Search
Close this search box.

Hartoyo: Surat Untuk Calon Hakim MK- Bapak Arief Hidayat

Hartoyo

Kepada Yth.,
Bapak Arief HidayatCalon Hakim Mahkamah Konstitusi Periode 2013-2018

di

Tempat

Assalamualaikum wrb.

Pak Arief, sebelumnya saya ucapkan selamat atas terpilihnya bapak sebagai hakim konstitusi periode 2013-2018. Menurut informasi yang saya baca dari berbagai media, salah satu alasan DPR-RI memilih bapak karena bapak menolak pernikahan sejenis yang tidak sesuai dengan UUD 1945 atau sebagai budaya barat.

Pak Arief, perkenalkan nama saya Hartoyo (37), laki-laki yang lahir dan besar di kota Binjai-Sumut dalam keluarga Muslim Muhammadiyah. Saya adalah penyuka sejenis (gay), sejak saya merasakan cinta pada pihak lain (akil baligh) sampai sekarang tidak pernah merasakan mencintai perempuan. Cintaku hanya kepada laki-laki sejauh yang saya alami.

Pak Arief, kalau ditanya mengapa saya gay? Saya sendiri tidak tahu, mungkin karena genetis ataupun mungkin karena hal lain. Mungkin perasaan cinta saya kepada laki-laki sama dengan perasaan bapak ketika mencinta pihak lain. Ini tumbuh dan lahir begitu saja.

Pak Arief, saya tidak pernah ke negeri barat manapun dan saya sudah merasakan suka sejenis bahkan sebelum saya benar-benar mengenal apa itu Indonesia dan apa itu Islam. Jadi, saya merasa sudah “menjadi” homoseksual bahkan sebelum saya tahu bahwa homoseksual dipandang sebagai sebuah hal yang berdosa dalam ajaran agama.

Pak Arief, kalau pernikahan sejenis dianggap sebagai budaya barat dan melanggar konstitusi Indonesia tetapi mengapa di barat sendiri persoalan pernikahan sejenis masih menjadi perdebatan sampai sekarang? Contohnya di Amerika Serikat. Apakah kemudian pihak penolak perkawinan sejenis di barat akan mengatakan bahwa homoseksual produk timur-selatan atau utara?  Justru ketika dalam sejarah negara-negara di barat pernah mengkriminalkan pasangan sejenis, justru nusantara merayakan keberagaman seksualitas itu dalam kebudayaannya.

Pak Arief, saya pernah mengalami penyiksaan dan hujatan di tahun 2007, tepatnya di Aceh oleh polisi dan masyarakat hanya karena saya memaduh kasih sejenis di rumah kontrakan saya.  Para pelaku menyeret, memukul, memaki, menodongkan senjata dan mengencingi kepala saya dan pasangan saya hanya karena kami pasangan sejenis.  Pasangan yang tidak mereka setujui.  Rasa takut akan penyiksaan itu sampai sekarang masih terus ada, takut mengalami hal yang sama lagi walaupun saya sudah menetap di Jakarta.

Pak Arief, tentu saya sangat hormati sikap pribadi bapak tentang homoseksual. Tapi bapak perlu tahu bahwa ada jutaan homoseksual di Indonesia yang telah berkarya dan mengharumkan negeri ini dari berbagai profesi baik di nasional maupun international. Bahkan mungkin mereka adalah bagian dari tim kerja bapak selama ini. Di sinilah bagaimana bapak harus bersikap antara nilai pribadi dengan ruang publik yang didalamnya ada beragam nilai individu yang harus juga dihormati.

Pak Arief, kalau saya dan teman-teman sesama homoseksual dilarang bercinta sejenis karena dianggap melanggar konstitusi bagaimana dengan hidup saya dan jutaan teman-teman homoseksual di Indonesia, kami harus ke mana? Apakah kami tidak berhak meminta kepada negara untuk hidup tenang dan damai bersama pasangan sejenis, seperti yang didapat oleh heteroseksual selama ini? Bukankah kami juga anak Indonesia, membayar pajak dan ikut membangun negeri ini.

Pak Arief, apakah sebuah pelanggaran konstitusi ketika saya meminta negara melindungi saya dan pasangan saya dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan dari pihak lain? Bukankah UUD 1945 pasal 28I (2) menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Pak Arief, saya dan teman-teman homoseksual di Indonesia harus selalu waspada karena setiap saat ancaman atau serangan akan selalu ada buat kami sebagai homoseksual. Apalagi yang dari ekonomi kelas menengah ke bawah. Mungkin bapak bersama istri dan heteroseksual yang menikah tidak pernah merasakan dan mengalami apa yang saya alami dan rasakan. Itu semua karena negara meninggalkan kami sebagai homoseksual.

Pak Arief, kalau barat dianggap buruk, bagaimana dengan praktek poligami, pernikahan anak, sunat perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga yang ada dan mengakar dalam masyarakat timur (Indonesia)?  Pak, apakah di dunia ini masih ada sebuah budaya yang “bersih” dan berdiri sendiri tanpa saling mempengaruhi antara barat-timur-utara-selatan?

Pak Arief, tanpa bermaksud menggurui sekedar informasi saja bahwa pasangan sejenis sudah ada di Indonesia jauh sebelum Indonesia ada. Misalnya praktek-praktek yang mengidentifikasi soal keberagaman seksualitas seperti budaya Bissu, Warok-Gemblak, Mairil dalam dunia pesantren, Ludruk, sejarah penari Lengger, syair-syair Abu Nawas dan masih banyak lagi kebudayaan Indonesia yang menunjukan adanya praktek pasangan sejenis. Bukankah itu ada sejak dulu, tentu kebudayaan itu bukan kebudayaan barat.

Terakhir pak Arief, homoseksual ada di sekeliling kita, suka atau tidak suka, inilah fakta yang ada sejak jaman dulu sampai sekarang.  Mereka mungkin saja orang terdekat dari hidup kita, anak kita, adik kita, kakak kita, cucu kita atau teman dekat kita yang kadang kita tidak empati soal itu.  Mereka bukan orang-orang yang dari barat tetapi mereka bagian dari diri kita.

Sekali lagi, selamat atas pekerjaan baru bapak sebagai hakim konstitusi, semoga Allah SWT selalu memberikan kemudahan dalam hidup bapak dan keluarga dalam menjalani hidup untuk selalu menebarkan kasih dan keadilan bagi setiap manusia.  Terakhir saya meminta maaf kalau ada kata-kata saya yang kurang berkenan dalam surat ini. Amien.
Wasalam

Hartoyo
Email : hartoyomdn@gmail.com
Mobile : 085813437597