Search
Close this search box.
Rumah pengikut aliran Syiah yang dibakar massa di Sampang, Madura. (AFP/Getty Image)

Ourvoice.or.id. Ketakutan terbesar masyarakat penganut Syiah di Sampang, Madura, akhirnya terjadi pada 20 Agustus 2012. Pagi itu, ratusan orang yang mengaku sebagai pengikut Sunni menyerang kampung itu, membakar 50-an rumah, menewaskan seorang pria, dan mengakibatkan luka serius pada warga lainnya.

Kepolisian setempat, yang sebelumnya telah mendapat informasi mengenai rencana serangan itu, hanya terpaku di lokasi kejadian dan menolak untuk melerai. Bupati Sampang membela para petugas polisi yang dianggap gagal memberikan perlindungan kepada minoritas Syiah. Ucapnya, “Saya tidak peduli tentang masalah hak asasi manusia selama saya melindungi orang-orang yang telah memilih saya sebagai pemimpin mereka.”

Kengerian yang mencekam penganut Syiah Sampang bertolak belakang dengan klaim yang diajukan pemerintah Indonesia mengenai jaminan kebebasan beragama sesuai Undang-undang Dasar. Laporan terbaru dari Human Rights Watch yang dirilis pada Kamis menunjukkan peningkatan aksi intimidasi, ancaman, dan kekerasan atas kaum agama minoritas. Menurut laporan itu, respons pemerintah lemah atau bahkan nihil.

Kelompok minoritas itu mencakup sejumlah aliran Kristen Protestan, Muslim Syiah, dan Ahmadiyah. Mereka umum dijadikan target aksi oleh kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) yang mampu memobilisasi massa. Para “pengunjuk rasa” itu mengepung tempat ibadah kaum minoritas. Para pemimpin kelompok semacam itu mengatakan bahwa mereka membela umat Islam dari kaum ” kafir” dan ” murtad.” Massa mengganggu jalannya peribadatan dengan menggunakan pengeras suara serta mengonggokkan bangkai hewan dan kotoran di muka rumah ibadah.

Taktik yang diterapkan para militan Islam menjadi kian kasar. Menurut Setara Institute, lembaga yang memonitor kebebasan beragama di Indonesia, kaum minoritas agama menjadi korban serangan fisik sebanyak 264 kali pada 2012, naik dari tahun 2010 sebanyak 216 kali.

Peristiwa paling keji dialami kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Pada 6 Februari 2011, sekitar 500 anggota kelompok militan Islam menyerang 21 jemaah Ahmadiyah ketika tengah beribadat di sebuah rumah. Dalam peristiwa itu, tiga orang tewas dan lima lainnya mengalami luka parah. Pengadilan menjatuhkan hukuman kurungan selama tiga hingga enam bulan bagi 12 pelaku.

Ironisnya, pengadilan yang sama juga menjatuhkan hukuman kurungan enam bulan terhadap seorang penganut Ahmadiyah yang berusaha membela dirinya serta kelompoknya. Ketika opini ini ditulis, hampir dua tahun setelah serangan, polisi belum juga mengumumkan hasil penyelidikan internal atas serangan tersebut.

Pemerintah memiliki respons lemah terhadap intoleransi ini. Bahkan, pada titik terburuk, pemerintah punya andil. Para pejabat dan pasukan keamanan sering memfasilitasi aksi pelecehan terhadap kelompok minoritas agama. Dalam beberapa kasus serangan, aparat bahkan menyalahkan korban. Pihak berwenang mengeluarkan pernyataan diskriminatif yang gamblang, menolak mengeluarkan izin pembangunan rumah ibadah, dan menekan kelompok minoritas agama untuk hengkang ke lokasi baru.

Pihak kepolisian kerap berpihak kepada kelompok Islam garis keras dengan mengorbankan hak asasi kelompok minoritas demi menghindari bentrokan. Dalam sejumlah kasus, polisi berkongsi dengan para penyerang atas alasan keagamaan, ekonomis, atau bahkan politis. Dalam kasus lain, para petugas tidak mendapat arahan yang jelas dari atasannya atau bahkan merasa kalah jumlah dari para penyerang. Dari semua kasus, terlihat bahwa reaksi polisi mencerminkan kegagalan kelembagaan untuk bisa menegakkan hukum dan menindak pelaku kekerasan.

Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang berada di bawah Kejaksaan Agung, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan surat keputusan dan fatwa mengenai anggota minoritas agama. Lembaga-lembaga ini mendesak adanya penuntutan terhadap “kelompok murtad.” Kebijakan mereka bertolak belakang dengan Perjanjian Internasional mengenai Hak Politik dan Sipil yang diratifikasi Indonesia pada 2005.

Sejauh ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menjadi bagian dari masalah ini. Kadang, ia melontarkan retorika dukungan terhadap toleransi antarumat beragama. Namun ia gagal menerjemahkannya ke dalam aksi tegas yang menopang aturan hukum dan mendukung hak-hak minoritas agama. Presiden Yudhoyono tidak memberikan sanksi terhadap anggota pemerintahannya yang mengampanyekan kekerasan seperti yang dilakukan oleh Menteri Agama Suryadharma Ali. Pada sebuah acara politik di bulan Maret 2011, Suryadharma Ali mendesak pemerintah “melarang keberadaan Ahmadiyah.”

Reaksi lemah dari Presiden Yudhoyono membuat kelompok garis keras semakin berani. Presiden berhak dan harus mencabut peraturan yang memfasilitasi diskriminasi agama. Presiden juga mesti memperkarakan semua pihak yang menebar ancaman atau melakukan tindak kekerasan terhadap kaum minoritas agama. Untuk membuktikan keseriusannya, ia perlu mengadopsi pendekatan “zero tolerance” bagi pelaku premanisme agama, termasuk menjatuhkan sanksi terhadap pejabat pemerintah seperti Suryadharma Ali.

Ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengunjungi Jakarta pada November 2010, ia memuji “semangat toleransi beragama yang disematkan ke dalam Undang-undang Dasar. Hal itu menjadi salah satu karakteristik bangsa yang menonjol dan inspiratif.” Nyaris tiga tahun kemudian, dengan tinggal diam, pemerintah melecehkan pernyataan itu. Hanya aksi kuat dari pemerintah untuk membela kebebasan beragama yang bisa membalikkan arah.

Phelim Kine adalah deputi direktur Human Rights Watch wilayah Asia.

Sumber : wsj.com