Suarakita.org- Pacasila adalah agama sipil Indonesia yang bersifat episodik. Begitu simpul Tedi Kholiludin, Narasumber dalam diskusi yang diadakan oleh Komunitas Salihara, Selasa 10 September 2013, dengan tema Masa Depan Agama Sipil Indonesia.
Lebih lanjut dalam analisis Tedi, Pancasila sebagai agama sipil yang bersifat episdoik dikarenakan ada proses pasang surut di dalam aplikasinya ke kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila digunakan sebagai landasan pemersatu agar Indonesia merdeka, kemudian setelah masuk periode demokrasi liberal, terjadi perang ideologi di internal elit Indonesia yang berimbas pada turunnya pamor Pancasila.
Setelah itu, timbul peristiwa 65. Pancasila pun naik daun kembali sebagai agama sipil yang disponsori negara, sebagai landasan apapun dalam menjalankan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemudian datang era reformasi, di mana Pancasila tidak hanya turun kembali pamornya, bahkan ada pihak yang menggugat Pancasila sebagai dasar negara.
Di awal diskusi, Tedi menjabarkan bahwa agama sipil pertama kali dilontarkan oleh Rousseau, seorang filosof Perancis, meskipun definisi agama sipil ini masih sangat sederhana. Pertama-tama Rousseau melihat ada dua jenis agama; agama manusia dan agama masyarakat. Agama manusia ini dianggap jelek menurut Rosseau karena hanya menekankan pada aspek moralitas dan penyembahan terhadap Tuhan, agama ini murni keyakinan personal atau individual, sehingga tidak mempunyai peran dalam membangun kekuatan sosial.
Sedangkan agama masyarakat adalah agama yang dianut oleh suatu bangsa. Agama ini berlaku di seluruh negeri, bentuknya terorganisasi, hierarkis dan terikat pada dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta pada tanah air, taat pada negara dan nilai-nilai pengorbanan. Namun agama mengajarkan intoleransi dan ekslusivisme, bangsa yang menganut agama lain dianggap kafir.
Kemudian Rousseau pun melontarkan agama ketiga yakni agama di luar agama manusia dan agama masyarakat. Agama ini memberikan penganutnya dua undang-undang, dua pemimpin, dua tanah air. Agama ini tetap dianggap jelek karena dalam agama ini memaksakan dua kewajiban yang saling bertentangan yang menghalangi manusia untuk menjadi orang saleh dan warga negara segaligus.
Setelah itu Rousseau mengelaborasikan ketiga agama itu. Muncullah agama keempat, yakni agama sipil. Di mana Rousseau membayangkan sebuah masyarakat di mana sentimen sosial menjadi landasannya bukan dogma agama, undang-undang dan keadilan menjadi ruh masyarakat tersebut. Masyarakat tetap bisa menjalankan kewajiban agamanya. Agama yang harus dikembangkan dalam masyarakat adalah agama yang inkulsif, toleran. Semua agama yang mengajarkan itu harus diterima dan diposisikan sejajar dengan agama lain sejauh tidak bertentangan dengan kewajiban negara.
Penjelasan Tedi di diskusi ini tidak luput dari pertanyaan. “Kenapa mesti membawa Agama? kenapa tidak seperti Bung Karno yang mengatakan Pancasila sebagai Landasan Filosofis? ” tanya peserta diskusi. Pertanyaan ini dijawab dengan baik oelh Ihsan Ali Fawzi, salah satu narasumber diskusi. Menurut Ihsan, agama adalah sesuatu yang bisa menggerakan masyarakat. Dia pun berargumen sebagus-bagusnya anggota dewan, dia tidak akan mampu merebut simpati publik tanpa menggunakan simbol agama.”Pertanyaannya kalau tidak pake agama, akan ada masyarakat yang tergerak tidak?” Ihsan bertanya balik. (Gusti Bayu)