Search
Close this search box.

WARIA ISTIMEWA

Oleh : Fuad Mahfud Azuz*

Ourvoice.or.id – Siang itu agak mendung, kesempatan istimewa datang. Saya dan teman-teman, peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan-Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM berkunjung ke Pesantren Waria “Senin-Kamis” Al-Fatah” di Kampung Notoyudan Yogyakarta.

Kami diterima pimpinannya, mbak Maryani.  Maryani ditemani mbak Oky, mbak Ruly dan beberapa lainnya. Maryani menggunakan abaya (pakaian panjang terusan) dan berjilbab. Ia berumur sekitar 50-an tahun. Maryani sudah melalui berbagai profesi yang selama ini kebanyakan kita stigmakan pada mereka. Tanpa malu, Maryani mengaku pernah malang melintang di dunia “pelacuran Waria” malam.  Namun kemudian ia melepas diri dari kehidupan malam. Tahun 2008, ia bersama (Alm) KH. Drs. Hamrolie Harun, MSc membuka pesantren ini.

Tidak seperti layaknya pesantren kebanyakan, di pesantren Waria hanya dua hari kegiatan pesantren dalam sepekan. “Mulai sore, kami sudah baca Shalawat Nariyah, dilanjutkan dengan Shalat Magrib, lalu baca surah Al-Fatihah beratus kali, ShalatIisya, kegiatan Zikir dan ceramah berjalan terus hingga Shalat Hajat tiba.  Kami juga Shalat Tahajjud, Shalat Subuh dan terakhir Shalat Dhuha, baru kami kembali ke rumah dan tempat kerja masing-masing”, ungkap Maryani.

“Waria bukan pilihan kami. Kami juga ingin normal”. Kata itu tegas keluar dalam diskusi kami dari Maryani. Andai disuruh untuk memilih, semua manusia menginginkan terlahir dengan segala kelebihan dan “normal”, ungkap Maryani lagi.  Nah di kelompok Waria juga ada pertentangan yang cukup besar untuk menerima keadaan mereka. Demikian kalimat-kalimat itu meluncur dalam dialog kami bersama anggota pesantren tersebut.

“Kami juga punya iman”. Kunci Mariyani. Sesuai namanya, pesantren “Senin-Kamis”, maka pesantren ini hanya berkegiatan di malam Senin dan malam Kamis.

PIKIRAN MIRING

Untuk sementara, saya melepas stigma lama yang telah membentuk pikiran, saya masuki warna baru tanpa menyinggung soal pandangan agama saya, sah tidaknya shalatnya, mereka pake mukena atau sarung dan songkok. Tanpa mendudukkan Waria sebagai kelompok marginal, saya mencoba membaca mereka sebagai manusia yang diciptakan.

Menurut penuturan mbak Ruly (yang mengaku lebih perempuan) jumlah Waria nusantara sekitar 5 juta orang. Umumnya Waria bekerja di salon, baik sebagai pemilik maupun karyawan. Sebagian menjadi “manusia malam” dengan berbagai predikat miring dari masyarakat. Kehidupan Waria masih tidak diterima masyarakat umum. Hal ini kemudian lebih diperparah dengan kualitas pendidikan Waria yang umumnya rendah.

Catatan menarik Ruly, bahwa komunitas mereka lemah untuk memperjuangkan hak. Dua hal yang saling mengkait antara stigma miring masyarakat dan kualitas hidup Waria membuat persoalan Waria makin runyam. Persoalan besar mereka adalah pengakuan. Pengakuan keluarga atas keberadaan mereka, termasuk kesulitan pengakuan jenis kelamin ketika mengurus administrasi kependudukan. Tidak heran bila kemudian banyak waria tidak memiliki KTP (kartu tanda penduduk).

Setidaknya, penuturan Ruly dan Maryani, membuka gambaran saya, selama ini mereka demikian asing dalam kehidupan keseharian saya. Tampilan seronok, centil, menor, ternyata juga bagian dari kamuflase menutupi sejumlah masalah yang membelit. Mereka berusaha untuk terbebas, melalui cara mereka sendiri. Karena tidak banyak simpati yang diterima dari publik kepada Waria.

Agak berbeda dengan apa yang kita dapati di Kabupaten Pangkep dan Wadjo  (Sul sel). Penganut kepercayaan Bugis Kuno pra Islam menghormati Bissu. Bissu adalah seniman yang juga “pendeta”. Umumnya mereka adalah pria yang bergaya feminim (calabai) dan dalam kehidupan keseharian selalu tampil sebagai Wanita. Walaupun Bissu digolongkan sebagai Waria, mereka bukan Waria biasa. Untuk menjadi Bissu, seorang Waria harus ditasbihkan (irebba) terlebih dulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran dalam upacara-upacara ritual. Mereka juga memiliki kedudukan dalam masyarakat sebagai penjaga pusaka keramat (arajang) di istana yang dipercayai dihuni oleh roh-roh nenek moyang. Kini, jumlah Bissu di Sulawesi Selatan sekitar 100 orang yang tersebar di Kabupaten Bone 40 bissu, Soppeng 8 bissu, Wajo 12 bissu dan Pangkep ada 22 bissu.

Para Peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan CRCS-UGM di Pesantren Waria (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

BERLABUH PADA AGAMA

Saya jadi terenyuh ketika Maryani dan Ruly menuturkan kegigihan mereka bersama Kyai Hamrolie berjuang mengangkat kehidupan kaum Waria. Sesuatu yang selama ini saya acuh. Pendekatan agama yang mereka gunakan menjadi luar biasa. Para anggota yang awalnya susah diajak bergabung di pesantren, perlahan mulai terbiasa dengan acara pesantren “Senin-Kamis”. Kiyai Hamrolie sama sekali tidak risih ketika mereka mengaku masih “menjual” diri sebagai “Waria malam” yang kemudian ikut pengajian, shalat, zikir dll.
Saya menangkap point penting yang menarik yang bisa mendukung keberadaan pesantren Waria Al-Fatah di Jogja. Pertama, karena ada sosok Maryani; kedua, sosok Kiyai Hamrolie, ketiga, karena lokasi Yogyakarta yang welcome pada semua kalangan; Keempat, juga karena pendekatan issue pesantren sehingga mudah diterima masyarakat.

Terlepas dari keempat hal pendukung keberadaan pesantren Waria di atas, saya jadi teringat kaum Waria yang biasa “mangkal” di seputaran pasar Mardika atau di Pasar Lama Ambon. Di antara mereka, siapa yang mampu memerankan tokoh Maryani, siapa pula Ruly.

Terakhir, sebelum tinggalkan pesantren Waria Al-Fatah itu, saya sempat mengingat salah satu hadist riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahawa Rasulullah bersabda, “Ketika seekor anjing mengelilingi sebuah sumur dan hampir mati kerena haus, seorang pelacur dari Bani Israil melihatnya, lalu dia menanggalkan sepatu dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah mengampuni dia kerana perbuatannya itu”.
Ah…. , rekreasi spiritual yang mengagumkan siang itu. Hanya Allah Yang Maha mengetahui termasuk golongan mana Maryani, Ruly dan teman-teman pesantrennya.

Yogyakarta, 14 Februari 2013

*Guru Ngaji di Ambon dan Peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan-CRCS-UGM