Ourvoice.or.id- Sekretaris Dewan Nasional SETARA Institute Romo Benny Susetyo menganggap Rancangan Undang Undang Organisasi Masyarakat mematikan salah satu pilar demokrasi. Isi RUU tersebut, kata dia, akan membungkam suara-suara yang mengkritisi pemerintah.”Ada agenda tersembunyi penguasa di RUU itu,” kata Benny, di The Wahid Institute, Minggu, 23 Juni 2013.
Organisasi masyarakat, menurut dia, nantinya tidak lagi menjadi pilar demokrasi. RUU Ormas disebut akan memarginalkan organisasi masyarakat. Menurut Benny, adanya RUU Ormas ini, berdalih ingin mengatur organisasi yang bermasalah. Namun dalam pasal-pasalnya tidak menyebutkan sanksi apapun.
RUU yang akan dibahas pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat 25 Juni 2013 mendatang ini, kata Benny, tidak dibutuhkan masyarakat. Melainkan, hanya untuk melegalkan intervensi pemerintah kepada geliat organisasi di masyarakat.
Organisasi masyarakat, kata Benny, akan sulit melakukan pengawasan jika RUU tersebut disahkan. Karena, dalam RUU tercantum, sebuah organisasi harus memiliki perwakilan minimal di 9 provinsi. “Kalau yang enggak punya cabang akan jadi korban, ini kan mengekang sekali,” kata dia.
Senada dengan Benny, Sosiolog Universitas Indonesia Meuthia Ganie-Rochman menyatakan RUU tersebut sangat politis. “Ini akan melemahkan semangat berorganisasi masyarakat,” kata dia.
Disaat negara lain membiarkan masyarakatnya berkembang dengan bebas berorganisasi, lanjut Meuthia, Indonesia malah mempersempit kesempatan masyarakat untuk berkembang. Partisipasi masyarakat malah dibungkam dengan adanya RUU tersebut.
Meuthia mengungkapkan, selama ini pemerintah gagal mengembangkan masyarakat. Dengan adanya RUU ini, maka otomatis pemerintah dinilai menghambat perkembangan masyarakat.
Menurut rencana draft terakhir RUU Ormas akan disahkan DPR dalam sidang paripurna, Selasa besok (25/6).
Jika dicermati RUU Ormas pada perkembangan terakhir, jika disahkan nantinya akan bisa menjadi pintu kembalinya rezim represif ala Orde Baru. Diantaranya karena:
Pertama, Setiap Ormas wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas. Mendagri menyebutnya asas utama. Setelah itu Ormas boleh mencantumkan asas ciri masing-masing. Namun yang kedua ini hanyalah opsional. Draft pasal 2: “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”
Ini merupakan langkah mundur yang akan membuat kehidupan bermasyarakat kembali ke belakang, ke masa lalu. Pasalnya, semangat asas tunggal itu telah ditinggalkan dengan dibatalkannya TAP MPR no. II/1978 tentang P4 oleh TAP MPR no. XVIII/1998. Semangat tidak lagi asas tunggal ini bisa dikatakan salah satu hasil pertama-tama dari reformasi. Jika RUU Ormas ingin kembali menghidupkan semangat asas tunggal, itu merupakan pengkhianatan terhadap reformasi. Juga pengkhianatan dan pelecehan terhadap pengorbanan darah, keringat, tangisan dan harta banyak komponen umat.
Umat Islam tentu tidak lupa betapa pemaksaan asas tunggal kepada umat Islam telah melahirkan hubungan penuh ketegangan dan konflik antara umat Islam dengan pemerintah. Sejumlah ormas Islam dan selain ormas Islam, juga ormas pemuda, dinyatakan terlarang. Tokoh-tokoh umat dipenjarakan oleh rezim Orde Baru karena mempersoalkan asas tunggal. Bahkan rezim asas tunggal menelan korban nyawa, seperti dalam tragedi Tanjung Priok. Apakah RUU ORmas itu ingin lagi semua itu terulang lagi? Dalam konteks ini Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri mengatakan, “Karena dulu ketika Pancasila dipaksakan kan sudah menuai korban, masa itu mau diulang lagi?” (mediaumat.com, 25/3).
Rezim Orde baru dahulu menjadikan asas tunggal alat memaksa masyarakat agar ikut keinginan rezim. Mereka yang tidak setuju dengan rezim dengan mudah dicap tidak Pancasilais sementara yang setuju dengan rezim dinilai Pancasilais. Akhirnya asas tunggal memunculkan tindakan kekerasan oleh negara terhadap rakyat dan berbagai ormas. Semua itu memunculkan trauma di tengah masyarakat. Dengan menghidupkan kembali asa tunggal oleh RUU Ormas, trauma-trauma itu sangat boleh jadi akan hidup dan muncul kembali, meski dalam bentuk dan intensitas yang berbeda.
Di sisi lain, pewajiban Ormas berasaskan Pancasila itu sungguh berbeda dengan Partai Politik. Pasal 9 (1) UU no. 2 Th. 2008 menyatakan, “Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”. Jika Parpol yang secara langsung ikut menentukan hitam putihnya politik dan kebijakan negara saja cukup dengan ketentuan seperti itu, tidak harus mencantumkan asas Pancasila dan boleh hanya mencantumkan asas lain asal tidak bertentangan dengan Pancasila, kenapa Ormas yang tidak secara langsung menentukan hitam putih negara tidak seperti itu? Apa salahnya Ormas mesti dipaksa berasas Pancasila? Bagaimana bisa, para legislator berlaku diskriminatif, memaksakan kepada Ormas ketentuan yang tidak diberlakukan kepada diri dan kelompoknya sendiri? Tidak salah jika muncul anggapan RUU Ormas memang untuk membungkam kekritisan Ormas, terutama Ormas Islam?
Kedua, draft RUU Ormas membuat pemerintah sangat berkuasa terhadap Ormas. Definisi Ormas serba mencakup semua kelompok di masyarakat, “Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”.
Jadi mencakup semua organisasi di masyarakat (kecuali Parpol dan organisasi sayap Parpol yang dikecualikan pada Pasal 4) bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobi baik beriuran atau pun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Itu bisa jadi pasal karet untuk mengontrol semua dinamika di masyarakat. Ditambah lagi, persyaratan administratif untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT) bagi Ormas tidak berbadan hukum bisa dijadikan alat “memaksa” Ormas agar sesuai keinginan pemerintah. Sebab, draft Pasal 61 (6) menyatakan “Ormas dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki surat pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah”.
Terdaftar pada pemerintah itu buktinya tentu SKT. Artinya, SKT bukan sekadar keterangan terdaftar, tetapi sejatinya adalah surat izin. Itu artinya “silahkan membentuk Ormas dan menjalankan aktivitas sebagai Ormas asal diizinkan oleh Pemerintah”. Itu jelas mengekang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berorganisasi yang katanya dijamin dan merupakan hak asasi. Apalagi semua ormas baik yang berbadan hukum atau tidak berbahan hukum berada dalam pengawasan pemerintah [pasal 54 (3)] yang bentuknya berupa pemantauan dan evaluasi (Pasal 58). Hasilnya tentu akan dijadikan dasar mengambil tindakan terhadap Ormas.
Ketiga, RUU Ormas memuat sejumlah larangan (Pasal 61) yang sifatnya multi tafsir dan tolok ukur serta kriterianya tidak jelas. Larangan Pasal 61 (2) a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan. … d. melakukan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum; dan larangan lainnya, apa tolok ukurnya, seperti apa kriterianya, seperti apa tingkatnya, semuanya tidak jelas. Hal itu pada akhirnya bisa dijadikan pasal karet sebab tafsir, tolok ukur dan implementasinya akan tergantung selera aparat dan pemerintah. Juga larangan ayat (3) c. menerima sumbangan berupa uang, barang, atau pun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Dengan larangan ini, yayasan yatim piatu, yayasan sosial, pembangunan masjid dan sarana sosial, organisasi sosial umumnya dan semua yang tercakup oleh definisi Ormas tidak boleh menerima sumbangan dari orang yang hanya menulis identitasnya “hamba Allah”, dan sebagainya.
Peluang kembalinya rezim represif itu makin kental ketika larangan itu dikaitkan dengan sanksi yang bisa dijatuhkan oleh pemerintah mulai surat peringatan tertulis, penghentian bantuan atau hibah, penghentian sementara kegiatan sampai pencabutan SKT untuk Ormas tidak berbadan hukum atau pembubaran ormas berbadan hukum. Hanya pembubaran Ormas berbadan hukum yang harus berdasarkan putusan pengadilan. Sementara pencabutan SKT, Pemerintah hanya wajib meminta pendapat hukum dari MA. Pencabutan SKT pada dasarnya adalah pelarangan, sebab Ormas yang tidak punya SKT dilarang beraktivitas (Pasal 61 ayat 6).
Sumber : Tempo.co dan kompasiana.com
Klik : Draft RUU Ormas_April2013
Klik : Draft RUU Ormas Mei2013