Rahadian Arief*
Suarakita.org- “Katanya, perbedaan itu ada agar kita bisa saling menghargai satu sama lain. Tapi, kalau sudah menyangkut masalah orientasi seksual, kenapa yang berbeda malah tidak dihargai?”
Berbicara mengenai orientasi seksual seperti menceburkan diri kedalam lautan yang luas. Kita tidak tahu seberapa dalam laut tersebut, ikan-ikan jenis apa saja yang hidup di dalamnya, serta berapa lama kita bisa menahan napas di dalam air yang dingin tersebut. Ya, Orientasi seksual merupakan topik yang rumit dan kontroversial. Orientasi seksual, khususnya kebebasan ekspresi orientasi seksual ternyata bukan permasalahan yang dapat diselesaikan dari sudut mikro, atau individunya. Mengapa? Karena pilihan orientasi seksual sendiri, yang merupakan salah satu civil right[1] individu sebenarnya turut dicampuri keputusan-keputusan dari lingkungan tempat si individu tersebut berada. Kebebasan berkekspresi individu turut dipengaruhi oleh keluarga, institusi pendidikan, agama, dan dalam lingkup yang lebih besar, negara dan dunia global. Lalu, sebenarnya apakah orientasi seksual?
Orientasi Seksual
Apa itu orientasi seksual? Orientasi seksual adalah pola ketertarikan, baik secara emosional, romantis, maupun seksual terhadap laki-laki, perempuan, maupun keduanya[2]. Orientasi seksual berbeda dengan gender yang merupakan seperangkat peran, perilaku, aktivitas, dan atribut yang dilekatkan oleh masyarakat terhadap jenis kelamin tertentu. Dengan kata lain, gender mengacu pada sikap seseorang, sedangkan orientasi seksual mengacu pada ketertarikan seseorang terhadap laki-laki, perempuan, atau keduanya.
Orientasi seksual dan gender merupakan dua hal yang berbeda. Perempuan yang maskulin belum tentu homoseksual, begitu pula sebaliknya, laki-laki yang maskulin juga belum tentu heretoseksual. Baik gender maupun orientasi seksual memiliki perdebatan mengenai sumber, atau asal usulnya, apakah itu bersifat bawaan (nature), atau dibentuk oleh lingkungan (nurture)[3]. Namun komunitas ilmiah cenderung menyatakan bahwa masalah orientasi adalah masalah biologis[4], dan gender adalah masalah konstruksi sosial[5].
Terlepas dari masalah nature ataupun nurture, menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) “All human beings are born free and equal in dignity and rights. … and should act towards one another in a spirit of brotherhood …without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion”, Manusia lahir dalam kondisi bebas dan setara, serta harus memperlakukan sesamanya dalam semangat persaudaraan, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, dan agamanya[6]. Dengan kata lain, kebebasan berorientasi seksual merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan idealnya, apapun orientasi seksualnya, ia harus diperlakukan layaknya saudara, layaknya manusia. Tapi bagaimana faktanya? Apakah benar setiap orang memiliki kebebasan dalam mengekspresikan orientasi seksualnya?. Dan apa kaitannya dengan masyarakat?
Masyarakat
Apa itu masyarakat? Sosiolog klasik Emile Durkheim menyatakan bahwa pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang egois, namun nilai, norma, dan kepercayaan mengikat mereka menjadi sebuah masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat adalah kesatuan yang terikat oleh nilai, norma, dan kepercayaan bersama. Nilai, norma, dan kepercayaan bersama inilah yang disebut Durkheim sebagai collective conscience[7]. Collective conscience ini dipertahankan melalui apa yang disebut Durkheim sebagai social fact, atau segala sesuatu yang berada di luar individu, baik nilai, norma, atau hal-hal fisik yang bersifat memaksa[8].
Social fact menjadi panduan atas hal-hal yang dianggap benar, dan hal-hal yang dianggap salah. Lebih lanjut, apabila terdapat individu yang berbeda, atau melanggar social fact ini, maka individu tersebut akan dianggap menyimpang dan dikenakan sanksi sosial, mulai dari gosip sampai pemberian label. Durkheim melihat individu sebagai boneka yang dikendalikan oleh tangan “masyarakat”, atau dengan kata lain, individu tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasib dan mengekspresikan dirinya. Lalu apa relevansi konsep masyarakat ini dengan orientasi seksual?.
Kebebasan seseorang untuk mengekspresikan orientasi seksualnya tidak bisa lepas dari kondisi nilai, norma, dan kepercayaan yang berlaku di masyarakat tempat individu tersebut berada. Secara umum, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat luas menganggap heteroseksual sebagai orientasi seksual yang normal, sedangkan homoseksual atau biseksual dianggap sebagai orientasi seksual yang menyimpang. Pengucilan, pemberian label “banci atau homo”, sampai sanksi keagamaan menjadi ancaman yang dihadapi oleh individu dengan orientasi seksual yang dianggap menyimpang. Untuk kasus seperti ini, masyarakat sepertinya menutup mata, atau mungkin lupa dengan konsep hak asasi manusia.
Menjadi sebuah pertimbangan bagi seseorang untuk “come out” terkait orientasi seksualnya. Pikiran mengenai “nanti orang bilang apa”, “gimana kalo gua diusir?”, dan masih banyak lagi menunjukkan bahwa masalah come out bukan merupakan masalah internal individu, tapi eksternal menyangkut masyarakat. Mengikuti keinginan masyarakat dianggap sebagai tujuan mulia yang berada diatas kebebasan individu. Bahkan jika kita berpikir secara kritis, sampai derajat tertentu, keberadaan masyarakat bisa disejajarkan dengan keberadaan Tuhan. Ya, keduanya sama-sama merupakan sebuah entitas yang tidak terlihat, berada diatas individu, bersifat memaksa, dan sama-sama memberikan sanksi. Lalu dampak apa yang hadir sebagai konsekuensi kuatnya masyarakat dalam mengendalikan individu? Apakah hal ini terkait dengan bunuh diri?
Bunuh Diri
Apa itu bunuh diri? Bunuh diri adalah tindakan membunuh diri sendiri secara sadar[9]. Durkheim sendiri mendefinisikan bunuh diri sebagai “all cases of death resulting directly or indirectly from a positive or negative act of the victim himself, which he knows will produce this result”, segala jenis kematian sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari tindakan positif, maupun negatif korban yang mengetahui bahwa dia akan mati sebagai hasil dari tindakannya tersebut[10]. Durkheim lebih lanjut mengklasifikasikan jenis bunuh diri berdasarkan kondisi masyarakat, yaitu bunuh diri egoistik dan altruistik.
Bunuh diri egoistik mengacu pada kondisi masyarakat yang tidak solider, tidak erat, dimana individu tidak merasakan keterikatan sama sekali dengan masyarakat ditempatnya berada. Jenis bunuh diri seperti ini hadir sebagai akibat dari melemahnya kondisi integrasi masyarakat dan meningkatnya individualisme[11]. Bunuh diri karena terlilit hutang dan tidak mendapatkan bantuan dari masyarakat merupakan salah satu contoh dari bunuh diri egoistik. Sebaliknya, bunuh diri altruistik mengacu pada bunuh diri yang didasari oleh kepercayaan kelompok. Bunuh diri jenis ini terjadi di dalam masyarakat yang integrasi sosialnya kuat, dimana kepentingan individu berada dibawah kepentingan masyarakat[12]. Contoh dari bunuh diri seperti ini adalah kesediaan seorang prajurit untuk berperang demi negaranya.
Lalu apa hubungan antara orientasi seksual dan bunuh diri? Ketidakmauan seseorang untuk come out dan mengakui orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang dihadapan masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai bunuh diri. Ya, dengan kata lain, saat seseorang memilih untuk mengikuti keinginan masyarakat dan menyembunyikan orientasi seksualnya, mereka dapat dianggap sedang melakukan bunuh diri altruistik. Bunuh diri disini dilihat sebagai tindakan ekstrim yang tidak menyebabkan kematian fisik, melainkan kematian “jiwa” dari sang individu tersebut, sungguh ironis memang. Lalu bagaimana sebaliknya? Jika seseorang mengakui dengan bangga orientasi seksualnya di depan masyarakat, apakah artinya dia tidak melakukan bunuh diri?
Mengakui orientasi seksual yang dianggap menyimpang dihadapan masyarakat juga dianggap sebagai perilaku bunuh diri. Ya, dengan mengabaikan kondisi nilai dan norma didalam masyarakat dan meletakkan individu diatas kelompok, berarti orang tersebut telah melakukan bunuh diri egoistik. Lalu apa solusinya? Mengapa saat kita diam dan mengikuti apa kata masyarakat, kita dianggap mati, namun saat kita berbicara dan melawan, kita juga dianggap mati?. Lalu bagaimana cara agar kita bisa tetap hidup?.
Tetap Hidup
Baik mengakui, maupun menyembunyikan orientasi seksual yang dianggap menyimpang oleh masyarakat memiliki konsekuensi masing-masing. Come out akan mematikan diri kita di hadapan masyarakat, namun menghidupkan jiwa kita, sebaliknya, diam akan mematikan jiwa kita, namun menghidupkan diri kita di depan masyarakat. Solusi terbaik yang bisa penulis tawarkan adalah untuk memilah di masyarakat seperti apa kita bisa come out, dan di masyarakat seperti apa kita tidak boleh come out.
Bagi sebagian orang, akan sulit untuk jujur mengenai orientasi seksual di keluarga, namun mereka bisa jujur didepan teman-teman dekat, atau lingkungan kerjanya. Atau mungkin sebaliknya, akan sulit bagi seseorang untuk come out di lingkungan kerja, namun mudah baginya untuk come out kepada saudara-saudaranya. Yang dibutuhkan disini adalah peran aktif individu untuk terus mencari masyarakat, komunitas, atau orang tempat mereka bisa jujur terhadap orientasi seksualnya. Ya, meskipun melakukan hal ini bisa dianggap tidak konsisten dan sama saja dengan bunuh diri setengah-setengah, tapi penulis kira hal ini masih lebih baik daripada “mati”. Lagipula, semua hal itu ada prosesnya kan?.
*Penulis lahir di tahun 1994, merupakan mahasiswa jurusan sosiologi Universitas Indonesia. Open minded, gemar menulis dan bermain game. Pantheis dan sepertinya biseksual. Tertarik dengan isu-isu gender, agama, budaya, dan youth studies.
Catatan Kaki
[1] T.H Marshall, dalam tulisannya “Citizenship and the Social Class (1949)” menyebutkan tiga hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara yaitu civil right, atau hak untuk kebebasan individual, political right, hak untuk dipilih dan memilih, serta social right, atau hak untuk hidup sesuai standart yang berlaku dalam masyarakat.
[2] “Sexual Orientation”. American Psychiatric Association. http://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.pdf Diakses pada tanggal 26 April 2014.
[3] Ibid.
[4]Garcia-Falgueras, Alicia, & Swaab, Dick F., Sexual Hormones and the Brain: An Essential Alliance for Sexual Identity and Sexual Orientation, in Endocrine Development, vol. 17, pp. 22–35 (2010)
[5]World Health Organization (2002). “Gender and Reproductive Rights: Working Definitions”. http://www.who.int/gender/whatisgender/en/ diakses pada tanggal 26 April 2014.
[6] United Nations. “The Universal Declaration of Human Rights” http://www.un.org/en/documents/udhr/ Diakses pada tanggal 26 April 2014
[7] Kenneth Allan; Kenneth D. Allan.Explorations in Classical Sociological Theory: Seeing the Social World. Pine Forge Press. p. 137.
[8]Durkheim, E. The Rules of Sociological Method. 1895.
[9] Oxford Dictionary. “Suicide”. http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/suicide Diakses pada tanggal 26 April 2014
[10]W. S. F. Pickering; Geoffrey Walford; British Centre for Durkheimian Studies (2000). Durkheim’s Suicide: a century of research and debate. Psychology Press.
[11] Emile Durkheim, Suicide (1897).
[12] Ibid.