Search
Close this search box.

Chihiro Hayashi; Mahasiswa Jepang Yang Nge-fans Transgender Indonesia

Oleh : Nursyafira Salmah*

Suarakita.org- Tulisan ini merupakan hadiah perpisahan saya untuk sahabat baik yang selama setahun sudah jadi teman diskusi saya mengenai transgender. Saya tertarik dengan isu trans female to male (FTM) sedangkan Chi tertarik dengan isu trans male to female (MTF), dan kami sangat cocok. Diskusi dan masturbasi otak sering kami lakukan bersama dalam tawa dan kesenangan.

“Halo, nama saya Chihiro Hayashi,” begitulah sesi interview pertama kali dibuka oleh murid pertukaran pelajar dari Jepang yang sangat bersemangat ini. Perempuan yang akrab di panggil Chi ini sudah menyelesaikan periode pertukaran pelajarnya dalam waktu satu tahun ke belakang. Mungkin beberapa teman-teman yang aktif dalam organisasi LGBT terutama transwoman sudah tidak asing dengan sosok perempuan manis ini. Tutur katanya yang sedikit lucu dengan campuran antara dialek Jepang dan Indonesia, menjadi ciri khas gadis berkulit putih ini.

Chi sangat ramah dan mengakui sangat “fans” dengan teman-teman transgender. Chi sekarang sudah kembali pulang ke tanah asalnya untuk menyelesaikan tugasnya yang hampir selesai, membuat tugas akhir tentang waria di Indonesia. Berikut adalah sepenggal cerita Chi tentang transwoman di Jepang dan di Indonesia menurut pengamatan dan hasil observasi penelitiannya. Diharapkan tulisan ini bisa memberikan informasi ringan sekaligus jadi pengobat rindu untuk teman-teman yang pernah memiliki kenangan dengan Chihiro Hayashi.

Transgender Itu Seorang Artis di Televisi

Gadis berkulit putih ini mulai mengetahui keberadaan transgender laki-laki ke perempuan pada saat ia masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Sebelumnya, Chi hanya paham bahwa di dunia ini hanya ada laki-laki dan perempuan. ‘Pertemuan’ Chi dengan transwoman dimulai dari sebuah acara televisi di sebuah stasiun televisi nasional Jepang. “Ibu, itu dia perempuan tapi suaranya seperti laki-laki, dia apa ya ibu?,” ungkap Chi dengan dialek bahasa Indonesia yang cukup lucu.

Setelah melihat artis transgender di televisi itulah Chi mengetahui keberadaan transgender, terutama di Negeri Sakura tersebut. Menurut cerita Chi, orang tuanya sangat diplomatis dalam memberikan penjelasan mengenai transwoman yang ia lihat di televisi. Menurut orang tuanya transgender laki-laki ke perempuan itu memiliki jiwa perempuan dan memakai pakaian perempuan, “Kata ibu saya, mereka sama seperti kita, tidak ada bedanya”.

Hingga saat ini Chi belum mengetahui apakah di kampung halaman tempat ia tinggal terdapat transgender. “Mereka mungkin ada tapi pikirku mereka tidak kelihatan,” ungkap Chi sambil sedikit menerawang.

“Jepang itu orang-orangnya rasional”: Transgender Jepang Tidak Pernah Dikaitkan dengan Agama

Menurut pengamatan Chi Transgender di Jepang itu, secara umum, sekarang ini tidak memiliki atau tidak percaya dengan agama. “Kalau di Indonesia kan permasalahan transgender itu ada hubungan dengan masalah agama ya?, tapi kalau di Jepang tidak seperti itu,” ucap Chi dengan penuh tanya.

Menurutnya, orang-orang di Jepang tidak dapat menerima transgender karena ada alasan yang lebih rasional. Mereka tidak bisa meneriman keberadaan transgender bukan karena alasan agama tetapi karena transwoman dianggap tidak mampu melakukan “reproduksi”.

“Kalau mereka tidak bisa reproduksi mereka dikategorikan sebagai useless. Mereka juga tidak bisa menikah, mereka tidak bisa pakai jaminan sosial, kerja pun susah”, ungkap Chi penuh penjelasan.

Waria Jepang dan Pekerjaannya

Chi mengungkapkan bahwa di Jepang ada banyak transgender yang bekerja. Mereka ada yang menjadi guru, ada yang menjadi petugas pemerintah. Akan tetapi transwoman yang bekerja seperti itu mereka memposisikan diri dan berperan sebagai laki-laki. Aklan tetapi, waria di Jepang yang bekerja juga menggunakan ekspresi diri ‘ciri khas’ waria itu biasanya bekerja sebagai pemilik atau pelayan bar serta karaoke. Namun, Chi menekankan bahwa apa yang dikerjakan Waria di Jepang tidak identik dengan aktivitas seks. “Tidak seperti di Indoensia ya, mereka bukan menjadi penghibur untuk sexual activity,” menurut Chi penuh perbandingan.

Di tempat hiburan malam tempat waria-waria Jepang bekerja bisa dipastikan hampir tidak ada aktivitas seks dengan waria. Menurut penuturan Chi, pelanggan datang hanya sekedar melakukan perbincangan santai dengan waria-waria tersebut. Menurut para tamu bar (milik seorang waria) yang pernah Chi wawancara, mereka menyatakan bahwa transgender itu punya pengalaman yang luar biasa dalam hidupnya. Waria dianggap bisa mengerti perasaan laki-laki dan perasaan perempuan jadi tamu lebih merasakan sharing kisah seperti konsultasi kepada waria tersebut. “Ada juga tempat seperti taman lawang tempat mereka berkumpul untuk cari partner tapi tidak sebagai pekerja seks-nya, itu tempatnya di Tokyo.”

“Saya fans Lima Gender di Makassar”

Chi tertarik dengan transgender di Indonesia karena cerita dari senior yang pernah pertukaran pelajar di Indonesia. Senior Chi memberikan buku tentang Bissu dan fenomen lima buah gender yang diakui masyarakat adat di Makassar. “Yang aneh saya pikir adalah Indonesia kan negara muslim, eh maksud saya majority-nya muslim, tapi di Makassar, kok ada lima gender, nah tertariknya di sana.” Sebelum masuk kuliah Chi pernah mengunjungi universitas Nagoya dan mendengar cerita senior yang pernah meneliti ke Arab untuk meneliti kehidupan waria di Arab dalam agama Islam, “dari sana saya tahu Islam melarang transgender.”

Karena Chi berlatar-belakang pendidikan Antropologi, maka menjadi suatu keharusan sebuah penelitian harus dilakukan dengan cara menetap di tempat sasaran penelitian dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Itu mengapa Chi pernah menetap hingga sebulan lamanya di daerah Makassar dan Pangkep. Chi dengan bangga menceritakan bahwa dia bisa bertemu bissu secara langsung, mewawancarai calabai, dan juga mewawancarai tetangga di sekitar calabai tinggal. Hal tersebut Chi lakukan agar perntanyaan penelitiannya mengenai “penerimaan masyarakat terhadap waria” bisa terjawab.

Chi memberikan paparan, “Menurut tetangga calabai, kalo ga ada calabai dan ga ada bissu kita ga bisa punya acara tradisional dan ga bisa mengurus pengantin, karena mereka banyak tau tentang pengantin, kalo pesta pengantin tradisional harus ada bissu atau calabai.” Menurut Chi, Calabai sudah bisa diterima oleh masyarakat dan punya kehidupan yang nyaman. Tetapi ternyata di tempat lain belum tentu bissu dan calabai diterima. Menurut hasil penelitian Chi warga yang ‘keras’ terhadapa keberadaan calabai dan bissu adalah orang bugis yang muslim. Chi menceritakn secara singkat tentang penerimaan masyarakat terhadap calabai. Chi mengatakan, “Ada satu kasus di Makassar dimana waktu seorang tetangga yang aku datangi menolak waria masuk rumah karena takut tertular HIV.” Chi menyimpulkan bahwa walaupun lima gender bagian dari sejarah di Makassar, tetapi pikiran Islam mengambil alih sehingga ada yang tidak menerima keberadaan transgender, itulah dinamika sosial.

Pesantren Waria di Yogyakarta: Waria di Indonesia dan Agama

Chi melihat banyak keunikan tentang kehidupan transwoman salah satunya adalah hubungan mereka dengan agama yang masih cukup berperan signifikan dalam kehidupan waria tersebut. Chi merasakan bahwa di Yogyakarta lebih terbuka dengan keberadaan transgender, terutama dengan adanya keberadaan pesantren waria. Waria diterima karena menurut penuturan informan Chi orang jogja itu ramah dan tidak terlalu terlihat diskriminasinya, itulah mengapa jadi banyak waria yang datang dan menetap di Yogyakarta.

Kehausan waria yang masih sangat dekat dengan keyakinan agama difasilitasi di salah satu pesantren yang terkenal di sana, pesantren waria. Waria yang muslim masih merasakan tidak nyaman jika harus ikut ibadah (pengajian, sholat, dan lainnya) berbaur dengan masyarakat biasa maka disediakan pesantren waria dimana waria boleh memilih untuk beribadah dengan penghayatan yang mereka inginkan, ada yang beribadah sebagai laki-laki dan perempuan. Di sinilah menurut Chi keunikan kehidupan transgender di Indonesia terlihat jelas. Terkadang percampuran masalah agama dan seksualitas menjadi sangat ‘sensual’ untuk dibahas, begitulah yang Chihiro rasakan. Menurut Chi keberadaan tubuh waria yang ‘dilematis’ yang di Jepang ditanggapi secara rasional, di Indonesia malah selalu dibumbui dengan ilmu agama. Akan tetapi menurut Chi di pesantren inilah ia bisa melihat bahwa bukan agama Islam yang tidak ramah terhadap waria tetapi oknum umat agama yang bersangkutan.

Permasalahan Transgender di Indonesia: “Bukan lagi masalah diskriminasi, tetapi masalah kurangnya kepedulian”

Chi sudah dapat menyimpulkan hasil observasi dan penelitiannya mengenai waria di Indoensia. Masalah yang muncul kepada transgender di Indonesia itu bukan lagi sekedar masalah diskriminasi karena banyak transgender yang menjadi infroman Chi mengaku tidak lagi menerima perlakuan diskriminatif. Masalah yang paling penting bagi transgender saat ini adalah tentang “careness” atau kepedulian. “Kalau tidak ada care maka transgender tidak bisa hidup seperti yang ia inginkan,” ungkap Chi dengan nada prihatin.

Untuk daerah Yogyakarta, kasus diskriminasi memang semakin sedikit menurut pengakuan waria, akan tetapi kepedulian orang disekitar waria tersebut masih kurang. Contoh, di Jogja, waria termasuk sulit untuk mencari kerja. Menurut dugaan Chi hal tersebut disebabkan karena di Jogja tidak punya latar belakang sejarah tentang transgender. Di sisi lain, Makassar dengan sejarah tentang lima gender itu maka waria lebih mudah mendapat kerja di Makassar, Chi menyatakan bahwa “Ini karena faktor ada calabai dan bissu yang bisa jadi role model.”

Jadi pada intinya, masalah utama transgender di Indonesia itu adalah kepedulian. Sikap mempedulikan dari masyarakat terhadap kelompok transgender masih kurang karena penerimaan masyarakatnya juga masih kurang. Menurut paparan Chi mungkin waria akan lebih mudah untuk hidup secara individu atau tidak terlalu sering berbaur dengan masyarakat. Namun, di Indonesia masih cukup sulit untuk mengharapkan waria bisa berbaur dengan masyarakat karena masyarakat masih belum mau mempedulikan keberadaan waria tersebut.

 

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI yang tertarik dengan isu  transgender female to male (FTM). Penulis pun pernah magang di Suara Kita selama 1 bulan.