Oleh : Okty Budiati
Suarakita.org- Kisah ini tertuang karena dorongan kompleksitas proses ritus tubuh dalam dunia panggung tari yang tak lagi memandang gender sebagai identitas tubuh. Sosok kali ini adalah seorang penari Lengger Banyumasan yang akhirnya memilih untuk menjadikan tubuh dan jiwanya sebagai tubuh kontemporer sekaligus “no-gender”. Ia bernama Rianto Manali, penari gemulai dalam sosok keseharian yang sederhana.
Pertama bertemu dengan Jeng Rian, begitu saya memanggilnya, kami berada dalam satu panggung namun dengan karya tari masing-masing, saat program acara tari yang diadakan di Kedai Kebun, Yogyakarta, tahun 2003. Sejak pertemuan itu, Ia menjadi salah satu kawan dekat hingga kini.
Meski jarak membawa kami ke dalam komunikasi digital, tapi masing-masing dari kami tetap saling berkomunikasi. Saya pun pernah berkunjung ke Solo, dimana Ia tinggal di sebuah kos di dekat ISI Surakarta, tempatnya kuliah mengambil jurusan koreografi tari.
Ada hal yang membuat saya sangat ingin menuliskan sosok kawan saya ini, entah mengapa saya pun takjub melihat proses perjalanan kepenariannya yang akhirnya membuat dirinya menemukan kesejatian dirinya sebagai seorang “no-gender”.
Keterbukaan dan kejujuran telah membawa dirinya mengakui sisi femininnya pada publik.
Kini Jeng Rian tinggal di Tokyo, maka tulisan ini pun dapat terwujud karena adanya komunikasi digital baik melalui email maupun facebook.
***
Saya (O): Kapan mulai tertarik dengan tari dan akhirnya memutuskan dunia tari sebagai bagian dari laku hidup?
Rian (R): Sejak kecil saya suka menari, ketika umur 7-14 tahun saya sudah sering pentas untuk acara hari kemerdekaan Indonesia di desa yaitu Kaliori. Sejak kecil saya seorang anak yang berbeda hobinya dengan anak laki-laki yang lain, kegemaran saya adalah menari dan bermain dengan perempuan karena menurut saya lebih nyaman dan lebih merasa tenang dengan mereka.
Anak laki laki memanggil saya dengan panggilan “Anto Banci” sehingga menimbulkan konflik batin bagi saya, keluarga dengan lingkungan sekitar.
Kemudian saya melanjutkan sekolah ke SMK Sendang Mas Banyumas mengambil jurusan seni tari. Di sekolah itu saya selama 3 tahun bertahan sebagai seorang penari laki-laki sendiri, karena siswa yang lain perempuan berjumlah 10 orang, sedangkan jurusan musik 6 laki laki saja.
Ketika itu saya sudah sering mendapat tanggapan pentas untuk upacara pernikahan dari desa ke desa dengan menari tari gaya laki laki dan perempuan. Untuk itu saya memutuskan untuk tetap menari karena bagi saya hidup sebagai seorang seniman sangatlah kaya dan sangat bebas. Saya bisa menghidupi diri saya sendiri dengan kemampuan saya.
(O): Saat menyadari dalam dunia panggung, khususnya tari, ada hal yang tentu tidak lagi membedakan gender laki-laki maupun perempuan, gimana menyikapinya?
(R): Selama saya mempelajari jenis tarian tradisional indonesia bagi saya itu sudah berkarakter dan sangat jelas perbedaan jenis tarian laki-laki dan perempuan. Setelah saya mengenal jenis tari kontemporer kemudian saya tidak bisa membedakan masalah gender, baik itu laki-laki ataupun perempuan, yang ada hanyalah feminim dan maskulin, atau tention dan release atau on dan off pada gerakan yang ada pada tubuh penari.
(O): Sebagai seorang penari, awal jenis tari yang dipilih apa?
(R): Sejak kecil saya menciptakan tarian sendiri dengan iringan musik dangdut, reage, dan musik-musik daerah . Saya mulai benar-benar belajar tari sejak umur 15 tahun dan tarian pertama saya pelajari adalah tarian Lengger Banyumasan dengan gaya perempuan dan dasar tari laki-laki gaya Surakarta.
(O): Kenapa memilih tari tersebut sebagai jejak kepenariannya?
(R): Saya memilih tari Lengger Banyumasan sebagai jejak kepenarian saya karena tarian ini lebih dekat dengan tubuh saya, dan setiap hari saya menghirup udara, makan makanan dan minum air dari alam Banyumas.
(O): Tentu dalam dunia tari timur (tradisi) dengan tari balet klasik sangat beda, dalam tari tradisi, gerakan tubuh maskulin sering muncul sedang dalam balet semua disamaratakan. Lalu saat menjadi sosok feminin dalam panggung, apakah hal itu memengaruhi dunia sehari-hari?
(R): Sosok feminim dalam panggung bisa sedikit banyak mempengaruhi dunia sehari hari, apa lagi dengan kisah masa kecil saya. Selain itu perubahan karakter ketika menjadi sosok perempuan dalam panggung sangat penting, ini harus bisa melewati pengalaman khusus. Harus bisa lebih menjadi perempuan dari pada perempuan.
(O): Banyak penari pria, dengan kisah kepenariannya akhirnya menemukan identitas tubuhnya, bahwa mereka sebenarnya wanita dan mereka memilih dunia wanita (transgender) sebagai kesehariannya. Bagaimana denganmu?
(R): Bagi saya itu tergantung senimannya sendiri , karena jalan hidupnya masing-masing, kalau sebagai seniman seperti saya, saya lebih memilih diri saya menjadi bagian di antara kedua karakter itu. Saya tidak begitu tertarik dengan adanya “gender” yang nantinya akan membedakan segala sesuatu pada kemampuan tubuh.
(O): Apa harapanmu untuk para penari pria yang mengalami kompleksitas gender ini dan menjadikan tubuh transgender ini sebagai anugrah sehingga layak untuk diperjuangkan eksistensinya sebagai manusia seutuhnya, bukan sekedar dunia panggung tari?
(R): Pada para penari pria yang mengalami kompleksitas masalah trasgender untuk menjadi manusia seutuhnya bagi saya itu sudah merupakan keutuhan karakter yang dimiliki, bukan sebagai hal yang dipermalukan oleh diri sendiri atau orang lain. Harus bisa menyadari bahwa kemampuan tubuh itu berbeda-beda dan kedalaman rasa didalam panggung dan keseharian pasti akan muncul, akan lebih kaya dari dari yang lain.
***
Pada akhirnya isu gender yang secara tidak langsung membentuk strata gender menjadi minoritas dan mayoritas dalam masyarakat telah membunuh eksistensi tubuh manusia itu sendiri.
Pada penuturan Jeng Rian, saya dapat melihat adanya pilihan laku yang tidak memihak. Dimana keduanya dapat dilakoni beriringan sebagai kekayaan hidup. Ia tak lagi mempersoalkan gender namun memilih ketenangan bathin untuk satu perjalanan hidup yang nyaman. Semua itu menjadi penerimaan diri pada diri sendiri dan orang lain sebagai sikap saling menghargai.
Saya harap kisahnya dapat menjadi salah satu motivasi untuk kawan-kawan saya dan komunitas LBGT secara umum dalam memilih hidup berdasarkan ketenangan bathin sebagai perjuangan eksistensi hidup. Bukan lagi terbelenggu dengan pandangan serta doktrin sosial yang ada.
Bagaimana pun, hidup kita bukan dibentuk oleh eksternal dan jangan sampai sikap ekternal itu menjadi penghalang akan kesejatian kita. Karena sebuah panggung yang nyata adalah panggung realita di dunia. Semangat!
*Penulis adalah seorang ibu rumahtangga yang gemar menari dan menulis. Aktivitas kesehariannya dihabiskan di rumah, berkumpul bersama anak-anaknya.