Search
Close this search box.
Ilustasi: lisenstromberg.wordpress.com
Ilustasi: lisenstromberg.wordpress.com

Suarakita.org– Anak –anak dari pasangan sejenis memiliki tingkat kesehatan dan kesejahteraan yang kebih baik dibandingkan dengan rekan sebayanya yang berasal dari keluarga tradisional. Demikian hasil studi terbaru yang digelar peneliti dari Universitas Melbourne, Australia.

Riset yang digambarkan sebagai kajian terluas di dunia ini dilakukan oleh peneliti dari Universitas Melbourne. Riset ini mensurvey 315 orang tua dari pasangan sesama jenis dan 500 anak mereka mengenai kesehatan fisik dan kesejahteraan sosialnya.

Peneliti utama dalam kajian ini, Doctor Simon Crouch mengatakan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga pasangan sesama jenis memiliki skor rata-rata 6 persen lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum dalam ukuran kesehatan umum dan kekompakan dalam keluarga.

“Dua ukuran itu benar-benar menunjukan seberapa rukunnya sebuah keluarga, dan tampaknya keluarga dari pasangan sesama jenis dan anak-anaknya cukup rukun, dan ini memberi dampak positif pada kesehatan anak-anak mereka,” kata Dr. Crouch.

Menurut data Biro Statistik Australia terbaru, saat ini ada lebih dari 33 ribu keluarga dari pasangan sesama jenis yang tinggal di Australia.

Bebas stigma gender
Dr Crouch mengatakan pasangan sesama jenis menghadapi lebih sedikit tekanan untuk memenuhi peran gender tradisional, dan ini mendorong lebih terciptanya suasana harmonis didalam keluarga.

“Riset terdahulu menyimpulkan peran mengasuh keluarga, bekerja dan pekerjaan tumah dikeluarga dari pasangan sesama jenis lebih terbagi rata dibandingkan dengan keluarga dari pasangan berlainan jenis,” katanya.

“Keluarga dari pasangan sesama jenis cenderung mengambil peran sesuai dengan keterampilan mereka ketimbang jatuh kedalam stereotype gender, dimana ibu harus tinggal dirumah mengurus anak dan ayah pergi mencari nafkah dan menghasilkan uang.”

“Sikap ini mendorong keluarga menjadi lebih harmonis dan pada akhirnya akan mendorong kesehatan dan kesejahteraan sosial.”
Rodney Chiang-Cruise, orang tua yang membesarkan 3 anak laki-laki bersama pasangan sesama jenisnya, setuju dengan temuan dalam riset ini.

“Peran pengasuhan tradisional itu harus dibagi – itu bukan menjadi keharusan salah satu orang tua di atas yang lain, sama halnya juga dengan peran pencari nafkah tradisional juga dibagi,” kata Chiang-Cruise.

“Pandangan pribadi saya adalah bahwa saya pikir konsep itu mengajarkan anak bahwa setiap orang harus memberikan kontribusi dengan cara yang sama dan Anda semua harus berkontribusi untuk keluarga.”

Dr Crouch mengatakan temuan penelitian memiliki implikasi bagi mereka yang menentang kesetaraan pernikahan demi anak-anak.

“Cukup sering, orang berbicara tentang kesetaraan pernikahan dalam konteks keluarga dan pernikahan itu diperlukan untuk membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang tepat, dan bahwa Anda memerlukan ibu dan ayah untuk bisa melakukan itu, dan karena itu pernikahan harus dibatasi untuk pasangan pria dan wanita, “kata Dr Crouch.

“Saya pikir studi ini menunjukkan dalam konteks itu adalah kalau sebenarnya anak-anak bisa dibesarkan dalam berbagai bentuk konteks keluarga yang berbeda, dan seharusnya hal itu tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan kesetaraan pernikahan.”

Namun hasil riset ini mendapat kiritik dari lembaga Family Voice Australia. peneliti lembaga tersebut Roslyn Phillips menilai hasil riset ini harus dicermati.

“Saya tidak terkejut kalau anak-anak yang terlibat dalam survey itu sangat baik keadaannya,” kata Phillips.

“Tapi perlu juga dikaji apa yang terjadi pada anak-anak tersebut ketika mereka sudah dewasa dan itulah sebenarnya waktu penilaian independen yang sangat tepat untuk menunjukan apa yang terjadi dengan pengasuhan dan menanyakan kepada anak-anak tersebut bagaimana kondisi mereka ketika itu. dengan demikian saya pikir kajian ini bisa menjadi lebih relevan.”

Stigma sosial
Dr Crouch menambahkan meski memiliki skor kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik, namun keluarga dari pasangan sesama jenis mengaku mereka biasa menghadapi stima sosial.

“Didalam keluarga ini, stigma masih menjadi masalah dan stigma itu mereka alami dalam berbagai bentuk di masyarakat,” katanya.

“Bagi keluarga dari pasangan sejenis masalah stigma itu bisa berasal dari hal yang sangat sederhana misalnya saja surat dari sekolah yang dialamatkan kepada ayah dan ibu, yang terlihat tidak cocok untuk keluarga semacam ini, tapi itu bisa menjadi berlebihan dan merusak seperti memicu kasus bullying di area bermain,” katanya.

“Kita juga melihat banyak retorika negatif yang dibicarakan mengenai keluarga dari pasangan sesama jenis dan ini memberikan dampak negatif bagi kesehatan anak dalam konteks ini,” katanya.

Sumber: tribunenews.com