Search
Close this search box.

Heteroseksualitas dan Heteronormativitas : Pentingnya Penekanan Perbedaan Makna Dalam Setiap Konteks

Oleh : Tanti Noor Said*

Suarakita.org- Di bawah payung LGBT, perjuangan dan perdebatan hak-hak, serta kesetaraan dan diakuinya kaum LGBT sedang sangat marak beberapa tahun ini. Saya adalah salah satunya yang sangat bersemangat untuk mengambil bagian dalam wacana ini melalui tulisan-tulisan saya yang sederhana. Pada saat yang sama, tulisan-tulisan Judith Butler, seorang filosof yang enggan diklasifikasikan ke dalam kategori pemikir feminis atau lesbian menggugah keterhanyutan dan fokus saya terhadap pemikiran dan tulisan-tulisan yang telah saya kembangkan. Mungkin terlihat seperti labil. Tapi kita semua tentu mengalami proses yang menambah pertimbangan kita dalam berfikir. Pertimbangan-pertimbangan pun harus dilakukan dalam mempelajari kesamaan kasus ketidakadilan, termasuk perihal politik jendernya LGBT.

Dalam kuliah-kuliah antropologi yang saya ikuti, saya selalu diingatkan, sebuah permasalahan sosial yang terlihat sama, tidak pernah sama persis bentuk atau karakteristiknya dalam masyarakat dan kebudayaan yang berbeda. Perihal ketidakadilan, adanya mayoritas-minoritas, dominan-subordinat terjadi di semua masyarakat, namun dengan latar belakang sejarah, budaya dan keadaan ekonomi dan sosial yang berbeda-beda, sehingga variasi bentuknya pun berbeda. Dalam tulisan saya mengenai seksualitas, saya pun kerap memperbandingkan kasus yang terjadi di Eropa Barat, atau masyarakat lain dengan yang terjadi pada masyarakat di Indonesia, tanpa melupakan catatan atau informasi mengenai keadaan sosial, ekonomi dan latar belakang sejarah yang berbeda pada setiap masyarakat tersebut, untuk bekal saya sendiri dan para pembaca dalam memahami kerumitan konteks dalam setiap masalah.

Di Eropa Barat, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan lain sebagainya, seksualitas dijadikan sebuah tema yang dimunculkan sebagai polemik. Jika tidak dibela, maka dinihilkan keberadaannya. Banyak yang bahkan enggan untuk turut membahas, karena takut menurunkan kredibilitas sebagai individu yang beragama, atau intelek, karena bobot politik yang melekat pada isu seksualitas yang sering dimarjinalkan. Meskipun menyangkut kebutuhan dasar manusia, seksualitas mengandung unsur erotisme yang disembunyikan dari publik karena kita ini ingin dianggap beradab. Karena kita bukan binatang.

Selain itu seks sebagai kebutuhan dan perilakunya cenderung dikaitkan dengan penguasaan diri individu, tanggung jawab masyarakat terhadap individu yang melakukannya dan sebaliknya. Sebagai kebutuhan jasmani, seks tidak lagi dapat disamakan dengan makan, minum dan buang air. Seks menabrak teritori atau wilayah yang berbahaya, yaitu kontrol.

Amor, hubungan antara laki-laki di Perancis sebelum adanya heteroseksualitas

Dalam sebuah kuliah umum yang di organisir oleh ARC-GS UVA, Amsterdam Research Center for Gender and Sexuality, Universiteit Van Amsterdam, tema Invention of heterosexual culture dihadirkan. Saya pun sangat terpancing dengan tema ini, dikarenakan keinginan saya untuk memahami seksualitas secara menyeluruh. Memahami permasalahan homoseksualitas dengan menelaah yang terjadi pada tradisi heteroseksualitas. Hadir pula dalam kuliah tersebut para staf pengajar dan peneliti mengenai gender dan seksualitas dari universitas ini.

tanti 2Menjadi pembicara pada hari itu Professor Louis-Georges Tin. Ia juga dikenal sebagai pendiri IDAHO (International Day Against Homophobia and Transphobia). Di awal presentasi, Professor Tin telah menceritakan tentang latar belakang intelektualnya. Ia adalah seorang ahli sejarah budaya yang sehari-harinya mengajar di Universitas D’orleans, Perancis. Ia menjelaskan temuannya dengan menggunakan ilustrasi dan lukisan manusia berdasarkan jender dan relasi, baik itu antar laki-laki dan laki-laki, maupun laki-laki dan perempuan. Seberapa alami kah heteroseksualitas? Apakah heteroseksual sejak dahulu secara alami diterima oleh masyarakat? Posisi politik Professor Tin sebagai aktivis gay dan transgender tentu saja memegang peranan sangat penting dalam karya dan temuan yang ingin ia sampaikan. Ketika homoseksualitas dianggap kontroversial akan ketidakalamiannya, maka yang ia ingin tunjukkan adalah betapa heteroseksualitas juga bermasalah sejak awal masa kejayaan kristiani dalam masyarakat Eropa Barat.

Awalnya Professor Tin memperlihatkan ilustrasi lukisan laki-laki yang telanjang. Kemudian ia mulai menceritakan bentuk relasi atau hubungan laki-laki dengan laki-laki pada masa lalu untuk memulai penjelasannya. Pada masa lalu (di Perancis), laki-laki memiliki hubungan dengan laki-laki dengan sifat relasi yang dapat di jelaskan dengan kata “amor.” Menurut Professor Tin, Amor memiliki maknanya sendiri. Ia tidak dapat diperbandingkan dengan bahasa lain untuk kemudian diterjemahkan. Sulit untuk di setarakan dengan kata lainnya atau mencari padanannya dalam bahasa lain. Amor bukan bermakna love. Amor juga bukan persahabatan. Dalam amor juga tidak ada hubungan seksual yang melibatkan erotisme.

Dari sini, saya harus berhenti dan mulai mendiskusikan ide yang sangat penting ini. Mengapa Professor Tin menekankan keabsenan love dan seks dalam hubungan antara laki-laki? Saya menangkap adanya kesan penekanan pada sifat aseksualitas masyarakat pada masa itu. Tapi jelas tidak seperti itu, akan tetapi keyakinan dan penafsiran saya adalah, bukanlah hubungan yang melibatkan erotisme itu tidak ada, karena tentu hasrat seksual merupakan sesuatu yang alami dalam hubungan antara manusia. Namun hasrat tersebut tidak ditekankan eksistensinya. Di bumi nusantara, dalam tradisi masyarakat pada masa sebelum kolonial, kita juga mengenal keakraban dan kemesraan antara laki-laki (Oetomo 2004). Bergandengan tangan dan berangkulan bukanlah sebuah perilaku yang erotis dan harus dikaitkan dengan praktek homoseksualitas. Mungkin ini adalah padanan yang serupa dengan kasus hubungan sesama laki-laki di Perancis.

Sub-ordinasi posisi perempuan di dalam masyarakat

Perempuan bukanlah individu atau kelompok dalam masyarakat yang dianggap setara dengan laki-laki pada masyarakat Eropa Barat sampai kemudian adanya perjuangan kaum perempuan. Dalam banyak masyarakat dan bahkan sampai saat ini, perempuan memiliki makna melemahkan, menggoda dan bahkan berbahaya bagi laki-laki. Laki-laki memang mendapatkan posisi superior, kuat dan harus kuat. Tradisi kepemimpinan, kerja keras dan perang yang ada, mungkin menjadi alasan dari pembentukan karakter tertentu untuk para laki-laki. Dan memuja perempuan sebagai obyek keindahan maupun erotik adalah sesuatu yang dianggap tabu pada masa itu. Dan itu sebabnya, ketika pemujaan itupun ingin dilaksanakan, melalui sebuah figur, yaitu Virgin Mary, lambang dari figur perempuan yang sholeh, perawan, dan ibunda Tuhan Yesus, maka pemujaan itu diperbolehkan. Siapa yang bisa memuja Virgin Mary dengan fantasi erotisme?

Patung Virgin Mary di Notre Dame, patung perempuan pertama yang dipuja dalam sejarah gereja katedral di Perancis.
Patung Virgin Mary di Notre Dame, patung perempuan pertama yang dipuja dalam sejarah gereja katedral di Perancis.

Patung Virgin Mary di Notre Dame, patung perempuan pertama yang dipuja dalam sejarah gereja katedral di Perancis.

Pada masa itu hubungan laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan oleh gereja. Seperti yang tadi sudah disebut, hubungan ini  dianggap akan melemahkan laki-laki. Laki-laki disarankan untuk bergaul dengan laki-laki saja. Dan bukan berarti supaya menjadi homoseksual atau terkadinya hubungan asmara maupun tubuh. Namun supaya mereka dapat bergaul tanpa hasrat. Hasrat atau birahi dianggap banal, kotor dan egois. Namun pihak gereja lama kelamaan sadar, bahwa hal ini tidak mungkin. Karena hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan pun terjadi. Sepertinya pada saat itu, dalam kuliah ini, pihak gereja mengabsenkan kemungkinan hubungan asmara dan erotis yang terjadi antara sesama laki-laki dan antara sesama perempuan.

Pada tahun 1215, pihak gereja mengeluarkan putusannya dalam bentuk sakramen yang isinya meminta laki-laki yang tidak dapat menahan diri untuk berkeluarga, menikah dengan perempuan dan meneruskan keturunan. Pihak gereja, memberikan restu bagi pasangan laki-laki dan perempuan untuk berkumpul dan meneruskan keturunan, dengan jalan berhubungan seks. Beban dan kewajiban untuk memiliki keturunan diberikan pada mereka yang menikah. Inilah cikal bakal hubungan heteroseksual yang menurut saya tidak menjawab pertanyaan kita tentang dilegalkannya hubungan heteroseksual, melainkan heteronormatif. Kemudian, dalam kamus bahasa pada masa itu, heterosexual dan homosexual dianggap menyimpang. Manusia diharapkan untuk mandiri atau melakukan selibat. Dan tradisi ini yang masih populer dilakukan oleh para agamawan gereja katolik.

Pentingnya memahami istilah dalam konteks perjuangan di Eropa Barat dan Indonesia

Kuliah The invention of heteroseksual culture ini, meskipun tidak sepenuhnya di sambut dengan antusias oleh para ahli seksualitas dari disiplin antropologi dan sosiologi di Universitas Amsterdam, namun memberikan sebuah pengetahuan berharga dalam konteks sejarah bagi kami semua. Bagi saya pribadi, kuliah ini menggenapi salah satu kotak yang perlu saya isi dalam teka-teki silang saya.

Ketika kita bicara mengenai homoseksualitas, kita terkadang lupa, heteroseksualitas sendiri tidak eksis atau diakui oleh masyarakat di Indonesia pada masa sekarang ini. Apakah tradisi “tinggal bersama” dan “seks pra-nikah” merupakan salah satu hak kita yang dilindungi atau dijamin eksistensinya oleh pemerintah? Atau yang kita maksud dengan heteroseksualitas adalah hubungan-hubungan seksual yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dibalik dinding dan kelambu yang tertutup? Lalu apa bedanya dengan homoseksualitas?

Atau sebenarnya kita berbicara tentang heteronormativitas? Yaitu kemungkinan untuk menikah dan berkeluarga. Ketika kita meminta hak untuk kaum gay, hak untuk disetarakan dengan kaum hetero, apakah yang sebenarnya kita minta? Ada sebuah jurang yang sangat lebar dan perlu kita sadari, ketika kita mengusung perjuangan kaum gay di Indonesia. Praktek seks, masih belum mendapatkan ruang dalam wacana yang terbuka. “Don’t ask, don’t tell,” bukan hanya sebuah momok untuk kaum gay, tapi semua yang berniat untuk bersetubuh, tidak dalam institusi pernikahan yang disetujui oleh penghulu, gereja ataupun Kantor catatan sipil. Hak tersebut masih dimiliki penguasa. Mengikuti Michael Foucault, kegiatan persetubuhan kita, masih dikontrol oleh negara.

Sumber:

Kuliah umum The invention of heterosexual culture oleh Professor Louis-Georges Tin. Jumát, 15 November, 2013, Universitas Amsterdam.

Oetomo, Dede. 2004. Memberi suara pada yang bisu. Galang Press. Yogyakarta.

*Penulis adalah kontributor Our Voice