Oleh: Wisesa Wirayuda
Suarakita.org- Apa itu fujoshi dan fudanshi? “Membahas tentang Fujoshi dan Fudanshi kita harus memulai dari istilah yaoi.” Kata Adhit seorang fudanshi asal Bandung.
Adit pun menjelaskan yaoi pada dasarnya adalah sebuah genre untuk anime (film animasi Jepang) dan manga (komik Jepang) yang di dalamnya menceritakan tokoh-tokoh gay atau bahkan membahas tentang dunia pelangi itu sendiri. Di Jepang, pada umumnya yaoi dibuat oleh seorang perempuan dan untuk perempuan.
Kemudian barulah istilah Fujoshi dan Fudanshi muncul. Fujoshi dan Fudanshi adalah istilah untuk orang-orang yang menyukai yaoi dalam bentuk anime, manga, atapun game. Fujoshi untuk perempuan sedangkan Fudanshi untuk laki-laki.
Pada awalnya fujoshi dan fudanshi ini hanya menyukai hal-hal bertemakan gay dalam bentuk dua dimensi (hanya berupa tokoh fiksi saja), namun lama kelamaan mereka juga menyukai dalam bentuk tiga dimensi atau bisa dikatakan menyukai hal-hal bertemakan gay yang benar-benar real. Seperti pasangan gay, cosplay yaoi, bahkan menyukai film-film porno gay.
Ada juga pasangan gay yang menggunakan kata yaoi untuk menggantikan kata gay dan menggunakan istilah seme dan uke untuk mengganti istilah top dan bottom. Dan semakin kesini, Fujoshi dan Fudanshi juga mendukung pergerakan LGBT.
Namun tidak semua Fujoshi dan Fudanshi ini menyukai sampai ke ranah tiga dimensi. Mereka hanya menyukai karakter-karakter dua dimensi saja. Seolah-olah mereka berbeda prinsip satu sama lain. Yang satu mengatakan bahwa yaoi hanya berbentuk dua dimensi, sedangkan yang lain berkata lebih dari itu. Memang sangat kompleks dan aneh bagi orang-orang yang masih awam.
Adhit sendiri baru pertama kali mengakses yaoi ketika masih duduk di kelas 2 SMA. Awalnya dari ketidaksengajaan dia membuka fanfiction (fiksi buatan penggemar – red) tentang Naruto dan lawan mainnya Sasuke.
“Rasanya kayak jatuh cinta, sulit diungkapkan. Seperti kamu mau nyobain makanan yang belum pernah kamu coba pas kamu coba tiba-tiba suka dan jatuh hati”, ungkap Adhit.
“Belum lagi jika aku tak sengaja menemukan pasangan gay yang sedang berjalan-jalan di mall. Aku dan teman-temanku menyebut ‘fenomena’ ini dengan sebutan fan service. Biasanya aku jadi antusias memperhatikan pasangan gay itu. Memperhatikan apa saja yang mereka lakukan. Tak jarang aku memfoto mereka dan memamerkannya pada teman-teman sesama Fudanshi dan Fujoshi atau disimpan untuk koleksi pribadi”, cerita Adhit berbagi pengalaman.
Menurut Adhit, fujoshi dan fudanshi sama seperti LGBT. Mereka adalah minoritas dalam masyarakat. Itulah kenapa sangat jarang menemukan fujoshi dan fudanshi. Namun tidak semua fujoshi dan fudanshi adalah lesbian atau gay. Ada beberapa teman Adhit yang mengaku sebagai seorang fujoshi namun memiliki hubungan dengan seorang laki-laki. Bahkan ada juga fudanshi yang ikut-ikutan komunitas hanya agar mereka bisa berdekatan dengan perempuan-perempuan yang memang jumlahnya banyak.
“One thing tentang fujoshi dan fudanshi. Terkadang jadi fujoshi dan fudanshi itu kita suka merasa terasingkan, dianggap orang aneh, freak, jijik. One thing buat mereka yang masih mengkotak-kotakan LGBT, Fujoshi, Fudanshi, Faghag, perbedaan ras, dan yang lainnya…. Kita semua ini sama manusia. Alangkah indahnya hidup ini jika saling menghargai. That’s it!”, tegas Adhit.
*Penulis adalah mahsiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.