Ourvoice.or.id- Memulai karir sebagai seorang penari crossdresser, Agus Eko Suryanto yang seharusnya dihargai karena telah melestarikan budaya negeri, malah dipandang negatif. Tak jarang, Agus dicap sebagai waria atau pecinta sejenis karena profesi yang menuntut dirinya berbusana wanita.
“Banyak yang bilang ‘Waria ya’, ‘Homo ya’. Bagi saya, ini adalah jiwa saya. Orang mau bilang apa silahkan,” kata Agus, 22, kepada merdeka.com (30/5).
Bagi Agus, pandangan negatif yang ditujukan kepadanya itu lumrah karena mungkin mereka tidak kenal siapa dia. Namun, teman-teman dan orang tuanya justru mendukung keputusan Agus menjadi seorang crossdresser. Dukungan itu bahkan mereka tunjukkan dengan selalu memberi semangat dan meyakinkan Agus bahwa pilihan itu yang terbaik untuknya.
Menurut beberapa teman dekatnya, dengan menjadi seorang crossdresser, Agus bisa menjadi dirinya sendiri. Berangkat dari situ, pemuda kelahiran 9 Agustus 1990 itu kian terlecut semangatnya untuk terus berkarya dan melestarikan budaya Indonesia. Tanpa sekalipun menoleh ke belakang dan berusaha mengacuhkan cemoohan tentang dirinya.
Kini bersama rekan-rekan penarinya, Agus membuka sanggar tari di beberapa tempat di Jawa Timur, antara lain Jember, Magetan, Pasuruan, Banyuwangi, Malang, dan Mojokerto. Kepada merdeka.com, Agus pun mengatakan bahwa semua yang dilakukannya hanyalah untuk melestarikan warisan leluhur bangsa yang keberadaannya kini semakin tergerus zaman.
Selain aktif menari dari panggung ke panggung, Agus bersama teman-teman seprofesinya sekarang tengah sibuk merintis usaha pembuatan kostum tradisional khas Indonesia. Sementara ini, pelanggan tetap mereka kebanyakan berasal dari Jerman dan baru-baru ini datang pula permintaan dari Skotlandia.
“Nama brand kita Jago Macak. Trus, di sini kita bagi-bagi tugas. Saya mendesain kostumnya, teman saya yang menjahit, masang payet, dan lain-lain,” jelasnya sembari tersenyum.
Dalam setiap pagelaran, Agus juga berusaha menarik perhatian para wisatawan asing untuk lebih mengenal budaya Indonesia. Dia pun tak sungkan untuk meminta bantuan pada teman-teman sekampusnya yang punya kenalan warga asing supaya mengajak mereka menonton pertunjukkannya. Tujuannya jelas cuma satu, yakni memperkenalkan budaya Indonesia.
Agus juga menambahkan bahwa dirinya ingin sekali bisa menari di luar negeri. Sebab, sudah sejak lama, dia ingin memperkenalkan budaya Indonesia hingga ke mancanegara. Tawaran untuk itu pun sebetulnya terbuka lebar baginya. Hanya saja, pemuda dengan nama panggung Nyai Roro Dadak Purwo itu tetap kekeuh tidak ingin terikat dengan lembaga kebudayaan pemerintah. Di matanya, menari tidak hanya sekadar menggerakkan tubuh, tetapi lebih kepada bagaimana seorang penari mengekspresikan jiwanya.
“Saya paling anti ikut begituan (ikut program pemerintah). Karena itu pasti terikat. Terikat itu kan ndak enak. Padahal kita menari itu harus bebas dan saya tidak suka dibatasi. Saya mau menari dengan cara saya sendiri bukan karena diperintah begini-begitu,” terangnya saat ditemui merdeka.com di Sekretariat Unit Kemahasiswaan Seni Tari dan Karawitan di Universitas Negeri Malang (30/5).
Sekarang, Agus sedang menggarap tugas akhir mahasiswanya dengan mengumpulkan referensi tentang tarian asli Majapahit. Untuk menggali kembali warisan leluhur yang telah punah itu, Agus kini melakukan perjalanan spiritual ke berbagai tempat-tempat peninggalan Majapahit. Selain melakukan puasa dan beragam kegiatan ritual lainnya, dia juga terus mengumpulkan informasi dari para narasumber yang kompeten mengenai peninggalan Majapahit tersebut. [des]
Sumber : merdeka.com