Search
Close this search box.

Kekuasaan dan mistik ketelanjangan tubuh perempuan

Penulis : Tanti Noor Said*

Suarakita.org-.“Tubuhku adalah aku. Begitupun tubuhmu. Ia adalah kamu.” Kita tak mungkin memisahkan tubuh kita dari subyektifitas kita. Ia bukan hanya kulit, bentuk, warna dan organ-organ. Namun ia menyatu dengan keringat, air mata dan emosi kita. Tubuh itu milik kita. Kita percaya bahwa tubuh itu milik kita. Namun tubuh kita memiliki kompleksitas yang sangat rumit. Belum lagi kemistikannya. Terutama bila kamu adalah perempuan.

Mistik dalam tubuh perempuan
Dari tubuh perempuanlah terlahir mahluk hidup yang kita sebut manusia. Tubuh perempuan mengalami haid atau mensturasi yang mengeluarkan darah yang katanya darah kotor. Kita dilarang masuk masjid atau bersembahyang dalam keadaan “kotor”. Belum lagi emosi yang disebabkan oleh hormon dan sakit perut yang melilit sampai ke pantat dan vagina saat sebelum dan ketika awal mensturasi.

Adalah payudara kita, yang katanya digemari oleh pasangan laki-laki. Ia menyembul kokoh meski dengan ditutupi oleh kain. Tubuhnya dituding sebagai biang kerok perkosaan. Dari mulai pangkal paha, betis, kemudian tentu pantat dan vagina. Selama berabad-abad, kita percaya mitos ini. Kita percaya kemistikan tubuh perempuan. Bahkan wangi rambutnya memancing lelaki yang sedang tidur. Sebagian dari kita dipaksa dan terpaksa untuk menikmatinya sebagai sebuah kelebihan atau pujian, atau kasarnya sebagai cermin kepercayaan diri. Sementara perempuan lainnya berlindung dibalik meteran kain, menyembunyikan “aib” yang digunakannya, karya Tuhannya sendiri.

Ketelanjangan dan kekuasaan
Dari seorang penari bernama Okty Budiati, saya belajar mengerti ketelanjangan. Bukan tubuh perempuannya yang merepresentasikan keindahan yang banal. Namun gerak, tari dan emosinya yang bercerita akan utuhnya ia sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang penari. Di dalam tarinya, tubuhnya tidak ia gunakan sebagai sebuah media sederhana pemuas nafsu. Tubuh itu bergerak dengan ritme yang pasti. Terkadang lambat, terkadang cepar berkelibat, membentuk sebuah sinergi dengan ekspresi penuh emosi. Tubuh perempuan yang gagah, kuat memanggul apapun yang perlu dipanggulnya.

Untuk pertama kalinya saya menyaksikan puluhan tubuh telanjang di sebuah tempat relaksasi atau spa di Belanda. Tubuh-tubuh itu saling berhadapan, berpunggungan bahkan bersenggolan. Namun tidak sedikitpun, terlihat seringai mesum dari wajah mereka. Tubuh-tubuh tersebut berkelebatan dengan berbagai variasi bentuk, ukuran dan warna. Indah, tidak dalam arti sensual. Yang terpancar justru adalah kekuatan-kekuatan dan kekekaran karena beban kerja. Beberapa perempuan terlihat memiliki guratan bekas mengandung dan melahirkan anak. Kurus ataupun gemuk, bukan lagi menjadi pokok permasalahan. Seksi atau tidak juga tidak. Tubuh kemudian tidak memiliki mistik seksual. Mereka bebas. Perempuan ataupun laki-laki menjadi sama. Tidak ada yang lebih berpotensi untuk diobyektifikasi.

If repression has indeed been the fundamental link between power, knowledge, and sexuality since the classical age, it stands to reason that we will not be able to free ourselves from it except at a considerable cost.” Michel Foucault.

Seakan-akan adalah sesuatu yang alami dan wajar, bahwa kita semua, perempuan dan laki-laki, dikenai standar yang berbeda dalam masalah kesopanan berpakaian. Kekuasaan menyelinap masuk ke dalam bilik-bilik warga negaranya. Hal tersebut dipergunakan sebaik-baiknya oleh mereka yang haus akan ketimpangan yang menguntungkan naluri binatangnya. Kewajaran sebuah ketimpangan dengan cara yang sangat halus, terutama atas nama doktrin moral, agama dan kesopanan adalah bagaimana kekuasaan bekerja melalui diskursus atau wacana. Bahwa semua ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki ini diatur dalam agama, adalah sebuah argumentasi usang. Namun beginilah kekuasaan bekerja. Agamapun akan mati tanpa dukungan negara. Dan itu sebabnya, Gayatri Spivak, seorang filosof feminis selalu menekankan bahwa agama selalu menjadi alat yang sangat paten atau efektif bagi sebuah negara yang korup untuk menguasai warganya.

Jika tubuh perempuan tidak lagi mistik dan ia diakui sebagai kesatuan yang utuh dengan kekuatan, kerentanan, kepandaian serta emosinya, maka kita tidak lagi hidup dalam ketakutan. Maka laki-laki tidak memandangi tubuh perempuan hanya karena dadanya tersembul atau kaki dan pangkal pahanya terlihat. Maka stigma itu akan mengubah perangkap yang selama ini membungkus kepala perempuan “saya berharga, jika laki-laki menginginkan saya.”

Sumber:Budiati, Okty. 2010. Sebuah langkah keterbelahan diri.benihilalang.blogspot.

*Penulis adalah kontributor Suara Kita yang kini bermukim di Belanda