamu sedih, mengadulah pada-Nya. Jika kamu senang, berbagilah kebaikan karena-Nya.” Namaku Maria.

Salam Maria…
Salam Maria…
Salam Maria…

Malam ini aku berkunjung ke sebuah gereja tua. Aku beranjak dari tempat duduk kayu yang dingin. Renta, namun kokoh. Mengambil sebuah lilin berwarna merah serupa merahnya hati dan kain Maria. Lilin itu pun menyala. Cahaya segera berpijar. Kubayangkan hati-Nya yang bagai lilin. Menerangi relung-relung dan memberikan keyakinan pada yang gelap.

Aku berucap dalam hati. “Bunda Maria, berikanlah aku keteguhan, berikanlah aku cahaya-Mu. Sirnahkanlah keraguan ini dan hapuskanlah kegelisahanku ini. Bunda yang kudus, di bawah tangan-Mu aku bersimpuh berkat. Amin.”

Kutinggalkan doaku, Maria. Seikat mawar putih bersama lilin merah dan apinya, kusimpuhkan di bawah sosok-Mu.
Pagi hari, di kamarku yang mungil, aku kembali berlutut. Mengucapkan terima kasih atas pelukan dari-Nya yang membuatku menjadi lebih kuat untuk hari ini.

***

“Hey, Mar, kukenalkan pada Jeremy, ya? Dia tampan. Lulusan Australia. Usianya 38. Manajer di bank ternama, loh!”

“Ah, tak usah, Rin! Terima kasih.”

“Aduh kamu ini. Usia kita ini bukan gadis lagi, Mar. Sejak berteman denganmu dari SMA, tak pernah sekali pun aku melihatmu jalan dengan cowok yang jadi pacar. Kamu ini cantik. Banyak laki yang naksir, tapi semua kamu tolak. Bingung aku sama kamu.”

“Bukannya aku menolak, Rin, tetapi aku tak ingin, mungkin masih belum siap.”

“Hah? Belum siap bagaimana? Kamu mau tunggu sampai umur berapa lagi untuk siap? Ah, ya, sudahlah!”

“Terima kasih untuk pengertianmu, Rin. Tak perlu khwatir atau repot. Aku senang menjalani kehidupanku yang sekarang sebagai single.”

“Mar, aku tuh sebenarnya kasihan juga denganmu. Setiap kita kumpul dengan teman-teman yang lain, sindiran mereka terhadap kamu itu selalu saja tak berubah sejak dulu. Soal laki! Soal kamu yang terlalu pemilih, kamu yang tukang tolak pangeran, kamu yang selalu ke mana-mana suka sendiri. Kamu memang ngga tersinggung dengan semua itu?”

“Sudah biasa, Rin, lagi pula mereka itu kan teman-teman kita. Hanya bercanda dan ngga bermaksud jahat, kok.”

“Aduh, Mar, kamu ini! Eh, Mar, maaf nih, anakku bangun dan nangis. Aku tutup dulu, ya, nanti kita sambung lagi.”

“Iya.”

“Bye!”

Rini sahabatku kini telah menikah dan memiliki tiga anak. Anak ketiganya belum genap satu tahun. Aku turut bahagia dengan kehidupannya sekarang, dengan perannya yang ia sangat nikmati sebagai ibu, menjadi ibu rumah tangga dengan gelar Sarjana Ekonomi. Ia melakukannya sendiri. Tak ada pembantu atau babysitter, hanya mertua dan ibunya saja yang sesekali datang menjenguk dan sedikit membantu. Ia tak tahu bahwa sebetulnya aku bahagia dengan dirinya yang bahagia. Tetapi, entahlah ia selalu memusingkan diriku. Apakah ia sedang menjadikan kehidupannya ini sebagai bentuk ideal yang ingin ia terapkan padaku? Ia semakin cerewet memperkenalkan sederetan lelaki teman-temannya kepadaku, bahkan teman dari temannya atau teman dari suaminya. Maksudnya baik. Ia kasihan padaku yang masih melajang ini.

Berkali-kali ia menampakkan wajah sumringahnya saat bercerita tentang kenikmatan hubungan seksual dengan lelakinya itu. “Memangnya kamu ngga mau cepet-cepet coba, Mar? Atau sebetulnya kamu sudah pernah?” begitulah sindiran Rini tempo hari yang hanya bisa kujawab dengan senyuman. Itu tidak membuatku iri. Itu tidak membuatku ingin. Aku tidak tertarik pada kenikmatan tersebut. Dan mungkin di sinilah orang-orang mulai melihat ada yang salah denganku.

Namaku Maria dan aku masih perawan.
Ah, tapi tidak tepat juga jika Rini bilang aku tak pernah jalan dengan lelaki. Aku pernah menjalin hubungan singkat dengan sejumlah lelaki. Ketika SMA, aku mengiyakan Doni ketika ia “menembak.” Lucu sekali, itu istilah yang akrab di kalangan remaja dulu. Lelaki yang menyatakan cinta atau tepatnya meminta perempuan menjadi pacarnya, harus ditembak dulu. Aku menjadi target. Namanya Doni Asmara. Setelah ia mendekatiku selama sebulan lebih, akhirnya ia bilang cinta dan minta aku jadi pacarnya. Aku mengiyakan karena usaha kerasnya.

Kami sempat jalan ke mal bersama satu kali. Kami berpegangan tangan dan aku betul-betul menikmati kedekatan ini. Hingga ia mengajakku ke rumahnya pada malam hari. Tak ada ayah-ibunya atau siapa pun. Keluarganya sedang berlibur dan ia memilih ditinggal. Aku tak berpikir macam-macam. Namun rupanya ia punya rencana bermacam-macam. Aku menduga, mungkin kami hanya akan menonton film seram atau sekedar mengobrol. Ah, aku terlalu naif sebagai remaja. Ia menyenderkan kepalaku di bahunya. Tangannya mendekapku. Semakin lama semakin erat. Tiba-tiba ia mencium bibirku. Aku menarik diri, lalu ia malah menarikku dengan cengkramannya. Payudaraku seperti ingin ia rebut. Kami berkelahi. Ia memohon-mohon seperti serigala. Ia memohon-mohon atas tubuhku untuk bisa dijilatnya. Aku menamparnya. Mengancam melaporkannya ke polisi. Lalu, aku pulang sambil menangis. Tentu saja, aku tak benar-benar melapor polisi. Tetapi aku menyadari bahwa lelaki itu menginginkan lebih dari sekedar relasi.

Apakah itu membuatku trauma? Untuk beberapa waktu, ya. Namun setahun kemudian, seorang lelaki datang lagi menghampiri. Ia baik, ramah, dan tampan. Tamparan keduaku jatuh padanya ketika ia meraba dadaku tanpa izin saat kami menonton di bioskop. Hubungan kami berakhir dalam sekejap.

Lelaki ketiga adalah seorang pria dewasa. Kami menjalin hubungan dengan sangat baik dan cukup romantis selama 3 bulan itu. Ah, aku sangat menyayangkan hubungan kami yang berakhir itu. Saat ia tampak begitu terangsang ketika kami hanya berdua di sofa, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku kaget. “Apakah aku boleh menciummu?” Aku pun menyerahkan bibirku sebagai hadiah kebaikannya. Kupikir aku akan merasakan sesuatu, tetapi tak ada apa-apa yang menjalar dalam diriku meski ia menciumku dengan baik dan lembut. Ia sangat sopan dan tahu diri, bahkan mengucapkan terima kasih setelah menciumku agak lama. Ia berhenti hanya sampai di situ. Sungguh lelaki yang tahu diri.

Suatu ketika kami berbincang dan entah dari mana awalnya, akhirnya aku menjelaskan padanya kalau aku tidak terangsang dengannya. Ia tersinggung. Kujelaskan bukan aku mengatakan ia jelek atau tidak bisa menyenangiku, hanya saja, aku betul-betul tak memiliki hasrat itu. Ia mulai bingung. Seminggu kemudian ia menemuiku dan mengatakan mimpi-mimpinya kelak untuk menikah dengan perempuan, memiliki anak-anak, dan kehidupan keluarga yang bahagia. Ia melihat itu padaku, tapi kemudian ia memutuskan untuk tak lagi berhubungan denganku.

Ia ternyata lelah karena aku tak juga menyerah, katanya. Padahal bukan karena aku ingin menyerah atau tak bisa mengalah. Hanya saja aku tak bisa melakukan apa yang ia anggap sebagai kehidupan ideal bagi sepasang kekasih. Ia tak pernah bisa memahami topik diskusi tentang tubuh dan seks denganku. Ia cuma bisa termenung. Aku sungguh mencintainya, tapi kusadari bahkan cinta yang kami bentuk tidak cukup. Ia memerlukan perkawinan, ada hasrat birahi, ada anak-anak lahir, ada sebuah keluarga yang terjalin untuk masa depan. Aku bukan tidak mau, sungguh aku tidak bisa.

Sejak itu aku merasakan betul apa itu sakit hati. Aku seperti hancur. Aku mempertanyakan pada diriku sendiri. Apa yang salah? Aku benar-benar merasa bersalah. Ada apa dengan tubuhku? Aku benar-benar menyalahkan tubuh ini. Aku merasa tidak menjadi orang kebanyakan? Apakah aku tidak normal? Apakah aku mengidap penyakit langka? Aku berhenti kuliah selama satu semester menjelang akhir perkuliahan. Aku merasa terpuruk. Aku tak berani menjelaskan pada siapa pun, bahkan keluargaku. Aku hanya ingin bercermin dan berdoa.

“O Bunda yang baik dan lembut hati. Bunda kerahiman sejati, Bunda yang penuh belas kasih, aku datang pada-Mu, memohon dengan sangat, sudilah kiranya Bunda memperlihatkan belas kasih-Mu kepadaku. Makin besar kepapaanku, makin besar pula belas kasih-Mu padaku.”

Kupikir ada yang salah denganku terhadap lelaki. Tetapi semuanya menjadi pasti ketika aku bersahabat dengan seorang perempuan. Kami menikmati romantisme dalam perkawanan sesama perempuan. Ia menciumku, aku membiarkan diriku diciumnya. Lalu begitu kaget karena tak juga ada apa-apa yang benar-benar terjadi. Dengan sangat sedih kukatakan padanya kalau aku ternyata bukan pasangannya. Kupikir aku lesbian, tetapi itu pun tidak. Ia terlihat begitu sedih. Aku kembali merasa bersalah menjadikannya bagai kelinci percobaan. Sungguh rasa kasihku padanya betul-betul tulus. Saat itu, aku benar-benar merasa berdosa untuk apa yang masih coba aku indahkan. Aku sangat menyesal.

Aku Maria, aku memutuskan menjadi perawan, dan tak ada penyangkalan lagi terhadap aseksualitasku.

***

“Maria, ini kenalkan Robi!”

Ibu dan Robi sedang mengobrol di ruang tamu ketika aku baru saja pulang kerja sore itu.

“Maria!” balasku ramah menyambut perkenalan dan salaman tangannya. Ia bertubuh agak gemuk sedikit dan terlihat cukup tampan untuk ukuran lelaki.

“Mar, Robi ini anaknya Tante Veronika, loh. Ia kerja di organisasi internasional untuk anak-anak. Mungkin cocok, ya, mengobrol denganmu ini yang guru. Silakan kalian mengobrol. Jangan, malu-malu, loh, Nak Robi! Ini sudah agak sore jadi Tante ke belakang dulu untuk menyiapkan makan malam. Nanti, Nak Robi sekalian saja makan malam bersama.”

“Aduh, Tante, ini saya jadi merepotkan!”

“Ah, ngga kok, biasa saja. Tante permisi dulu, ya, silakan itu tehnya diminum.”

“Iya, terima kasih.”

Tinggal-lah aku dan Robi berdua. Ibuku tak berhenti mencarikan lelaki untukku. Ia bilang anak perempuan tak bagus berlama-lama melajang. “Bukan hanya tak bagus buat orang-orang yang melihat kamu, tapi juga tidak bagus buat tubuh kalau terlalu lama tak terpakai. Nanti kau akan sulit punya anak jika umur terlalu tua.” Kata-kata ibu membuatku sangat sedih. “Apalagi sudah kepala tiga.” Sindiran temanku, stock bujang sudah habis dan hanya tinggal duda. Dan benar saja, ternyata Robi adalah duda dengan satu anak. Ia telah cerai satu tahun lalu. Anaknya kini tinggal dengan istrinya.

Aku betul-betul sudah lelah menghadapi situasi ini. Tidakkah mereka menghargai keputusanku untuk melajang? Ibu bilang aku ngelantur ketika mengatakan tentang aseksualitas padanya. Sama dengan Rini, sahabatku itu, yang malah bilang “Jangan ngomong begitu, Mar, belum ketemu aja yang cocok. Kamu belum dapat laki-laki yang bisa membuatmu berhasrat dan bahagia.” Kesannya, aku ini perempuan tidak laku. Perawan tua! Sial!

***

Aku menerima siapa diriku. Telah kulalui sebuah peperangan di mana kutemukan diriku yang penuh luka telah hadir sebagai pemenang. Tetapi kehidupan setelah perjuangan dengan diriku sendiri adalah sebuah perjuangan yang berbeda. Ini tidak akan pernah mudah. Kadang aku bisa menjadi sangat kuat. Kadang aku bisa menjadi sangat lemah. Semua standar yang mereka bangun. Semua ide yang mereka sangkal. Semua ayat yang mereka jadikan acuan. Semua mata pisau yang siap menyerang. Seperti pembalasan sedang dilakukan untukku. “Jika kau sedih, mengadulah pada-Nya.” Nasehat ibu dulu yang ia sendiri lupakan. Dengan nasehatnya, aku mengadu pada Ia yang agung.

“O Bunda, Perawan yang penuh kebaikan serta lembut dan manis. Belum pernah ada orang yang datang pada-Mu dan memohon pertolongan-Mu, Engkau biarkan begitu saja. Atas kerahiman dan kebaikan-Mu, aku berharap dengan sangat, agar aku dianugerahi Roh Kudus…. Aku berdoa untuk menghormati kerahiman-Mu dan kebaikan-Mu.”

Amin!
Malam itu, aku bermimpi lagi tentang Maria yang memelukku. Betapa hangat pelukan itu, membuatku nyaman dan aman. Kudengar Kau membisikkan sesuatu padaku, Bunda, tetapi yang kutahu sebongkah angin mendesir melalui lubang telingaku dan bergaung melewati hati menuju lubang vaginaku. Bagai suara meneriakkan sesuatu yang paling jujur tentangku.

***

Telah lama aku mencari tahu tentang aseksualitas. Kutemukan dengan melakukan penelusuran di dunia maya. Potongan-potongan artikel yang bagai puzzle bagi pemahaman terhadap siapa diriku. Identitas diri yang sedang mencari jalannya.

“Orang-orang mengatakan ‘jika kamu belum mencobanya, maka bagaimana kamu tahu (identitas diri sebagai aseksual)?'” kata Jenni.

“Bagaimana jika kamu (merasa sebagai) straight (heteroseksual), apakah kamu pernah mencoba berhubungan seks dengan dengan seseorang yang kamu tahu berjenis kelamin sama seperti kamu (same sex)? Bagaimana kamu tahu kalau kamu tidak akan menikmati itu? Kamu hanya tahu bahwa jika kamu tidak tertarik terhadap hal itu (relasi sesama), terlepas dari apakah kamu telah mencobanya atau tidak.” (www.bbc.co.uk)

“Saya mulai menggunakan kata ‘aseksual’ ketika saya berumur sekitar 13 atau 14 tahun …. Semua orang di sekitar saya mengalami hal-hal yang tidak saya alami, dan itu menakutkan sekaligus membingungkan,” kata Jay, sekarang 31 tahun …. “Saya menduga (ketika itu) ada sesuatu yang salah dengan saya. Sesuatu yang rusak.” David Jay adalah pendiri Aven. (www.huffingtonpost.com)

… Jika kita berpikir Maria sebagai aseksual, kita tidak menegakkan selibat (pembujangan) seumur hidupnya, menghormati kesucian seksualnya, atau menyalahi (melanggar urusan pribadi) keperawanannya. Ketika saya berpikir tentang diri saya sebagai seorang perawan, saya tidak dapat menyangkal ada sedikit kekaguman (admiration) orang lain untuk kamu, untuk pengendalian diri kamu, apakah itu dibenarkan atau tidak (itu tidak). Tapi sebagai aseksual, jelas bahwa ini hanyalah cara saya merasakan (sesuatu). Saya mendefinisikan hasrat (desire) saya, kesukaan dan ketidaksukaan saya, mendesak apa yang memberi saya kesenangan dan apa yang tidak.(www.queeringasexuality.com)

Kata “aseksual” memiliki dua makna yang berbeda, tetapi terkait. Yang pertama adalah orientasi seksual: Asksual adalah orang-orang yang mengalami sedikit atau tidak sama sekali terhadap daya tarik seksual. Yang kedua adalah identitas: Aseksual adalah orang-orang yang mengalami daya tarik seksual sedikit atau tidak sama sekali yang memilih untuk menyebut diri mereka sendiri aseksual. (asexystuff.blogspot.com)

***

Mereka bisa saja memberitahuku mana yang terbaik untukku. Mereka bisa saja mengatakan padaku tentang cinta-kasih dan menunjukkan jalan yang harus kutempuh. Tetapi aku memutuskan sendiri mana yang terbaik untukku, mana jalan yang ingin kutempuh. Usiaku tidak lagi muda dan kehidupan masih tetap tidak mudah. Tetapi bukankah kehidupan itu sendiri adalah berkah? Seberapa sulit maupun mudah.

Ini lebih dari sekedar tekad. Aku sudah memutuskan bulat-bulat.

Akhirnya, aku mengucapkan kaul-kaul itu. Di hadapan Tuhan, kujanjikan pelepasan terhadap segala hal yang fana, kubentengi diriku dengan pilihan ini, kurengkuh kedamaian sejati dalam diri. Satu per satu: Kaul Kemiskinan, Kaul Kemurnian, dan Kaul Ketaatan.

Hidup atas pilihanku masih tidak mudah. Ayah menolak menjengukku di gereja. Beberapa kali kami berpapasan di gereja yang sama ketika aku menempuh pendidikan sebagai biarawati dan tinggal di gereja. Ia memalingkan wajahnya. Rasanya sakit dan sepasang mataku berkaca-kaca. Ibu masih merasa kehilangan akan diriku, tetapi ia mencoba untuk tegar dan mendukung keputusanku. Mereka masih khawatir padaku yang selibat. Rini tak mengatakan apa pun tentang keputusan ini, ia hanya tersenyum ketika kami bertemu di suatu kafe denganku yang tak lagi berpakaian modis. Kutahu ia tahu. Ia hanya menolak untuk menerimaku secara serius sejak dulu. Sudah seharusnya ia tahu, kebahagiannya bukanlah ukuran bagi orang lain, terutama aku yang sahabatnya sejak remaja.

Dari semua kesengsaraan ini, aku terlepas dari banyak jerat. Kalian bisa saja bilang kalau ini adalah sebuah pelarian terhadap identitas dan orientasi seksualku, tetapi justru di sini aku dapat menemukan kedamaian sejati dalam diri. Aku bisa membaktikan diriku bagi Tuhan, berada dekat dengan Sang Maria yang agung, membaktikan diriku untuk jemaat, dan – yang paling menyenangkan – aku dikelilingi oleh anak-anak. Ya, aku masih menjadi guru untuk sekolah dasar yang dikelola yayasan gereja. Tak akan ada bayi mungil keluar dari rahimku memang, begitu juga tidak akan ada yang memanggilku ibu. Tetapi aku memiliki lebih banyak anak dari yang sekedar diharapkan siapa pun. Mereka tetaplah anak-anak. Bukankah selama di sekolah, aku adalah ibu untuk mereka?

Diam-diam, dalam satu hari libur dalam seminggu, aku juga terlibat dalam sebuah komunitas. Di antara mereka adalah aku. Satu hari itu adalah bagai taman surga. Aku berkumpul dengan kawan-kawan dengan orientasi dan identitas seksual yang minoritas. Kami berdiskusi. Kami juga bernyanyi, tertawa, dan kadang menangis bersama.
Mereka memanggilku “Suster Maria” sama seperti orang-orang di gereja dan anak-anak di sekolah.

Namaku masih tetap Maria, kuputuskan tetap menjadi perawan, dan dengan ini kunyatakan bahwa aku adalah perempuan aseksual. Tak ada lagi panggilan-panggilan lain di depanku, melainkan Suster Maria saja. Tidak ada penyangkalan, tidak ada persembunyian. Tidak ada yang salah denganku untuk mengikuti apa yang kuinginkan dan akan kujalani untuk hidupku.

Namun diam-diam, sebagian masih berpendapat tentang aku. “Maria perawan tua!” “Maria tengah sengsara!”

“Maria tak dapat bersaing mendapatkan pria!” “Maria yang kasihan karena putus asa!” “Maria lari dan bersembunyi di gereja!” “Apakah Maria berselingkuh dengan pendeta?”

“Bunda Maria, Perawan yang berkuasa, bagimu tidak ada sesuatu yang tak mungkin karena kuasa yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepadamu….”

*Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis buku Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia (Penerbit Alfabeta, 2014) dan berkicau melalui Twitter di @nurdiyansah.

Bagikan

Cerpen Lainnya