Search
Close this search box.

Membincangkan Perempuan, Aborsi dan Agama

Oleh : Yulianti Muthmainnah*

Suarakita.org- Amanat UUD Negara RI 1945 Amandemen IV tegas menyebutkan, negara bertanggung jawab memberi layanan kesehatan (Pasal 28 H Ayat (1)), hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28 I (2)), serta hak atas kepastian hukum dan keadilan (Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (1)), bagi setiap warga negara, termasuk perempuan. Memenuhi amanat tersebut, pemerintah telah mensahkan Undang-undang Kesehatan (UUK) Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Namun, mengapa semangat mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak-hak kesehatan warga negara justru, oleh sebagian dari kita, direduksi dengan oposisi biner antara hak dan agama/moral? Misalnya saja statement pejabat publik yang menganggap perkosaan layaknya lelucon. Baru-baru ini, Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan dalam tayangan di televisi swasta mengatakan ‘nanti semua orang yang hamil mengaku diperkosa biar bisa aborsi’ disertai tawanya.

Menimbang Aborsi, Memahami Perkosaan

Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mendefinisikan aborsi sebagai sebuah prosedur medis untuk mengakhiri kehamilan. Ada dua jenis aborsi yakni bedah dan medis. Bedah merupakan praktik aborsi dengan menggunakan vakum, sedangkan medis merupakan praktik aborsi dengan menggunakan obat-obatan untuk mengakhiri kehamilan. Merujuk pada Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),  jumlah kasus aborsi di Indonesia diperkirakan  mencapai 2,5 juta jiwa dari 5 juta kelahiran per tahun. Sedangkan data aborsi menurut Komnas Anak kian meningkat tiap tahunnya yakni: terdapat 2 juta pada tahun 2008; 2,3 juta tahun 2009; dan 2,5 juta jiwa pada tahun 2010.

Aborsi tanpa bantuan tenaga medis, dilakukan dengan cara-cara seperti kuret (37 persen), pijat (25 persen), suntik (13 persen), dan memasukkan benda asing ke dalam rahim, termasuk meminum jamu dan akupunktur (8 persen). Pada bagian inilah, ketika terjadi pendaraan maka  berujung pada kematian. Di lain pihak, Indonesia masih menempati nomor wahid Angka Kematian Ibu (AKI) dari daftar negara-negara di Asia Tenggara. AKI pada tahun 2007 masih mencapai 228/100.000 kelahiran hidup.

15-30 persen AKI disumbang dari aborsi tidak aman dan pelayanan kesehatan atau medis yang rendah (Women Research Institute, 2010). Perempuan yang melakukan aborsi, tidak melulu karena hubungan seksual di luar nikah, tetapi mayoritas dilakukan oleh ibu rumah tangga karena Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) seperti sang ibu yang sudah terlalu tua, terlalu sering melahirkan dan karena faktor kemiskinan. Saya pribadi meyakini, inilah pekerjaan rumah yang amat besar. Artinya kita tidak boleh lagi menyepelekan aborsi. Terutama, bila aborsi harus dilakukan lantaran terjadinya KTD akibat perkosaan.

Perkosaan bagian dari kekerasan seksual yang melanggar HAM dan merendahkan martabat perempuan. Deklarasi PBB untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, mendefinisikan perkosaan sebagai setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) telah memasukkan perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang ditanganinya sejak 2002.

Perkosaan terjadi karena relasi kuasa tidak setara antara korban dan pelaku. Kate Millet mengatakan perkosaan sebagai cara sosial yang efektif untuk menundukkan dan mempermalukan suatu komunitas. Dengan perbuatan itu laki-laki merasa menang, perempuan korban dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, ingin ‘bersenang-senang’ dengan gerombolan laki-laki lainnya, menganggap rendah perempuan, menganggap perempuan milik laki-laki, ingin memamerkan kuasa dan membuktikan kekuatan dirinya (Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape The War Against Women in Bosnia-Herzegovina).

Menyelami PP 61/2014

PP 61/2014 komprehensif mengakomodasi dan memasukkan isu antara lain paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan pengakuan terhadap isu kesehatan reproduksi secara luas dan menyeluruh (Pasal 1); persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah (Pasal 4 – Pasal 7); pelayanan kesehatan ibu (Pasal 8 – 10); pelayanan kesehatan reproduksi remaja (Pasal 11 – 12); pelayanan kesehatan di masa sebelum hamil, persalinan, dan sesudah melahirkan (Pasal 13 – 18); pelayanan pengaturan kehamilan, kontrasepsi, dan kesehatan seksual (Pasal 19 – 30); reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alami (Pasal 40 – 46); pembiayaan kesehatan, yakni dari APBN dan APBD (Pasal 47); serta pembinaan dan pengawasan bagi tenaga medis yang melanggar dilakukan mulai dari menteri hingga kepala daerah (Pasal 48 – 52).

Hiruk pikuk boleh tidaknya aborsi yang saat ini terjadi di masyarakat termuat di Pasal 31 – 39. Setelah membaca PP ini saya justru ingin mengajukan pertanyaan siapakah pemiliki rahim sesungguhnya? Pernahkah kita bertanya langsung pada sang pemilik rahim, jika dalam kondisi darurat, membahayakan nyawanya apakah ia akan meneruskan kehamilannya atau tidak? Atau pernahkah kita memposisikan, membayangkan diri atau keluarga kita sebagai perempuan korban perkosaan; trauma, stres, berkeinginan mati, tetapi justru di(ter)paksa hamil dari laki-laki yang ia benci.

Aborsi dalam PP ini diatur sangat ketat dan melalui tahapan yang panjang. Bila aborsi dilakukan karena indikasi kedaruratan medis maka harus dengan persetujuan keluarga (Pasal 35). Pada korban perkosaan maka usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan dengan bukti surat dokter, keterangan penyidik, psikolog, dan ahli (Pasal 34). Aborsi pun baru bisa dilakukan setelah melalui tahapan konseling (Pasal 37), dilakukan oleh dokter berstandar, bukan untuk tujuan materi (Pasal 35 – 36), dan harus dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten atau kota (Pasal 39). Apabila perempuan korban perkosaan membatalkan rencana aborsinya setelah melalui tahapan konseling, maka selama masa hamil, ia harus terus didampingi oleh konselor, anak yang dilahirkan dari perkosaan dapat diasuh keluarga atau menjadi anak asuh negara (Pasal 38). Artinya, PP ini sudah disusun dengan cukup hati-hati mengenai aborsi.

Hilangnya jaminan kepastian hukum, potensi pelanggaran hak perempuan korban dan risiko memunculkan pengabaian ada dalam Pasal 39, rumusannya tidak membatasi jangka waktu keluarnya surat izin dari kepala dinas. Apakah visum et repertum tidak cukup? Bagaimana jika surat tak kunjung keluar? Terutama bila pelaku berada dalam lingkaran kekuasaan. Padahal janin kian tumbuh, dan aborsi hanya bisa dilakukan dengan syarat usia kehamilan dibawah enam minggu (Pasal 75 (ayat 2) UUK).

Pandangan Agama

Perkosaan berbeda dengan zina. Zina, dalam bahasan fiqh, adalah perbuatan hubungan seksual di luar nikah, biasanya dilandasi kesenangan atau suka sama suka. Hukuman pezina yang belum menikah adalah dicambuk 100 kali (jild) atau dilempari baru (rajam) bagi yang telah menikah. Sedangkan perkosaan terjadi karena paksaan atau ancaman. KH. Husein Muhammad, meng-qiyas-kan pemerkosa seperti ‘muharib’ (penyerang dalam perang) sehingga harus dihukum berat. Adapun lrma  Riyani (2005), meng-isthilah-kan perkosaan sebagai ‘hirabah’ (mengambil secara  paksa).

Muktamar Internasional yang dihadiri negara-negara Islam di Zagreb, Kroasia, 2012, menghasilkan fatwa perempuan korban perkosaan boleh melakukan aborsi. Demikian disampaikan Syekh Yusuf Qardhawi. Alasannya, perkosaan itu bukan kehendak mereka, mereka pun tidak menanggung dosa akibat perbuatan itu, sehingga mereka boleh melakukan aborsi.

Islam sangat memperhatikan nasib perempuan. Kedatangan Islam justru mengangkat derajat perempuan dari bukan siapa-siapa (nobody) dan dapat diwarikan menjadi seseorang (somebody) yang kelahirannya dirayakan melalui aqiqah. Perempuan sebagai makhluk mulia (manusia) ciptaan Allah SWT (Q.S. Al-Isra, 17:70) memiliki kedudukan setara dan sederajat dengan manusia lainnya (Q.S al-Hujurat, 49:13). Al-Qur’an telah mengharamkan hubungan yang saling melecehkan antara manusia (Q.S al-Hujurat, 49: 11). Jika melecehkan saja diharamkan al-Qur’an apalagi menyerang dan menghinakan perempuan. Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas sesuatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya.”

Suara Muhammadiyah

Sebelum UUK dan PP 61 lahir, Muhammadiyah telah progresif membahas hukum aborsi. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pernah mengeluarkan Putusan berkenaan dengan hukum abortus, yaitu ketika Muktamar Tarjih XXII di Malang, 1989. Kesimpulan singkat dari Putusan tersebut; (1) bahwa abortus provocatus kriminalis atau aborsi yang dilakukan karena motif kriminal adalah haram, (2) bahwa abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis dapat dibenarkan lantaran darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan atau kesehatan ibu waktu mengandung dan melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli yang bersangkutan.

Fatwa tentang ‘Nifas bagi Ibu, Perawatan Jenazah, Pemberian Nama dan Akikah bagi Janin pasca Abortus’ (2010), lebih lanjut mengatakan bahwa perempuan yang mengalami abortus dalam usia kehamilan delapan minggu, tetap dikenai hukum nifas dengan jangka waktu sampai darah tersebut berhenti keluar. Benang merah dari Putusan dan Fatwa di atas yakni kebolehan aborsi bila menyangkut keselamatan dan kesehatan perempuan serta hukum nifas yang sama seperti perempuan yang melahirkan bayi sembilan bulan.

Catatan Penting

Agamawan dan organisasi keagamaan memiliki peran terstrategis membangun konsep dan merubah paradigma korban perkosaan tidak mendapatkan stigma negatif. Keduanya harus berada di garda depan mendukung upaya pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Bersama Komnas Perempuan, 2009; Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) telah bersepakat mendengar suara korban dan melindunginya, ‘Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Korban Kekerasan demi Keadilan’. Harusnya komitmen ini makin diteguhkan ketika gonjang-ganjing aborsi terjadi.

Muhammadiyah telah progresif. Idealnya mengimami dan berkolaborasi menjadikan Rumah Sakit dan Klinik Muhammadiyah sebagai tempat yang menyedikan konselor dan dokter berstandar, sebagai pendengar suara korban dan memfasilitasi kebutuhan korban. Pemerintah juga harus memastikan konselor dan dokter berstandar tersedia, proses peradilan dan surat dari kepala dinas yang cepat sebagai bagian pemenuhan hak korban perkosaan. Perempuan korban perkosaan, rata-rata mengalami trauma luar biasa, bahkan banyak dari mereka ingin bunuh diri. Karena itu, sepatutnya kita berpihak pada mereka. Sehingga perlindungan bagi korban terpenuhi dan AKI dapat terus ditekan. Semoga.

 

*Penulis adalah aktivis perempuan, mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail ymuthmainnah@gmailcom.