Oleh Sebastian Partogi
Suarakita.org- Pengalaman hidup yang menghantarkan kita pada kedewasaan, wawasan, kesadaran dan sikap mawas diri memang tidak selalu menyenangkan. Kadangkala, pengalaman tersebut bisa juga datang dalam sekumpulan peristiwa yang mencekam dan sulit dicerna oleh nalar.
Seperti anak remaja lainnya yang berusia 12 tahun, saya memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) pada tahun 2001. Keluarga saya memilihkan SMP Katolik Mater Dei di Pamulang sebagai tempat saya menuntut ilmu karena mereka percaya bahwa kata “Katolik” yang menempel pada nama sekolah tersebut menjadi sebuah jaminan bahwa sekolah tersebut memiliki nilai-nilai moral dan pendidikan yang baik yang pada ujungnya juga akan membuat saya bertumbuh menjadi anak yang baik dan cerdas.
Saya sendiri, yang sangat antusias untuk mengalami pengalaman baru di lingkungan dan jenjang sekolah yang berbeda dan mempelajari bidang studi yang belum pernah saya kenali sebelumnya, berpikir bahwa tahun-tahun menuntut ilmu di SMP akan menjadi sangat menyenangkan. Sebelumnya saya bersekolah di sebuah SD swasta yang non-Katolik.
Namun, ternyata nama “Katolik” yang menempel di nama SMP Mater Dei yang saya masuki tidak serta merta menjamin bahwa lingkungan sekolah tersebut akan menjadi lingkungan yang aman untuk saya menuntut ilmu. Tidak juga menjamin bahwa murid-murid dan guru-guru yang ada di dalamnya akan memiliki moral yang baik.
Ternyata pengalaman saya menuntut ilmu di sekolah tersebut mengantarkan saya kepada Hades, dewa Yunani yang tinggal di alam kegelapan dan orang mati.
Sejak kecil, saya memang sudah menjadi seorang anak yang sangat feminin. Semua tingkah laku saya, baik dari cara berbicara hingga cara berjalan sungguh menyerupai seorang perempuan. Yang membuat seluruh perilaku saya ini terlihat aneh di mata orang lain adalah fakta bahwa saya adalah seorang laki-laki. Sebagai seorang laki-laki, SEHARUSNYA saya menunjukkan sikap yang keras, nada suara yang tegas dan cara berjalan yang tegap. Namun semua keharusan yang ditimpakan oleh masyarakat pada saya tersebut tidak ada yang saya lakukan.
Jadilah saya seorang anomali. Namun fakta bahwa diri saya adalah seorang anomali yang memicu berbagai macam emosi negatif dari orang-orang sekitar saya: mulai dari perasaan kocak, jijik, marah, benci hingga kasihan baru saya alami saat saya masuk SMP.
Momen yang paling menampar saya adalah suatu pagi di tahun 2001 dimana saya sedang membeli Taro, makanan ringan yang mengadung banyak penyedap rasa MSG, di kantin sekolah. Saya, yang sejak kecil memang sudah menjadi seorang penyendiri, berjalan seorang diri di lapangan basket sekolahan. Ketika saya masuk ke ruangan kelas, saya disambut oleh gemuruh riuh tawa teman-teman di kelas saya. Saya yang kebingungan lantas menanyakan mengapa mereka menertawakan saya. Seorang murid bernama Angga lantas menjawab: “Lu nggak sadar ya?! Gaya lu jalan waktu makan Taro tadi itu mirip BANCI!!” Tawa riuh itu pun terdengar lagi.
Sejak hari itu, istilah BANCI dan berbagai macam variannya (bencong, beti atau bencong bertitit) pun menjadi julukan saya di sekolah. Setiap kali saya bertemu dengan rekan sekelas saya, mereka selalu mentertawakan saya dan melontarkan ucapan tersebut. Bahkan saat saya sedang berjalan-jalan ke Pondok Indah Mall dan bertemu dengan salah seorang anak di kelas saya bernama Fransisca Fortunata, ia juga melontarkan ucapan tersebut sambil menunjukkan ekspresi jijik dan menghina.
Lambat laun, hinaan verbal mulai diikuti oleh deraan fisik. Salah satu mimpi buruk yang saya alami saat duduk di kelas satu SMP adalah bertemu dengan seorang laki-laki bernama Christian Halim. Ia buruk rupa, dengan tubuh yang kurus kering dan jangkung (bagaikan tiang listrik). Ia sering memukuli saya. Pernah juga ia menendang pipi saya dengan sepatunya. Alasannya? Ia muak dan jijik melihat perilaku saya yang seperti BANCI.
Saya sungguh ketakutan dengan Halim. Namun teman-teman sekolah saya tidak ada yang melindungi saya. Guru-guru saya malah merasa lucu saat melihat saya ketakutan sekali pada Halim. Seorang guru PPKN yang bernama Margaretha Kamsiati malah sengaja mendudukkan saya satu meja dengan Halim setelah mendengar pengakuan dari teman-teman saya tentang betapa takutnya saya pada dia. Guru dan teman teman saat itu menyalahkan saya atas penganiayaan yang saya alami. “Makanya kalau nggak mau digituin, kamu jangan kayak banci!”
Pernah juga pelecehan yang lebih memalukan saya alami: genital saya ditendang, celana saya dipeloroti, saya diludahi.
Selain teman-teman sekelas, guru-guru pun ambil bagian untuk turut menghina saya. Yang paling saya ingat adalah penghinaan dari guru Fisika saya yang bernama pak Albert. Dia senang sekali memanggil saya dengan sebutan Hugo. Bagi yang mungkin sudah lupa, pada tahun 2001 tersebut ada telenovela di RCTI yang sangat populer berjudul Betty La Fea. Dalam telenovela tersebut ada tokoh perancang busana bernama Hugo yang amat sangat feminin. Nah, jadilah Hugo sebagai nama julukan lain untuk saya. Dan guru saya sendiri yang melontarkan hinaan tersebut!
Selain pak Albert, saya juga ingat pernah dihina oleh seorang guru ekonomi yang bernama ibu Santi. Suatu hari saya berjalan ke dalam ruang guru untuk mengambil buku absen dan jurnal. Tiba-tiba, ibu Santi menyapa saya dengan kata-kata seperti ini: “Halo, jeng!”.
Bu Anna, wali kelas saya yang duduk persis di sebelah bu Santi pun bingung. “Lho, kenapa kamu panggil dia jeng?”
Jawaban bu Santi: “habisnya, dia jalan kayak putri Solo.”
Pernah juga ada ibu Emerentiana Ardiati, guru bahasa Inggris, yang mencegat saya ketika saya hendak keluar dari ruang guru tersebut dan memaksa saya untuk berjoget di dalam ruang guru. Akibat peristiwa yang sangat memalukan tersebut, kemudian saya menangis sendirian di dalam mobil saya saat supir sedang mengantarkan saya kembali ke rumah.
Namun tidak setiap hari saya bisa menangis. Lebih sering saya mengalami rasa keputusasaan dan kesedihan luar biasa. Saya merasa diri saya tidak ada gunanya dan tidak akan pernah hidup bahagia. Saya juga merasa malu atas diri saya sendiri: mengapa saya harus memiliki sifat yang keperempuan-perempuanan seperti ini? Namun di sisi lain, saya juga tidak kuasa untuk mengubah diri saya.
Efek lainnya, saya jadi tidak konsentrasi belajar. Nilai saya jadi jelek semua dan selama tiga tahun berturut-turut saya terancam tidak naik kelas. Akhirnya saya semakin dihina oleh teman-teman dan guru-guru saya. Sudah bencong, goblok pula. Saya juga mengecewakan orangtua saya yang berharap bahwa anak mereka akan jadi anak yang baik, pintar dan berprestasi.
Saya juga jadi banyak melarikan diri ke makanan untuk melupakan stres yang saya alami. Alhasil saya mengalami obesitas. Lagi-lagi, ini pun mengundang semakin banyak hinaan dari lingkungan sekitar saya. Saya jadi sering depresi dan sampai mengalami ADHD (attention deficit hyperactive disorder), dimana saya sulit berkonsentrasi dan hiperaktif akibat deraan yang saya alami dari lingkungan saya.
Saat saya sedang duduk di bangku SMP, satu-satunya pelipur lara yang dapat mengalihkan perhatian saya dari bullying yang saya alami adalah musik karya pianis, penyanyi dan pengarang lagu dari Amerika Serikat, Tori Amos. Setiap malam, saya mendengarkan lagu-lagu perempuan ini, yang berbicara tentang penerimaan diri sendiri dan keberhasilan menyintas tindak kekerasan dan kekejian (Amos sendiri adalah penyintas tindak kekerasan seksual – ia mengalami pemerkosaan saat ia berusia 21 tahun). Buku-buku sastra, salah satunya adalah karya Djenar Maesa Ayu, juga menjadi pelipur lara saya pada masa itu.
Saat saya duduk di bangku SMA, hinaan terhadap saya berkurang intensitasnya. Namun saya tetap merasa diri saya berbeda karena tetap saja, sedikit orang yang mau berkawan dengan saya. Penyebabnya pasti karena saya ini seperti banci.
Titik terang mulai saya alami saat saya kuliah di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Saya mulai belajar banyak tentang mengapa manusia bisa melakukan kekerasan dan membenci sesamanya. Lebih jauh lagi, saya mendapatkan pencerahan yang paling terang saat saya mempelajari teori gender dan feminisme: bagaimana masyarakat patriarkal menindas perempuan dan laki-laki feminin dengan cara mengagung-agungkan maskulinitas dan merendahkan femininitas. Dengan penindasan tersebut, mereka memperoleh kekuasaan. Asal muasal peristiwa kekerasan yang tadinya sama sekali tidak masuk akal bagi saya, mulai dapat dipahami dan dicerna oleh akal.
Lebih jauh lagi, saat berkuliah saya bisa diterima oleh teman-teman dan dosen saya dengan baik. Tampaknya mereka sudah bisa menerima perbedaan dengan lebih baik dan sama sekali tidak mempermasalahkan sifat ‘kemayu’ saya.
Titik terang lainnya menghampiri saya saat saya mulai bekerja sebagai guru di Gandhi Memorial International School. Pertemuan dengan murid-murid remaja yang sering datang ke saya untuk konseling dan menceritakan permasalahan hidup mereka kemudian membuat saya merasa berguna dan menemukan kebahagiaan kembali. Lebih jauh lagi, interaksi dengan murid-murid tersebut kemudian membantu saya untuk melakukan refleksi atas masa remaja yang pernah saya alami sendiri.
Pencerahan dan terapi juga saya alami dalam berbagai bentuknya: melalui kegiatan seni dan olahraga. Banyak juga teman-teman dan kolega saya yang mampu membuat saya merasa aman secara emosional, dan merasa hidup lagi. Pelan-pelan saya mengumpulkan kembali pecahan-pecahan diri saya yang hancur oleh kekerasan dan menempelkan kembali pecahan-pecahan tersebut agar saya bisa menjadi seorang pribadi yang utuh lagi.
Seorang teman saya bernama Frankie yang menyusun skripsi mengenai bullying pernah menanyai saya selaku salah seorang respondennya: “Gile, gi, kok setelah apa yang lu alami lu gak pernah kepikiran untuk bunuh diri?”
Jawaban saya? “Mungkin gue terlalu pengecut untuk berani melakukan tindak bunuh diri. Tetapi mungkin juga, gue cukup beruntung karena Tuhan membantu gue untuk bertahan hidup.”
Semoga dari kisah saya, orang bisa belajar untuk lebih menghargai perbedaan. Lagipula, apakah untungnya membenci orang lain?