Luth
Karya: Peri Andrian*
/1/
Tak akan suka merekapada irama kata yang mengalir dari bibirku,
Tak mungkin cinta melupakan perasaan, melupakan keringat berujar pada pori-pori kulitku,
Rasanya aku ingin bangun dari mimpi buruk itu, berlari mengejar pintu kesadaran dan logika.
Tuhan kautak sanggup mengusikbunyi rusuh degup jantung ini
Karena mereka pun tak sanggup mendengar kata-kataku yang tersulam bagai rinai hujan menyulam sungai Mahakam ini.
“Aku,”
“Kaum,.“
“Luth.” Ayah dan Ibu terkesiap laksana petir merambat lewat nadi mereka,
Air mukanya benar-benar membuatku tak menyukai perkataanku,
Beludak jarum-jarum tajam menusuk ulu hatiku. Perih.
Ayah: “Nak, Kaum Luth mengundang amarah Tuhan, tegakah kau membuat Tuhan marah?”
Ibu: “Ini mustahil. Kamu bukan kaum Luth, Bunga. Ayah dan Ibu bukan kaum Luth!”
/2/
Cinta hanya retorika yang tak luput dari keseragaman diriku yang menyerupainya. Rupa indah dengan senyuman menganga kemarin, hanya imbalan karena diriku cukup normal, bukan?
“Ingatkah kalian, pukul 3 sore itu, hari minggu, aku datang malu-malu, membangunkanmu dari tidur kaku, dengan gincu merah menyala dibibirku, aku rasa gincumu menyulapku jadi gadis melayu, Bu”
Ibu dan Ayah tak mau aku jadi kaum Luth. Bukannya aku tak waras atau kadar warasku sudah runtuh,
“Aku mungkin adalah kaum luth. Apakah tuhan memilih untuk sayang pada siapa saja? Karena aku benar-benar tak mampu memilih. Aku tak punya daya untuk memilih kepada siapa aku sayang.”
Sederet ayat-ayat kitab suci,
yang kuhafal lirik bunyinya, yang kukagumi dengung syahdunya, keluar meracau lewat ayah-ibu, seperti mengusir iblis bersarang di cangkang jiwaku.
Ibu: “Kaum Luth, tak direstui oleh yang maha merestui. Mereka melupakan nikmat kasih tuhan kita.”
Ayah: “Siapa yang merubahmu? Siapa yang mengundang pengetahuan haram ke dalam jiwamu, Nak?.”
Sang Ayah dan Sang Ibu menadah tangan dan menutup muka.
/3/
Apa pertanda, apa umpama, apa maksud yang maha mengerti?
Merunut aku pada kehidupan yang tak mau tahu tentang apa-apa, kecuali bahwa aku berbeda.
“Tuhan yang bikin aku homoseks! Tuhan yang bikin aku suka Kontol. Tuhan Bu, Tuhan Yah.”
Ayah: “Nak, Ayah tak mau masuk neraka. Ayah akan meleleh seketika”
Ibu: “Aku juga tak mau. Ibu tak kuat menjadi bara api.”
Aku tersenyum piluh memeluk raga, dua anak tuhan yang meragu pada tuhannya sendiri. Melepaskan mereka di perapian,
“Takdir. “ Aku tereneyak.
“Takdir membawaku bermuara ke sini. Aku diciptakan memang seperti ini, tak ada cara tuhan membenci seninya sendiri, tiada mungkin tuhan menghukumku karena kelakuanyasendiri.”
Ketika aku berada pada di dua persimpangan, mereka bilang aku harus memilih.
Tanpa sadar, aku tak pernah memilih.
Tuhanlah yang memilihkanku.
/4/
Ayah masih tak suka pada irama kataku, Ibu masih suka melupakan perasaanku
Sendi-sendi pergelanganan berisyarat bahwa perjalananku bukanlah perjalanan mudah di atas kota, aku merajuk, aku membenci, aku merana
Karena diriku sendiri.
Sederhana, nestapaku karena aku.
“Aku tak suka meminta pada tuhan, tapi biarkan aku mencintai diriku untuk kali ini dan selamanya.” Bisikku pada Ayah-Ibu dan Tuhanku.
Kulihat lagi Tuhan tersenyum membidik mata hitamku.
Ia mengangguk luka dan bisu seribu bahasa.
—–
Sajak Sang Penunggu
Karya: Peri Andrian*
Aku menungguribuan tahun hanya untuk bertuturselamat pagikepadamu
Dari balik kaca mobilmu yang melajuke halaman dengan malu-malu
Senyum manis di wajah malaikatmu cukup mengobati penat hati yang menunggu ribuan tahun
Kau begitu tampan hari itu, ingin aku berlari memeluk dan membahasakan bahwaaku menginginkanmu,aku menyayangimu.
Alih-alih aku berlari menjauh, hanya untuk menahan hasrat liarku seribu tahun lagi.
Aku menunggu ribuan tahun hanya untuk membuatmu menyadari ekstensiku—aku ada
Kamu menyebut namaku dua kali, menyentuh tanganku dengan lembut, berkata kau senang bertemu denganku. Kamu benar-benar tak mengerti apa yang baru saja kamu lakukan?
Hari itu Malaikat menganugerahiku sayap lebar yang mengepak, membawa kita terbang ke cakrawala
Kamu tidak tahu rasanya, setiap kali memandangmu aku merasa seperti angin yang tidak terlihat.
Kamu tidak tahu rasanya, menyembah untuk sedetik tatapan mata coklat mudamu. Menyulapku ingin mengatakan lagi, aku merindukanmu.
Aku menunggu ribuan tahun lagi untuk bisa memelukmu malam itu
Memeluk ragamu secara utuh, membuatku pertama kali merasa lebih berharga.
kulit kita tak berjarak sama sekali, aku menikmati hangat tubuhmu dan irama dengkur nafasmu
Kamu mengatakan aku pemeluk yang hebat, tanpa kamu sadari bahwa kamulah pemeluk yang hebat
Seandainya, aku dan kamu bisa berhenti beredar untuk mentari malam itu, aku ingin tetap memelukmu dan mengatakan, aku ingin terus bersamamu.
Dan aku sudah menunggu tak terbilang berapa ribu tahun hanya untuk mengatakan,
Aku mencintaimu.
Aku ingin kamu menyatu dengan jiwaku. Aku ingin kamu melepaskan hatimu untukku.
Tak pernah, aku mengira sisi jiwaku yang lain berani berkata untuk mengakhiri penantian.
Tapi.., Kau hanya diam membisu.
Menolak untuk berbahasa lebih jauh, menghempaskan cintahingga jatuh di bumi yang berduri,
Kau berlayar tanpa cerita, bahkan tanpa kata Selamat Berpisah.
Mengangakan rongga dadaku yang terluka.
Hatiku senyap berdesau,
“ aku butuh ribuan tahun lagi untuk menunggu hatiku melupakanmu.”
—–
Nyanyian orang yang muak
Karya: Peri Andrian*
Aku orang yang muak mendengar cerita orang tua dan orang suci yang membagi manusia berdasarkan subjektivitas
Bukan karena hal yang mengandung nurani tapi semua layaknya kita berada pada ilusi realitas
Aku melihat dulunya raga-raga itu berkumpul bagaikan kumbang-kumbang yang mengawaini bunga-bunga
Seperti gunung yang berdiri karena terekat pada bumi yang berpendar
Kita merasa bernafas, mungkin karena udara masih belum menjadi air
Ini adalah cerita seorang pengembara, yang pergi mencari eternitas untuk kisah yang tak pantas diperdengarkan
Lolongan para anjing dirasa hanya sebagai naluri kebinatangan, bukan makna yang juga pantas diyakini
Apa yang terjadi jika aku mengangkat gunung dan mencabut bumi dari matahari?
Para pendengar memilih sisi aman, para pemimpin memilih sisi kebutaan
Pemarah berkeliling kota merusak apa saja yang bisa dilihat
Hanya api-api yang berkobar, menuntun pada persilangan atau persinggahan formasi jiwa
Hari mulai gelap sementara waktu tidak begitu lama berubah
Titipan siapa gunung ini? Kita masih bertanya-tanya
Jerat yang tidak dimengerti, bukanlah masalah
Masalahnya tidak ada yang benar-benar sudi untuk tobat
*Peri Andrian, lahir pada 10 Desember 1994, berasal dari Palembang. Mahasiswa Universitas Indonesia, Pernah menulis puisi Kata tuhanku dan Doa Tearatai Putih di Majalah Horison.