Search
Close this search box.
i
(lustrasi: Dokumentasi Suara Kita/Yatna Pelangi)

Suarakita.org- Memang sulit kita menyebut orang-orang yang dengan kehidupan yang “senasib” dengan Adhe, Chenny, Mami Yulie dan para waria lain. Secara umum memang, ada yang tak mau disebut waria, bencong, AC-DC, atau apalah yang dijuluki oleh masyarakat.

Kehidupan mereka pun tak selamanya berada di puncak publisitas seperti halnya Adhe dan Chenny. Yang mengenaskan, ada yang terpuruk di lorong-lorong gelap metropolitan. Di hampir semua kota besar, selalu ada tempat mangkal kaum waria. Bahkan, setiap malam Minggu, misalnya, tempat mangkal itu menjadi pusat keramaian yang tak jarang membuat jalanan macet. Beberapa tempat hiburan mengundang kelompok waria untuk mengisi acara. Dan dengan meningkatnya penyakit AIDS, waria mulai menjadi perhatian walaupun waria jelas bukan satu-satunya potensi penyebaran AIDS. (Baca: ‘Lingkungan Bisa Bentuk Seseorang Jadi Waria’ )

Anehnya, walau sudah jadi bagian dari kehidupan masyarakat, waria tampaknya belum diterima utuh oleh masyarakat. Mereka lebih sering menjadi bahan olokan yang bisa diledek seenaknya, padahal jelas tak ada alasan yang cukup kuat untuk menertawakan waria. Berbeda dengan kaum homoseksual, yang masih dianggap sebagai penyimpangan, waria sebenarnya tidak bisa disamakan dengan kaum homoseks. Kalaupun waria melakukan praktek homoseksual, itu semata-mata konsekuensi dari keadaan yang mereka hadapi.

Kemala Atmojo, dalam bukunya Kami Bukan Lelaki, menegaskan perbedaan waria dengan homoseks. Seorang homoseks tidak merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita. Dan dalam melakukan hubungan seks, seorang homoseks bisa bertindak sebagai laki-laki atau wanita. Tapi seorang waria merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita. Itu karena mereka memang memiliki jiwa perempuan. Dan, dalam hubungan seks, waria hanya bisa berperan sebagai perempuan. Waria juga merasa lebih lengkap jika berhasil menghilangkan ciri-ciri kelaki-lakiannya. Dan yang menyedihkan, dalam kegiatan apa pun, waria sering dan nyaris tak bisa lepas dari keusilan orang. Padahal, waria juga umat manusia yang tak suka jadi bahan olokan.

Waria tak selamanya jadi bahan olokan, kaum inipun memiliki prestasi dan bisa unjuk diri gemilang. Misalnya dalam Pekan Olahraga Waria (Porwari) di Yogyakarta yang digelar era tahun 90an yang mempertandingkan lima cabang olahraga, sang juara pun muncul di bidang olahraga, perkumpulan waria Jakarta Utara terbilang biangnya prestasi. Mereka juara bulu tangkis dan tenis meja se-Jawa pada tahun 1992 dan juara bola voli se-Jawa Bali dalam kejuaraan tahun 1993 di Malang.

“Kami bisa fleksibel tak hanya soal gaya berpenampilan cantik, waria yang suka olahraga juga punya prestasi gemilang. Waria yang mampu unjuk diri dan prestasi, bagi kami itu kunci kerhomatan,” kata Chenny Han. (Baca : Kisah Chenny Han Dari Taman Lawang Ke Las Vegas )

Chenny menuturkan pada terorganisasinya para waria juga membuat waria sering mendapat bantuan dari Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial (BKKS) maupun bantuan dari lembaga swadaya masyarakat atau NGO untuk memberikan pelatihan ketrampilan seperti menjahit dan merias pengantin. “Sayangnya, para warian ini hanya sedikit yang mau bersabar, berjuang dan menunjukan prestasi atau unjuk diri di berbagai bidang baik di tingkat nasional dan ninternasional. Kalau yang merasa stagnan menyerah pada nasib ya sukanya “nyebong” lebih mudah dapat uang untuk hidup, itu selalu dalih mereka,” kata Chenny.

Di Surabaya juga ada Persatuan Waria Kota Madya Surabaya (Perwakos) yang dipimpin Panky Kenthut yang didirikan sejak tahun 1978 dan memiliki anggota ratusan orang waria yang memiliki beraneka ragam kegiatan dan mendulang prestasi seperti pemilihan ratu kecantikan waria, lomba menyanyi, pengajian, penataran P4, dan aksi sosial seperti mencukur gratis narapidana di LP Kalisosok. (Baca: Maryani, Pendiri Pesantren Waria Di Yogyakarta )

Perwakos memang memiliki tujuan mulia, meningkatkan keterampilan anggotanya sehingga waria bisa menjadi bagian dari masyarakat umum. Dan supaya masyarakat tak menempatkan waria sebagai banyolan semata atau manusia kelas dua.

Kelompok waria lain yang cukup terkenal adalah Fantastic Dolls, yang berdiri 40 tahun lalu (1973) di bawah pimpinan Myrna Saud. Di masa berdirinya, Fantastic Dolls sebagai terompet bagi kaum waria. “Saya tidak mau melihat waria jadi konyol seperti yang di Lenong Rumpi,” katanya seperti ditulis Majalah Tempo pada edisi September 1993.

Menurut Mami Myrna, saat itu memiliki 700 anggota yang dibinanya dan aktif dalam berbagai pertunjukan Kabaret Show di Taman Ria Monas, Senayan, Ancol dan beberapa tempat rekreasi. “Fantastic Dolls, pernah menjadi kebanggaan dan prestasi waria yang dipuji masyarakat,” kata Chenny yang sempat menimba ilmu di sana bersama Dorce dan beberapa teman waria lainnya.

Menurut Chenny, kegiatan Fantastic Dolls tak hanya memberikan ruang, kesempatan dan peluang waria unjuk diri. “Yang saya ingat Mami Myrna itu seorang leader yang berhati mulia yang menyelipkan misi sosial memberikan bantuan pada waria jompo , menderita sakit kronis, maupun membersihkan kuburan waria yang tidak terawat, termasuk menguburkan waria yang tidak punya keluarga lagi. Jadi, Fantastic Dolls bukan sekadar kelompok penyanyi dan penari yang bergoyang-goyang di atas panggung. Kegiatan itu hanya merupakan sumber dana untuk membiayai aksi sosial Fantastic Dolls,” ujar Chenny. (Baca : Begini Perjuangan Waria Indonesia )

Dalam wawancara dengan Majalah Tempo edisi September 1993, Myrna tak setuju dengan waria yang berganti kelamin. “Waria itu tetap waria. Kalau orang ganti kelamin, itu namanya murtad karena ganti kelamin itu berarti tuhannya ada dua, yaitu Tuhan dan dokter,” kata Myrna, yang saudara kembarnya, Bambang Priyo Sasongko, berkembang wajar sebagai seorang laki-laki tulen. Walau Myrna mengaku merasa sudah jadi perempuan sejak kecil, ia tak menganggapnya sebagai kodrat Tuhan. “Tuhan hanya menciptakan laki-laki dan perempuan. Tidak ada jenis kelamin waria,” katanya tegas.

Mungkin, akhirnya definisi waria menjadi tidak penting. “Orang hanya melihat waria yang di jalanan, tapi tidak pernah tahu ada waria yang tunarungu, tunawisma, tidak punya tangan, dan tidak punya kaki,” kata Myrna. Jadi, soal yang lebih penting, menurut Myrna, adalah menempatkan waria sebagai bagian dari masyarakat yang tidak harus dipandang dengan sangkaan buruk. Waria tak lebih dan tak kurang sebagai individu semata. Ada yang berbuat baik dan ada pula yang berbuat jahat.

Sumber : Tempo.co