Tanti Noor Said*
Artikel yang sempat saya tulis sebagai bentuk respon terhadap tulisan yang dimuat oleh The Jakarta Globe berjudul Pernikahan sesama jenis. Yang kemudian, saya sendiri tidak cukup puas dengan terminologi saya gunakan sendiri.
Artikel ini, diluar dugaan mendapatkan reaksi yang cukup menarik. Saya langsung dihadapkan kepada pro dan kontra masyarakat terhadap wacana ini, baik dari kalangan yang memperjuangkan hak-hak LGBT maupun teman-teman yang selama ini saya tidak pernah dengar suaranya ataupun pendapatnya. Artinya, keinginan saya untuk mendapatkan perhatian dari publik untuk membaca informasi mengenai eksistensi LGBT dan wacana mengenai seksualitaspun dari pengetahuan yang saya milikipun tercapai.
Reaksi yang ada, tentu menjadi masukan untuk saya, baik pribadi, maupun untuk pengetahuan secara sosial mengenai dinamika perjuangan kesetaraan jender, khususnya LGBT di Indonesia.
Sangat sadar bahwa isu ini akan memicu pro dan kontra, namun posisi saya sebagai pribadi dan antropolog sangat jelas, mengamati, kemudian menceritakan informasi yang saya mengerti kepada publik dimana ini telah menjadi komitmen bagi saya. Tidak pernah saya berjanji untuk netral, karena permasalahan sosial akan memaksa kita untuk selalu memihak, dimana hati nurani saya sebagai individu terpaut. Akan tetapi, sayapun menghindari keberpihakan yang akan menghalangi nurani saya untuk mengerti dinamika perjuangan yang ada. Dimana letak ketidakjelasan informasi, maupun ketidakadilan bersarang, disanalah posisi individu diminta pertanggungjawabannya untuk mempelajari, kemudian menyajikannya kepada khalayak ramai yang mungkin luput dari jangkauan pergerakan ini.
Mengapa pernikahan sejenis?
Terlalu sering saat ini kita mendengar kata same-sex marriage atau pernikahan sejenis. Entah mengapa, telinga saya lama-lama jengah mendengar istilah ini disebut. Ketika kita berusaha menegakkan kesetaraan, namun disisi lain kita beramai-ramai mencengkramkan kuku dan mengobyektifikasi kelompok lainnya atau bahkan kelompok kita sendiri dengan nama yang sangat tidak manusiawi.
Teringat kata-kata yang dikumandangkan oleh aktivis LGBT di Amsterdam pada saat aksi protes terhadap kedatangan Presiden Rusia Vladimier Putin. “Bahwa kita semua harus berdiri, dan berdemonstrasi pada hari ini, di tahun 2013, adalah hal yang memalukan.” Putin akan mengkriminalkan perilaku homoseksual dimuka publik, seperti laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan bergandengan tangan . Sampai kawan-kawan saya bilang Vla die Meer. Lempar semua Vla (Cake) ke sungai, sebagai aksi protes terhadap kebijakan Putin yang homofobik.
Judith Butler, seorang filosof dan ahli jender dari Universitas Berkeley, menawarkan sebuah logika berfikir yang sangat menantang
disatu sisi, walaupun disisi lain mengandung banyak resiko. Apakah kata “sejenis” atau homoseksual lahir dari kata “lain jenis” atau heteroseksual, atau sebaliknya. Sejak kapan, mengelompokkan manusia, berdasarkan jenis kelaminnya merupakan sebuah norma. Kemudian hal ini memicu pemikiran saya lebih lanjut, sejak kapan sebenarnya bahkan esensi pernikahan itu adalah jenis kelamin? Dan bukannya respek dari kedua belah pihak, rasa ingin selalu berada didekatnya (apapun jenis kelaminnya) dan perjanjian untuk hidup bersama.
Padahal, kembali lagi ke diskursus masalah pengelompokan, sebagai mahluk sosial, saya yakin, tidak ada manusia yang merasa senang disebut “jenis”, baik itu “sesama jenis” maupun “lain jenis.” Saya yakin, tidak ada manusia yang ingin di redusir menjadi jenis kelamin. Manusia adalah makhluk kompleks, punya hati, punya sistem berfikir dan pengalaman yang berbeda. Ini merupakan point terpenting dalam usaha kita untuk dapat mengerti dan respek terhadap semua keberagaman, bukan hanya dalam hal seksualitas, tapi juga fenomena sosial lainnya.
Pengkategorian ini rasanya mengulang kembali pengelompokan manusia berdasarkan rasnya. Warna kulit, bentuk mata, warna mata, bentuk hidung, tinggi tubuh, besar atau kecil. Sayangnya saya tidak dapat mengkonfirmasi orang-orang yang suka sekali membicarakan ras mengenai kebiasaan ini diwaktu kecil, tapi apakah ini juga terjadi secara natural, sejak mereka kecil. Ataukan ini merupakan bentuk konstruksi sosial semata.
Penting untuk mempelajari seksualitas dari pendekatan diakronik. Kembali kepada tradisi budaya yang ada di Indonesia. Praktek seksualitas yang ada dimasa lalu sangatlah cair. Bahkan lebih dalam bentuk kesenangan, kasih sayang, tanpa adanya hukum yang diikat dengan norma dan membatasi perilaku seksualitas seseorang. Oleh sebab itu, saya dapat berargumen, tradisi suka-sukaan, saling sayang dan terkadang ada unsur erotisme didalamnya, bukanlah hal yang tabu di masa lalu. Namun, istilah homoseksualitas sendiri dan larangannya, justru memang datang dari pengaruh luar. Dalam hal ini penjajahan Belanda di Indonesia dan masuknya Islam. Keinginan mengubah kebiasaan masyarakat yang menurut mereka “tidak beradab”, menjadi beradab (civilized). Dan salah satunya dengan mengontrol seksualitas mereka.
Kaitan antara polemik pernikahan antara laki-laki dan laki-laki, perempuan dan perempuan, maupun perempuan dan laki-laki menjadi sangat alot untuk diperjuangkan, ketika norma yang ada memberikan hak istimewa hanya bagi satu jenis pernikahan, yaitu pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Point pertama, menempatkan kembali kasih sayang dan seksualitas kepada individu masing-masing, sehingga sebagai warga kita semua memiliki kemerdekaan, tanpa dikriminalkan haknya untuk mengekspresikan kasih sayang maupun seksualitasnya. Point kedua, pernikahan merupakan hak bagi yang menginginkannya, apapun dasarnya. Bukan hak istimewa ataupun kewajiban bagi sepasang individu dengan jenis kelamin yang berlawanan.
*Master di Program Kajian Budaya dan Sosiologi di Universitas Non-Western Societies- Amsterdam.