Ourvoice.or.id – Sinyalemen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa ada sekelompok orang hendak menggulingkannya dari kursi presiden, terus menimbulkan pro dan kontra. Hari ini, salah-satu kelompok orang yang dituduh atau diberitakan akan melakukan kudeta, menyatakan akan tetap menggelar unjuk rasa pada 25 Maret nanti.
Mereka, yang menyebut dirinya Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia, MKRI, menuntut agar Presiden Yudhoyono turun dari kursi presiden dan digantikan semacam pemerintahan transisi.
“Kami menawarkan pemerintah transisi, yang tugasnya mengambil alih pemerintahan secara damai dan konstitusional,” kata Erwin Usman, anggota presidium MKRI, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Kamis (20/03).
Isu kudeta berhembus setidaknya dalam dua pekan terakhir, yang antara lain ditandai pertemuan Presiden Yudhono dengan sejumlah purnawirawan TNI, pimpinan organisasi kemasyarakatan, serta pimpinan media massa.
Dalam pertemuan ini, Presiden antara lain menyebut ada sekelompok orang yang menghendaki dia turun dari kursi presiden.
Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara, BIN, Letjen Marciano Norman, menyatakan, pihaknya sudah mendengar ada rencana unjuk rasa mendesak Presiden Yudhoyono turun dari kursi Presiden.
Tuduhan ini mengarah pada MKRI yang dipimpin Ratna Sarumpaet dan Adhie Massardi. Tetapi, Erwin menolak tuduhan jika aksi damai ini bertujuan untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Yudhoyono.
Sangsikan kudeta
Aktivis politik Rizal Ramli, yang menghadiri acara yang digelar MKRI, Kamis (20/03) siang, menyatakan mendukung tuntutan MKRI agar Presiden Yudhoyono turun dari kursi presiden.
Namun demikian, Rizal menolak sebutan jika rencana aksi unjuk rasa MKRI pada 25 Maret nanti bermuara pada upaya kudeta.
“Apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak paham istilah kudeta,” kata Rizal.
“Kudeta,” kata Rizal,” dilakukan oleh tentara yang punya kekuatan bersenjata, lalu mengambil kekuasaan dengan kekerasan”.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga di Surabaya, Aribowo, meragukan aksi-aksi yang dilakukan kelompok masyarakat belakangan ini akan bermuara pada kudeta, kecuali didukung TNI. Namun menurutnya, sejarah dan doktrin TNI saat ini “melarang adanya kudeta”. Alasannya, jika kudeta dipaksakan, akan diikuti kudeta militer selanjutnya. “Kesadaran ini kuat (di tubuh TNI),” kata Aribowo.
Masyarakat memahami
Aribowo menganalisa, Presiden Yudhoyono melontarkan adanya isu kudeta, kemungkinan karena adanya gerakan politik oleh kelompok tertentu yang menghendaki perubahan kepemimpinan.
Tanpa menyebut nama kelompok tersebut, Aribowo menduga, kelompok ini “tidak punya kekuatan apa-apa”. Masyarakat, menurutnya, juga tidak terlalu memikirkan manuver seperti ini. Dia menyatakan, isu kudeta ini menjadi besar “karena diramaikan media massa”.
“Masyarakat sudah dewasa. Masyarakat juga memahami siapa yang sebetulnya benar-benar (berjuang) untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan kekuasaan,” jelasnya.
Lebih lanjut Aribowo menganalisa, kelompok yang menghendaki perubahan kepemimpinan dalam waktu dekat ini menganggap ‘persyaratan’ adanya kudeta itu sudah terpenuhi. Padahal, menurutnya, kritik tajam yang diarahkan pada kepemimpinan SBY selama ini merupakan bagian proses demokratisasi.
“Seolah rezim mengalami pembusukan, padahal fenomena demokrasi memang seperti itu,” kata Aribowo.
Sumber : BBC | Indonesia