Ourvoice.or.id. Pada awal Februari, sekelompok pemberontak Islam yang menyebut dirinya Tentara Kesultanan Sulu menyerbu wilayah kedaulatan Malaysia, Sabah, yang terletak di daratan Kalimantan. Tujuan mereka: merebut kembali Sabah dan mengembalikannya kepada Sultan Sulu, yang nenek moyangnya menguasai wilayah itu mulai pertengahan abad ke-17 hingga tahun 1878. Fakta di lapangan terbukti lebih buruk dari laporan awal yang diberikan: sebanyak 14 polisi dan pemberontak tewas dalam kontak senjata pekan lalu. Dalam penyergapan lanjutan yang berlangsung Sabtu lalu, lima petugas kepolisian Malaysia tewas.
Klaim Kesultanan Sulu atas Sabah membuat penyerbuan itu seperti layaknya melintasi lorong waktu. Konflik Sulu-Sabah mencerminkan bagaimana semangat nasionalisme menjadi ancaman bagi kedamaian dan kerja sama di suatu kawasan.
Sabah merupakan jalinan kisah kompleks yang melibatkan kolonialisme, pembinaan bangsa, diplomasi dan agama. Negara bagian Sabah selama ini berada dalam cengkeraman satu penguasa ke penguasa lain seperti halnya puing-puing kolonial: dari Sultan Sulu ke Perusahaan Borneo Utara milik Inggris, dan pada 1963, Malaysia. Setiap tahun, Malaysia memberi setoran kepada keluarga sultan sebagai “uang kontrak.”
Situasi politik Filipina bisa menjelaskan peristiwa pemberontakan yang baru saja terjadi, serta sejarah Malaysia. Kesultanan Sulu berlokasi di pulau Mindanao, Filipina bagian selatan, tempat pemberontakan kelompok Islam berkobar selama berpuluh-puluh tahun hingga akhirnya bisa dipadamkan tahun lalu dengan memanfaatkan bantuan Malaysia. Sultan yang berkuasa sekarang, Jamalul Kiram III mengeluhkan bahwa dirinya telah dikesampingkan selama proses negosiasi antara pemerintah Filipina dengan kelompok pemberontak Mindanao.
Serangan dari sang sultan atas Malaysia memberi tiga ancaman: memperkeruh krisis antara Filipina dan Malaysia, mengganggu perjanjian damai atas Mindanao, dan memperkuat kendali kesultanan atas Sabah.
Sejauh ini, Kuala Lumpur dan Manila sama-sama telah menunjukkan tanggung jawab serta bersikap kooperatif demi merintangi sejumlah hal di atas. Presiden Filipina, Benigno Aquino III menolak mengaitkan pemerintah dengan para militan. Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak telah mengupayakan perundingan selama hampir sebulan sebelum memerintahkan kekuatan paramiliter menyingkirkan para penyusup dari kota yang telah mereka duduki sejak awal Februari.
Namun, pertempuran yang terjadi setelah keputusan diambil bisa menyulitkan upaya penyelesaian krisis. Kepulauan sebelah selatan Filipina disesaki para pemberontak Islam yang bisa memberikan dukungan kepada sultan. Malaysia bisa meningkatkan tekanannya atas Filipina agar bisa memberikan desakan lebih kuat kepada para pemberontak. Ancaman bagi perjanjian damai di Mindanao pun akan kian menguat.
Semua isu tersebut menggarisbawahi betapa kompleks masalah nasionalisme di Asia Timur, dengan akar yang menancap pada problem agama serta kenangan perjuangan melawan penjajah. Banyak kelompok di suatu negara bisa menyuarakan retorika nasional untuk mengusik pemerintah dalam negeri atau memusuhi kekuatan asing.
Konflik Sulu-Sabah juga memberi pelajaran bagi pembinaan bangsa di wilayah yang terdiri atas pulau-pulau dan semenanjung. Menyatukan negara-negara modern dari serangkaian kepulauan yang diklaim oleh penguasa setempat dari masa lampau terbukti menjadi seperti kerikil dalam sepatu bagi pemerintah negara-negara Asia.
Laut Cina Selatan, contohnya, diwarnai sengketa antara Cina dan sejumlah negara Asia Tenggara atas Kepulauan Spratly dan Paracel. Sementara itu, hubungan antara Tokyo dan Beijing retak akibat sengketa Kepulauan Senkaku (atau Diaoyu). Jepang pun mesti mengendalikan kelompok lokal yang mencoba melakukan klaim atas kepulauan Dokdo (Takeshima) yang dikuasai Korea Selatan. Lebih jauh ke utara, Rusia baru-baru ini mengumumkan pengembangan kekuatan militer di Kepulauan Kurile yang mereka rebut dari Jepang pada 1945.
Sengketa-sengketa seperti ini adalah salah satu alasan betapa sulitnya membangun kerjasama multilateral di Asia. Kelompok baru seperti Forum Regional Asean masih tak berdaya menangani isu-isu tersebut. Cina telah menolak perundingan multilateral atau abritrasi internasional dalam menyelesaikan masalah. Sementara, tak satupun pemerintah yang bersedia menarik klaimnya, dengan alasan takut akan reaksi negatif dari dalam negeri dan hilangnya pengaruh sebuah negara di kawasan tersebut.
Amerika Serikat (AS) memiliki dua peran penting dalam masalah ini. Pertama, AS telah menjalin hubungan dengan sejumlah negara Asia dan telah mengerahkan sejumlah kapal perang di kawasan tersebut. Ini memberikan jaminan bahwa Washington tak akan membiarkan stabilitas Asia runtuh. Kedua, AS juga menjadikan resolusi damai atas sengketa-sengketa tersebut sebagai bagian penting dalam kebijakannya di Asia.
Namun, sejumlah negara di Asia khawatir akan dampak dari pemangkasan anggaran terhadap keberadaan militer AS di Asia. Selain itu, sekutu-sekutu AS semakin tidak puas dengan ketidakmauan Washington untuk mendukung mereka dalam sengketa. Beberapa negara, seperti Filipina, sedang mempertimbangkan apakah mereka harus mendekati Cina atau mencari mitra baru, seperti Jepang.
Ketidakpastian adalah satu-satunya hal yang pasti. Sengketa kedaulatan seperti konflik Sabah berisiko semakin memanas di tengah era persaingan nasionalisme. Tentara Kesultanan Sulu kemungkinan tidak akan menyebabkan perang antara Filipina dan Malaysia. Namun konflik tersebut menjadi satu lagi gangguan terhadap berkembangnya hubungan antara bangsa-bangsa Asia yang stabil dan penuh kepercayaan satu sama lain. Gerakan yang dilancarkan oleh Kesultanan Sulu adalah satu lagi bukti bahwa kawasan tersebut masih jauh dari mencapai satu kesatuan.
–Michael Auslin, pemerhati dari American Enterprise Institute di Washington dan kolumnis wsj.com.
Sumber : wsj.com