Suarakita.org- Kelompok hak asasi manusia independen mendapatkan dokumen resmi yang secara langsung memperlihatkan keterlibatan pemerintah Myanmar dalam kebijakan keras dan diskriminatif atas Muslim Rohingya.
Matthew Smith, direktur eksekutif organisasi Fortify Rights, mengatakan, analisis atas puluhan bocoran dokumen dari para pejabat dan catatan masyarakat, mengungkapkan detail larangan untuk bepergian dengan bebas, mempraktekkan ajaran agama, memperbaiki rumah, kawin dan punya keluarga.
Meski berbagai kebijakan ini telah lama diketahui, namun dalam sejumlah kasus, dokumen ini memperlihatkan bahwa kebijakan itu telah dijalankan sejak beberapa dekade silam.
“Mewakili tingkat perencanaan dan pengetahuan diantara pejabat Myanmar yang menyebabkan meningkatnya pelanggaran (atas Rohingya) ke ambang batas kejahatan kemanusiaan,” kata Smith. ”Berbagai pelanggaran ini, telah dilakukan bertahun-tahun dengan impunitas penuh”.
Belum ada tanggapan dari pemerintah atas pengungkapan ini.
Myanmar, yang baru saja lepas dari setengah abad kekuasaan brutal junta militer, dirudung kekerasan sektarian sejak mereka memulai transisi demokrasi pada 2011. Sebanyak 280 orang tewas, sebagian besar mereka adalah Rohingya, karena diserang kelompok Buddha, sementara 140.000 lainnya dipaksa meninggalkan rumah.
Tak ada tempat di mana Rohingya – yang digambarkan PBB sebagai salah satu kelompok minoritas paling tertindas di dunia – lebih banyak dikejar-kejar daripada di wilayah barat laut negara bagian Rakhine.
Daerah itu adalah rumah bagi 80 persen dari 1,3 juta Rohingya. Beberapa adalah keturunan dari keluarga yang telah ada di sana selama beberapa generasi. Lainnya datang belakangan dari negara tetangga Bangladesh. Mereka tidak diakui sebagai warga Myanmar, membuat status mereka “stateless“ atau tanpa negara.
Kebijakan sistematis
Dokumen rahasia yang dipublikasikan setebal 79 halaman itu mengungkapkan, para pejabat Myanmar telah mengeluarkan perintah kepada otoritas negara bagian Rakhine sejak 1993 hingga 2008 agar secara konsisten menjalankan kebijakan negara yang membatasi Rohingya.
Beberapa “perintah regional” – tercatat pada 1993, 2005 dan 2008 – disalin ke berbagai departemen yang diturunkan oleh negara bagian dan pemerintahan pusat. Kelompok HAM yang memperoleh bocoran ini mengatakan sebagian besar kebijakan tersebut hingga kini masih berlaku.
Perintah-perintah tersebut menjadi dasar pelaksanaan pemberlakuan kebijakan dua anak di kota Maungdaw dan Buthidaung, yang mensyaratkan Rohingya ”yang mempunyai izin menikah“ agar “membatasi jumlah anak, untuk mengontrol tingkat kelahiran agar tetap ada cukup tempat tinggal dan makanan.“
Salah satu dokumen, berisi petunjuk rinci bagi para pejabat untuk mengkonfirmasi perempuan sebagai ibu kandung bayi, dan jika diduga berbohong, maka perempuan itu akan dipaksa menyusui di hadapan umum.
Sumber : dw.de