Search
Close this search box.

‘QUO VADIS IDAHOT’ Sebuah Inisiatif Penelitian Tahap Awal Sebagai Upaya Untuk Mendukung Komunitas LGBTI dan Advokasi Hak Seksualitas

oleh : Ni loh Gusti Madewanti*

Suarakita.org- Puncak perayaan International Day Againts Homophobia dan Transphobia atau IDAHOT, pada tanggal 17 Mei 2014 mungkin telah beranjak pergi. Meninggalkan kenangan dan semangat yang begitu tinggi. Namun ada banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Adanya banyak pekerja rumah yang harus seega diselesaikan. Daya dan energi untuk terus mensosialisasikan mengenai pendidikan seks dan advokasi mengenai akses dan kontrol atas tubuh dan seksualitas, utamanya orientasi seksual harus dijaga agar tidak pernah padam. Hal ini menjadi penting, agar tidak hanya kalangan aktivis atau akademisi yang memahami betapa pentingnya penghormatan terhadap orientasi seksual dan konstruksi gender diluar hetero-normative. Namun secara khusus membuat gema penyadaran kritis kepada masyarakat umum secara lebih luas, yang menurut hemat peneliti, masih menjadi bagian dari mayoritas yang diam (silent majority).

IDAHOT adalah sebuah tahapan yang paling penting, pengakuan bahwa homoseksual dan transgerder bukanlah sebuah penyakit atau penyimpangan. Hal ini ditegaskan oleh World Health Organization (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990. WHO menghapus homoseksualitas dari Daftar Penyakit Mental (penyimpangan) yang sebelumnya pernah tercantum dalam International Classification of Disease. Sejak saat itulah Badan Kesehatan Dunia dan Badan-Badan Dunia salah satunya yang paling signifikan adalah Persatuan Bangsa-Bangsa menempatkan komunitas LGBTI mendapatkan tempat setara dan terhormat dengan masyarakat lainnya.

Sebagai inisatif tahap awal, penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif berdasarkan pada survey kuesioer yang dilakukan oleh peneliti dalam kurun waktu 14 April 2014 hingga 11 Mei 2014. Penelitian secara swadaya ini, tidak dibiayai oleh siapapun dan sebenarnya merupakan sebuah upaya merespons dan memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang sinis dan cenderung mendeskritkan peneliti. Hal ini dialami peneliti akibat dukungan peneliti terhadap kampanye, sosialisasi dan advokasi IDAHOT dan hak seksualitas. Mendapat perlakuan dsikriminatif dan sinis, membawa pengaruh besar dan justru mengobarkan semangat untuk mengambil langkah penelitian dan membulatkan suara sebagai justifikasi mengapa penelitian ini perlu dilakukan dan penting untuk dilakukan.

Penelitian ini mensasar 100 orang responden dari berbagai kalangan sebagai subjek penelitian. 100 orang responden ini bukan merupakan perwakilan. Dipilih secara acak (random) dengan bertanggung jawab. Area penelitian adalah Bandung, Jakarta dan Depok ditentukan berdasarkan area domisili yang berdekatan dengan peneliti sekaligus area yang biasa dimana peneliti sering bermobilisasi. Hal ini menjadi penting, agar mempermudah data penelitian dapat dihasilkan, sekaligus memilimalisir hambatan yang akan diterima oleh peneliti.

100 orang responden berasal dari latar belakang pendidikan yang bervariasi. Mulai dari tingkat pendidikan sekolah pertama (SMP), tingkat pendidikan sekolah menengah atas (SMA), tingkat pendidikan universitas serta usia produktif diantara 20 tahuan hingga lebih dari 35 tahun. Pemilihan tingkat pendidikan yang dimulai dari tingkat pendidikan usia sekolah menengah pertama (SMP), dipilih berdasarkan pada ketentuan bahwa pada usia ini, udah terdapat perubahan biologis (tubuh) berupa kematangan secara reproduktif dan kondisi psikologi-seksualitas (atau kerap disebut akil baligh). Dengan dasar seperti ini, sejak tingkat sekolah penengah pertama, seorang individu sudah selayaknya memiliki otoritas, kedaulatan, dan kesadaran atas hak tubuh dan seksualitasnya. Namun, dalam realitasnya kaum muda dan anak-anak dianggap tidak mampu membuat sebuah keputusan yang daulat secara sadar mengenai tubuh dan seksualitas mereka

Latar belakang pekerjaan juga turut menjadi pertimbangan, saat peneliti membagikan lembar kuesioner. Latar belakang pekerjaan sebagai pelajar, mahasiswa, bekerja swasta maupun sebagai aktifis, dirasa mampu memberikan variasi data penelitian karena vasiasi pekerjaan tersebut menentukan kualitas mengenai urgensi mengenai pendidikan seks, dan informasi mengenai orientasi seksualitas dan konstruksi gender. Hal ini akan berpengaruh terhadap hasil analisa penelitian kelak, termasuk menjawab kearah mana advokasi dan kampanye IDAHOT.

IDAHOT dan Empat Pertanyaan Kunci: Sebuah Analisa

Terdapat empat pertanyaan kunci sebagai perspektif untuk menguak kualitas pengetahuan responden mengenai seberapa penting IDAHOT, urgensi advokasi terhadapi penghormatan terhadap keberagaman (pluralitas) orientasi seksual serta desakan bahwa informasi terhadap seks, seksualitas dan otonomi tubuh adalah hal yang menjadi prioritas.

Pertanyaan pertama yang dilontarkan adalah ‘Apakah anda mengetahui tentang ‘IDAHOT’? Dari 100 orang responden sebanyak 72 orang menjawab tidak tahu, hanya 13 orang menjawab mantap ya. Sedangkan 9 orang menjawab ragu-ragu mengenai ‘IDAHOT’. Dengan kata lain jika dipresentasikan dalam deret prosentasi, lebih dari 70% responden tidak mengetahui mengenai sejarah dan perayaan IDAHOT. Sedangkan 13 % responden yang menjawab mengetahui mengenai IDAHOT, sebagian besar adalah kalangan aktifis, maupun responden dengan latar belakang pekerjaan swasta, yang keduanya berusia antara 20 tahun hingga lebih dari 35 tahun. Ketidaktahuan mengenai IDAHOT menjadi tolok ukur peneliti mengapa kemudian situasi diskriminatif dan sikap sinis ataupun pelecehan diterima oleh peneliti. Dalam rangka mengumpulkan sebanyak- banyaknya informasi kualitatif lainnya, peneliti merasa perlu untuk menjelaskan lebih detail sejarah dan perkembangan IDAHOT. Dengan memberikan informasi secara detail bahwa pada tanggal 14 Juni 2011, Dewan HAM PBB telah mengadopsi resolusi pertama terkait penegakan HAM bagi kelompok dari identitas seksual dan gender yang beragam. Serta memutuskan resolusi pertamanya terhadap pemenuhan HAM bagi mereka yang datang dari beragam latar belakang seksualitas dan identitas gender. Serta menghimpun dukungan guna menghapus Undang-Undang yang diskriminatif dan penghentian terhadap segala bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan seksual, dan kekerasan emosional.[1] Resolusi inilah yang menjadi tonggak sejarah yang cukup penting sebagai bagian dari perkembangan IDAHOT.

Dalam rangka menjawab pertanyaan kedua, yang masih berhubungan dengan pertanyaan pertama, yaitu ‘Pentingkan perayaan ‘IDAHOT’ sebagai bentuk nyata penghormatan terhadap HAM?’ Terdapat signifikasi keterkaitan yang erat. Karena prosentasi dominan pada jawaban pertama menyatakan bahwa lebih dari 70% tidak mengetahui tentang IDAHOT. Maka tidak heran bahwa sebanyak 57 responden (atau sebesar 57%) menjawab bahwa perayaan IDAHOT tidak menjadi penting bagi mereka. Hanya sebanyak 23 responden (23%) yang menjawab bahwa perayaan IDAHOT adalah bentuk nyata penghormatan terhadap HAM. Sisanya, sebanyak 20 (20%) responden menyatakan ragu-ragu. Analisa peneliti adalah, ketika responden tidak mengetahui tentang IDAHOT, maka akan bersinergi terhadap apatisme penghormatan orientasi seksual dan konstruksi gender selain hetero-normative sebagai hak yang paling asasi yang harus dihormati dan dipenuhi. Perlu ditelaah lebih lanjut, bahwa sebanyak 23% yang menjawab pentingnya perayaan IDAHOT sebagai bentuk nyata terhadap penghormatan Hak Asasi Manusia, didominasi oleh kalangan aktifis dan mahasiswa. Hal ini menjadi menarik, bahwa aktifis dengan berbagai macam isu yang digeluti (tidak semua aktifis feminis) dan mahasiswa, cukup mempunyai kesadaran yang kritis mengenai pemenuhan hak seksualitas dan keberagaman orientasi seksual.

Masuk pada pertanyaan ketiga, ‘Menurut anda apakah ketertarikan seksual, selain hetero (hubungan laki-laki perempuan) perlu diperjuangkan sebagai bagian dari HAK Asasi Manusia?’, terdapat hasil data yang menarik dan cukup kontradiktif dalam rangka keterkaitannya dengan pertanyaan pertama maupun kedua. Jika dominasi terhadap pertanyaan pertama dan kedua adalah apatisme terhadap IDAHOT dan pengacuhan keberagaman orientasi seksual dan konstruksi gender yang bukan hetero-normative. Dari pertanyaan ketiga ini, data yang dihasilkan sungguh menarik! Sebanyak 39 responden (39%) menjawab perlunya diperjuangkan hak terhadap ketertarikan seksual non-hetero. Responden yang menjawab bahwa perlunya perjuangan ketertarikan seksual non- heterosebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, memberikan analisa bahwa telah ada kesadaran kritis bahwa hak seksualitas bersifat universal dan merupakan aspek yang fundamental dalam aspek kehidupan manusia. Setiap orang, bagaimanapun berbedanya, memiliki hak untuk menerapkan otonomi dan melakukan pengambilan keputusan mengenai tubuh mereka sendiri, termasuk dalam kesehatan, pengembangan sosial dan kultural, pekerjaan seksual dan relasi interpersonal.

Pada penghujung pertanyaan penelitian yaitu ‘Apakah anda menginginkan informasi dan pendidikan yang bisa memberikan informasi akurat, manusiawi, dan memenuhi rasa keadilan, terkait dengan ketertarikan seksual, pendidikan seks dan otonomi tubuh?’ menjadi sebuah bukti nyata dari realitas masyarakat saat ini yang menyebutkan bahwa pengetahuan, informasi dan pendidikan terkait seks, seksualitas dan tubuh menjadi hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan. Sebanyak 54 responden (54%)menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui dan membutuhkan pengetahuan dan informasi tersebut. Dominasi responden berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa sebanyak 30 responden, sedangkan 24 responden berasal dari kalangan pekerja swasta maupun aktifis. Terdapat 12 responden (12%) yang berasal dari kalangan aktifis dan mahasiswa secara umum memberikan jawaban bawah informasi ini bukan tidak penting dan tidak mereka inginkan. Namun melalui pekerjaan dan pengetahuan di tempat mereka berkarya, mereka merasa telah mendapatkan cukup informasi terkait dengan ketertarikan seksual, pendidikan seks dan otonomi tubuh. Meskipun, jika ada informasi ataupun pengetahuan yang lebih akurat, mereka tidak menolaknya. Sebanyak 30 % responden menyatakan mereka ragu- ragu terhadap kebutuhan dan keinginan mengenai informasi dan pendidikan terhadap ketertarikan seksual, pendidikan seks dan otonomi tubuh. Keraguan ini cukup signifikan, dan menjadi penghambat. Jika dibandingkan dengan responden yang menjawab tidak. Keragu-raguan dari 30 orang responden menjadi sebuah hambatan terhadap penegakan hak-hak LGBT. Keragu-raguan ini didasari dari kepercayaan terhadap agama. Serta merasa bentuk pengetahuan dan informasi tersebut adalah hal yang dilarang dan tabu. Berbagai contoh muncul di dalam penelitian ini bagaimana dogma agama menjadi tantangan yang paling besar. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Menguatnya fundamentalisme agama belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT. Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti pada UU Perkawinan yang tidak mengakui perkawinan sejenis. Hal tersebut menyebabkan advokasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara langsung oleh kelompok LGBT karena menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap kelompok LGBT secara frontal[2].

Epilog: Sinergisitas Daya dan Advokasi Kelompok LGBT dan Masyarakat Luas dalam Memperjuangkan Hak-hak LGBT.

Hingga hasil penelitian ini dimuat, PBB menyebutkan sekurangnya masih ada 77 negara di dunia yang mengkriminalisasi konsensual hubungan sesama jenis. Bahkan beberapa diantaranya masih menerapkan hukuman mati bagi homoseksual. Diseluruh dunia keberadaan LGBTI masih sangat terancam dengan segala tindak pelecehan, diskriminasi, dan kekerasan yang berlangsung secara berkelanjutan. Data pada penelitian itu setidaknya menjadi saksi, bagaimana tindak kekerasan masih kerap dialami oleh kelompok LGBTI, dan mengapa masih sedikit individu-individu yang mendukung keberagama orientasi seksual ini.

Berbasis pada pencanangan dan sosialisasikan mengenai Yogyakarta Principles[3], sebagaiinstrumen untuk menganalisis dan menerapkan legal dan hukum yang bersifat mengikat. Serta sebagai standar bagi seluruh kalangan, baik akademisi, aktifis, maupun masyarakat luas dalam rangka menghargai, menghormati keberagaman orientasi seksual maupun kontruksi identitas gender non-hetero. Upaya-upaya ini perlu disinergikan dan diterjemahkan dalam konteks-konteks berbagai masyarakat di Indonesia. Sinergisitas daya dan advokasi mengenai hak seksualitas pada kelompok LGBTI meliputi internalisasi bahwa keragaman seksualitas manusia (Sexual Diversity) adalah bagian dari HAM.Karena itu menyuarakan hak-hak LGBT sama pentingnya dengan menyuarakan hak-hak asasi manusia.

Perayaan ‘IDAHOT’ melalui serangkaian acara kegiatan yang telah dilakukan oleh Suara Kita maupun oleh kelompok ataupun komunitas LGBTI lainnya, merupakan sebuah upaya yang signifikan untuk melakukan dekonstruksi sosial (destabilised). Dekonstruksi sosial ini adalah upaya pembongkaran terhadap intepretasi, pemahaman, opini atas konsep-konsep seksualitas yang dianggap baku, mengacu dan menggunakan kerangka dasar semua dokumen hak asasi manusia. Dalam implementasinya dekonstruksi sosial dilakukan melalui perubahan sistim hukum termasuk hukum agama (reintepretasi tafsir kitab suci yang lebih adil gender). Juga dilakukan melalui counter discourse atau perebutan wacana dan makna atas isu-isu seksualitas yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan keadilan, seperti aktifisme yang telah dilakukan oleh Suara Kita dalam melalui bergagai tulisan, diskusi, perdebatan yang telah dilakukan. Dan yang paling siginifikan adalah melalui upaya nyata penghapusan praktek-praktek yang mendiskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang (deviant) atau masuk dalam kategori diluar hetero normatif (non-normative sexuality). Dalam kelanjutannya, sosialisasi Yogyakarta principles sebagai tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang HAM yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dalam perayaan IDAHOT pada tahun- tahun berikutnya.Penghapusan praktek-praktek yang diskriminatif ini, adalah jalan yang paling nyata, agar perayaan IDAHOT tidak sekedar sebuah euphoria terhadap kegembiraan fiktif sementara.

Akhir kata, data penelitian ini tentu masih terbilang prematur. Perlu pendalaman dengan kembali melakukan penelitian metode kualitatif dan menggunakan pisau feminis untuk menganalisa labih lanjut. Sebagai peneliti, dengan segenap daya yang ada, siap menjadi bagian barisan pendukungsegala bentuk upaya dalam rangka mendukung advokasi hak seksualitas dan keberagaman orientasi seksual. Dukungan terhadap kampanye perayaan IDAHOT, adalah sebuah perjuangan yang tidak pernah akan berhenti. Meskipun berbagai sikap sinis diskriminatif, ‘mampir’ dalam kehidupan kami ini.

***

Catatan  Kaki

[1]Sidang Umum PBB dalam sesiHuman rights, sexual orientation and gender identity A/HRC/RES/17/19, 14 Juli 2011 ap.ohchr.org/documents/alldocs.aspx

[2] Laporan Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan

[3]www.yogyakartaprinciples.org

 

REFERENSI

  1. Anne McClintock, ‘Imperial Leather: Race, Gender, and Sexuality in the Colonial Conquest’. New York: Routledge, 1995.
  2. Dokumen Hasil Sidang Umum PBB dalam sesiHuman Rights, Sexual Orientation And Gender Identity(A/HRC/RES/17/19, 14 Juli 2011)diunduh secara bertanggung jawab oleh peneliti pada laman ap.ohchr.org/documents/alldocs.aspx, tanggal 14 Mei 2014.
  3. Dokumen Yogjakarta Principles, diunduh secara bertanggung jawab oleh peneliti pada tanggal 12 Mei 2014 pada laman www.yogyakartaprinciples.org.
  4. Gayle Rubin “Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality‘, dalamPleasure and Danger: Exploring Female Sexuality, ed. C. S. Vance. Boston: Routledge, 1984.
  5. Hasil Laporan Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan 2011.
  6. Martha C. Nussbaum,‘Sex and Social Justice’. Oxford: Oxford University Press, 1999.

 

 

*Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.