Search
Close this search box.

Apa Artinya Menjadi Seorang Gay?

Oleh Nurdiyansah*

Suarakita.org- Seorang pemuda jenius tengah duduk pada sebuah meja di depan jendela yang terbuka. Dengan lincah tangan itu menggoreskan sketsa-sketsa berarsir pinsil di atas kertas. Perpaduan antara bakat dan tekad yang semakin membulat. Seperti tak ada hal yang mampu mengalihkannya dari kreativitas. Tetapi sejenak lelaki berkacamata itu beranjak. Pada sebuah pandang di luar jendela, ia melemparkan senyum pada lelaki yang membersihkan kebun.

Plot narasi itulah yang menjadi pembuka biopic film (biographical pictures) dengan judul seorang tokoh sekaligus salah satu brand yang menjadi kiblat fesyen dunia: Yves Henri Donat Mathieu Saint-Laurent.

Sabtu sore itu  11 Oktober 2014, Suara Kita menyelenggarakan nonton bareng dan diskusi film bertema LGBTIQ. Film yang terpilih untuk bulan ini adalah karya sutradara Jalil Lespert yang mengambil sosok fashion designer paling berpengaruh asal Perancis. Hadir sebagai narasumber diskusi, adalah dosen dari Universitas Indonesia dan Institut Kesenian Jakarta, Tommy F. Awuy.

Pengalaman Tubuh

“Apa unsur yang paling penting dalam hidup?” tanya Tommy F. Awuy membuka diskusi. Sebuah pertanyaan mendalam yang membuat kami yang baru saja menonton menjadi terdiam dan berpikir lama.

“Pengalaman!”

Terdengar sederhana, tetapi tentu saja persoalannya tidaklah sesederhana yang dikira pada permukaan. Kita memahami kehidupan melalui pengalaman. Dan kisah tentang perancang kelahiran 1 Agustus 1936 di Oran barusan adalah serangkaian pengalaman dalam bentuk narasi atau cerita. Lantas apa keterkaitan antara pengalaman dengan tubuh?

Sang dosen filsafat tersebut menjelaskan bahwa pengalaman paling nyata yang dialami setiap manusia adalah pengalaman tubuh. Pengalaman yang akan selalu kita pertanyakan dan cari tahu sebab-akibatnya.

Yves Saint Laurent menjadi menarik karena film bergenre drama biografi itu tak hanya bertutur tentang karier Laurent sebagai head designer dari House of Christian Dior di usia 21 tahun, melainkan pula pengalaman ketubuhannya sebagai seorang gay: relasi cinta dan seksualitas. Berbagai periode penting Laurent ditampilkan dengan mengambil setting Perancis pada akhir tahun 1950-an hingga 1970-an, termasuk masa-masa krisis sang desainer di rumah sakit militer, sejarah berdirinya rumah mode YSL, kisah asmara dengan rekan bisnis, petualangan seks, dan perjuangan sebagai inovator dalam industri fesyen dunia. Melalui film, kita seolah dibawa untuk memahami dan melakukan refleksi terkait pengalaman diri sebagai kelompok rentan LGBTIQ yang kerap kali dipandang sebelah mata sebagai “the others,” objek, atau anomali.

Tentu saja menjadi “yang lain” mengarahkan pada sikap dan perilaku alienasi. Secara tegas kita bisa menyebutnya tindakan diskriminasi yang kemudian menghadirkan persoalan yang mengganggu rasa aman dan nyaman untuk menikmati pengalaman sejati terhadap tubuh. Suatu keberagaman seksualitas yang coba disangkal oleh pandangan yang mengagungkan heteronormativitas.

Melihat makna hidup melalui pengalaman berarti mengembalikan pengalaman pada masing-masing individu, pengalaman konkrit diri sendiri terhadap tubuh. Pada proses diskusi, Tommy F. Awuy seperti hendak mendorong kami untuk memiliki standpoint pada pengalaman diri sebagai pengetahuan dan menjadi “sesuatu” melalui ekspresi diri. Suatu presentasi atau keterwakilan yang menegaskan posisi diri sebagai subjek pada level personal maupun sosial.

Being & Becoming Gay

Perdebatan diskusi juga memicu pertanyaan tentang orientasi seksual. Apakah seorang gay terlahir sebagai gay (taken for granted) atau memilih sebagai gay? Apa makna diri sebagai gay? Tentang menjadi seorang gay yang mengalami tekanan sosial? Topik ini menjadi kian dalam karena mengacu lebih dari sekedar tubuh. Faktanya, tak ada bukti yang menunjukkan bahwa homoseksualitas (secara umum pula LGBTIQ dan aseksual) adalah suatu kesalahan, apalagi kecacatan sebagai manusia.

Tetapi terlahir dengan orientasi seksual yang unik dan berbeda menjadikan individu LGBTIQ sebagai “yang lain” (dalam konteks sosial-budaya yang heteronormatif dan patriarki). Ketika persoalan genetika telah tuntas, nyatanya kita masih berhadapan dengan tekanan maupun konstruksi sosial. Pelekatan ini bisa kita temukan pada “pelabelan bahasa” bahwa LGBTIQ dianggap sebagai suatu penyimpangan, dosa, minor, serta berbagai macam stigma dan stereotipe negatif.

Kawan-kawan yang hadir pada sore itu kemudian banyak bercerita tentang pengalaman diri. Bahwa seksualitas manusia adalah sesuatu yang cair. Bahwa seksualitas pun tak terbatas pada jenis kelamin atau orientasi, tetapi dimensi-dimensi lain: preferensi seksual, aktivitas seksual, identitas seksual, ekspresi seksual, gender, dan lain-lain. Bagaimana lantas kita hendak mengelompokkan manusia dengan keberagaman seksualitas dan keunikan?

Namun masih ada hal menarik terhadap kenyataan sosial yang cenderung masih begitu diskriminatif dan represif terhadap kelompok LGBTIQ, yaitu ketidak-amanan dan ketidak-nyamanan, bahkan mengancam keberlangsungan hidup individu LGBTIQ.

“Kita (sebenarnya) hidup di dunia sebagai queer!” tegas Tommy F. Awuy. Tak ada yang minor atau yang lain. Situasi sosial yang cenderung homofobik artinya bisa diubah dan direkonstruksi.

Maka, menjadi (becoming) seorang LGBTIQ adalah suatu proses yang tak statis dan terus berkembang. Yang tidak kalah penting, hal itu memberi makna lain terkait perjuangan dan gerakan. Fakta terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan perlu dilawan secara bersama.

Pada film Yves Saint Laurent, Laurent sebagai seorang gay terus berjuang terhadap berbagai krisis hidup dan karier layaknya manusia pada umumnya (mereka yang hetero), begitu pun dengan perjuangannya untuk menunjukkan diri sebagai gay yang bergelut dengan cinta dan identitas. Ia tak menampakkan dirinya sebagai re-presentasi (berbagai pemberitaan media massa dan judgement orang-orang tentang personality dan gaya hidup Yves Saint Laurent), melainkan presentasi diri apa adanya menurut dirinya. Ia tak menyangkal dengan berbagai krisis yang tengah dihadapi, di sisi lain terus membuktikan bakat dan profesionalitas sebagai fashion designer.

Salah satu desainer paling berpengaruh dalam sejarah fesyen abad ke-20 yang dikenal dengan tuxedo suit untuk perempuan dan “Pop-Art” dress bercorak garis hitam dengan paduan merah, biru, kuning itu meninggal pada 1 Juni 2008 lalu karena kanker otak.

Pada plot penutup, seorang lelaki kembali ditampilkan pada ruang yang sama di mana Laurent bekerja. Tapi kali ini, adalah Pierre Berge tua–rekan bisnis, sahabat, dan pasangan hidup Laurent (mungkin?)–yang menatap pada jendela. Siapa pun bisa memaknai diri sebagai gay dan siapa saja bisa memaknai diri tentang orang lain yang gay. Sebuah makna yang tanpa batas layaknya keberagaman dan keunikan seksualitas setiap manusia.

 

*Nurdiyansah adalah penulis buku Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia (Penerbit Alfabeta, 2014) dan berkicau melalui Twitter di @nurdiyansah.