Ourvoice.or.id. Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya alam penting bagi kehidupan. Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan telah meningkatkan kebutuhan terhadap sumber daya air. Di lain pihak, ketersediaan sumber daya air semakin terbatas, bahkan di beberapa tempat dikatagorikan berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti pencemaran, penggundulan hutan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian lingkungan, dan perubahan fungsi daerah tangkapan air.
Tindak sikap dan perlakuan manusia terhadap air
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dr. Masaru Emoto dari Jepang, menunjukkan bahwa air memiliki jiwa. Perlakuan bijak terhadap air, sugesti kata yang positif terhadap air secara mikroskopis akan membentuk molekul kristal yang indah. Sebaliknya, ketika air mendapatkan sugesti kata-kata jelek, negatif, akan membentuk molekul yang tidak beraturan. Dengan demikian air dapat merespon setiap perlakuan yang diberikan kepadanya.
Dr. Masaru Emoto menyimpulkan bahwa sesungguhnya air itu hidup dan dapat diajak komunikasi (seperti dapat melihat, membaca dan mendengar). Berdasarkan hasil penelitiannya, kalau air diperdengarkan suara musik yang merdu atau diperlihatkan kata-kata yang positif (misal kata “cinta dan terima kasih”), maka kristal air akan berbentuk sangat indah dan air ini sekaligus dapat berfungsi sebagai obat penyembuh yang luar biasa dalam tubuh manusia. Jika hal sebaliknya diberikan kepada air, misalnya diperdengarkan suara musik heavy metal dan diperlihatkan kata-kata yang negatif (misal kata “benci, jahat, sakit”), maka bentuk kristal air akan menjadi tidak indah dan kalau air ini diminum akan memberikan dampak yang kurang bagus terhadap kesehatan tubuh.
Privatisasi sumber mata air Indonesia oleh pihak swasta
Dampak penerapan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Indonesia telah memiliki peraturan (kebijakan) mengenai pengelolaan sumber daya air, termasuk didalamnya mengenai mata air. Mata air merupakan bagian dari sumber air permukaan lainnya, sesuai penjelasan Pasal 35 huruf a.
Jika dilihat dari materinya, UU Sumberdaya Air yang baru memang jauh lebih lengkap ketimbang UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Namun, ada perubahan paradigma yang mendasar dalam penyusunan UU Sumberdaya Air yang baru di mana dalam penyusunan UU Sumberdaya Air tersebut didasarkan atas cara pandang air sebagai barang ekonomi. Perubahan cara pandang inilah yang kemudian membawa perubahan luar biasa dalam pendekatan pengelolaan sumberdaya air dari pendekatan penyediaan menjadi pendekatan permintaan.
Dengan demikian harga menjadi faktor pokok untuk mengontrol permintaan, yang pada akhirnya membuat realokasi penggunaan air pada penggunaan yang memiliki nilai air lebih tinggi. Berdasarkan paradigma pengelolaan sumberdaya air yang dijelaskan di atas, maka ada kesalahan mendasar dari UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terhadap UU Dasar 1945, yaitu air dipandang sebagai barang ekonomi dengan diperkenalkannya hak guna air yang terdiri atas hak guna pakai dan hak guna usaha dan penyelenggaraan oleh swasta (privatisasi).
Sebagai sebuah layanan publik yang sangat mendasar, penyediaan air bagi masyarakat seharusnya menjadi tanggung jawab negara sehingga harus dikuasai oleh negara, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Jika penyediaan sumberdaya air diserahkan kepada swasta (privatisasi), terutama bersumber dari mata air, maka penguasaan negara terhadap air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang.
Secara teoritis, ada banyak definisi tentang privatisasi. Mialnya, Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan privatisasi bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikontrol secara eksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta atau hanya sekadar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalam kegiatan operasional, seperti contracting out dan internal markets.
Dengan definisi tersebut yang dimaksud dengan privatisasi tidak semata-mata diartikan sebagai penjualan saham. Privatisasi juga mencakup model dimana kepemilikan tetap di tangan pemerintah/negara tetapi pengelolaan, pemeliharaan dan investasi dilakukan oleh pihak swasta (dengan model BOT, management contract, konsesi, dan sebagainya).
Dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, penyelenggaraan oleh swasta dapat dilakukan jika pada daerah tersebut belum ada BUMN/BUMD yang menyelenggarakan layanan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakatnya. Dengan aturan tersebut jelas bahwa UU No. 7 Tahun 2004 membuka kesempatan bagi keterlibatan sektor swasta (privatisasi) dalam penyediaan air bagi masyarakatnya. Pemberian kesempatan kepada badan usaha swasta dalam penyediaan air baku bagi masyarakat jelas akan menghilangkan penguasaan negara atas sumberdaya air.
Sebagai sebuah institusi yang berorientasi pada keuntungan, badan usaha swasta tentunya hanya akan mau menanamkan investasinya jika ada jaminan bahwa investasi yang ditanamkan dapat kembali. Untuk itu badan usaha membutuhkan jaminan baik itu terhadap risiko politik maupun risiko kinerja, dan permasalahannya jaminan tersebut dibebankan kepada masyarakat melalui pembayaran kompensasi dari pemerintah dan penyesuaian tarif. Penyesuaian tarif dilakukan dengan menerapkan full cost recovery (tarif biaya penuh), untuk menjamin tingkat pengembalian yang tetap (steady rate of return) bagi pemegang kontrak.
Lebih lanjut, dalam penyediaan air baku bagi masyarakat badan usaha swasta tidak akan mau menanamkan investasinya jika pendapatan masyarakatnya rendah dan secara topografis sulit karena kesemuanya membuat investasi yang mereka tanamkan sangat sulit untuk kembali, sehingga penyediaan air baku untuk masyarakat di daerah terpencil menjadi terbengkalai.
Pada dasarnya pemerintah mempunyai tugas mendasar untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh masyarakatnya, termasuk air minum. Hal ini merupakan salah satu manifestasi dari kontrak sosial antara negara dan warga negara. Dengan privatisasi pengelolaan air minum, jelas telah memindahkan tanggung jawab penyediaan layanan dasar tersebut dari sektor publik kepada sektor swasta. Dengan berpindahnya tanggung jawab penyediaan air, permasalahan selanjutnya adalah perubahan alokasi penggunaan air.
Implikasi lain dari kebijakan privatisasi adalah semakin terabaikannya masyarakat miskin dan kelompok-kelompok terpinggirkan dalam mengakses air bersih. Masyarakat miskin dan kelompok-kelompok terpinggirkan tidak akan terlayani karena mereka tidak memiliki kekuatan politik (perwakilan) dan kekuatan ekonomi untuk membayar harga yang tinggi akibat kebijakan privatisasi.
Pengalihan tanggung jawab untuk menjamin akses masyarakat terhadap air, terutama air bersih dari pemerintah kepada sektor swasta, menyebabkan munculnya praktik komoditifikasi dan komersialisasi air. Dalam perspektif etika lingkungan, memberlakukan air sebagai komoditi dan kemudian meperdagangkannya merupakan sebuah pelanggaran. Privatisasi, pengusahaan- atau apapun namanya, menyiratkan pemberian harga (pricing) pada air. Memberikan harga pada air tentu saja mereduksi nilai utuh dari air itu sendiri.
Contoh kasus dan konflik antara perusahaan swasta dengan masyarakat mengenai sumber mata air
1. Kasus Penyediaan Air PDAM
PDAM sebagai penyedia air minum, khususnya di kota besar, seringkali bertemu dengan masalah yang sama. Semenjak air berubah fungsi menjadi barang ekonomi, penyediaan air tentunya lebih diprioritaskan pada permintaan dengan harga yang lebih tinggi. Berbagai contoh kasus penyediaan air, misalnya di Bandung, semenjak berdirinya gedung-gedung apartemen di Bandung Utara, kuantitas air dari PDAM untuk masyarakat pun menjadi berkurang.
Betapa tidak, tarif air yang ditetapkan untuk apartemen jauh lebih tinggi dari tarif air untuk masyarakat. Akibatnya, masyarakat terpaksa mendapat giliran pemadaman air. PDAM tersebut masih menggunakan mata air sebagai sumber air baku. Namun ketersediaan air yang terbatas, sedangkan permintaan yang terus bertambah, jelas sekali prinsip ekonomi yang berlaku di sini.
2. Kasus Penyediaan Air Minum AMDK
Mirip dengan kasus yang terjadi di atas, di Kabupaten Sleman pernah terjadi masalah serupa. Dikutip dari Tim Advokasi Untuk Rakyat Atas Hak Air (2005), PDAM Kabupaten Sleman membuat MoU (Memorandum of Understanding) dengan perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan) Evita. Kemudian, pada saat yang bersamaan, terjadi konflik antara PDAM Kabupaten Sleman dengan masyarakat Unggul Wadon. Akibatnya, pasokan air PDAM Kabupaten Sleman kemudian berkurang banyak drastis.
PDAM Kabupaten Sleman memiliki lebih 17 ribu pelanggan. PDAM Kabupaten Sleman, kemudian dihadapkan pada satu pilihan, apakah akan memasok air kepada 17 ribu pelanggannya ataukah akan menempati MoU dengan AMDK Evita. Lalu, pada MoU tadi, dilanggar oleh PDAM Kabupaten Sleman, manajemen Evita mengancam akan membawa kasus ini ke pengadilan karena sudah melanggar MoU. Hal-hal semacam ini, yang harus disadari betul pada saat mengeluarkan hak guna usaha. Suatu saat akan berhadapan dengan tuntutan-tuntutan sama seperti yang dilakukan oleh perusahaan air minum dalam kemasan Evita.
Berbeda dengan kasus yang terjadi di Klaten dan Sukabumi, akibat eksploitasi besar-besaran terhadap sumber mata air, maka sumber air untuk masyarakat turun drastis, terutama di musim kemarau. Sehingga pemenuhan untuk air bersih dan air pertanian masyarakat menjadi berkurang. Aqua Danone adalah Perusahaan yang terbanyak menghisap air dan memanipulasi kesadaran akan pentingnya pelestarian sumber mata air. Saat ini Aqua Danone memiliki 14 pabrik dan memonopoli puluhan mata air.
Dari tahun 2001 hingga 2008, Aqua Danone telah menyedot lebih dari 30 miliar liter dan menguasai 80 persen penjualan AMDK. Padarincang di Serang Banten, dan Gekbrong di Cianjur, Jawa Barat, adalah dua daerah yang akan menjadi daerah ekspansi Danone berikutnya. Dampaknya adalah kekeringan bagi masyarakat dan pertanian setempat.
Sumber : burgerawa.wordpress.com