Search
Close this search box.
Ist : DOK/OV/2012/Yatna Pelangi

Ourvoice.or.id. Sungguh tidak mudah menjadi waria, lebih-lebih ketika beridentitas muslim. Lihatlah bagaimana masyarakat memandang waria. Pun, hal ini seolah diamini oleh agama. Para agamawan bahu membahu melengserkan identitas gender yang satu ini. Tidak kurang dari perkumpulan pesantren sejawa timur ikut serta mengharamkan kehadirannya. Salon, tempat mereka mengais rejeki diharamkan. Di jalan raya, tempat waria mengamen, mereka tidak jarang hanya mendapat kepalan tinju dari aparat karena dianggap mengganggu laju lalu lintas.

Sebenarnya, sebagian orang tua mereka juga tidak menghendaki kehadiran waria. Novi misalnya, oleh keluarganya diminta, untuk tidak mengatakan dipaksa, agar meninggalkan rumah. Begitu juga Nur Kaela, ia pergi mengendarai sepeda motor dari lombok menuju Jogja. Untunglah sesampainya di jogja, ada pesantren waria yang bisa menampungnya. Hasrat mencari ilmunya pun tersalurkan.

Pesantren waria adalah satu-satunya pesantren yang membina waria. Sebenarnya bukan hanya waria, tapi juga gay, lesbi dan PSK. Di sana mereka dibina untuk mengenal agamanya dan kemudian beribadah. Dalam pembinaan keagamaan ini, ada dua periode. Pertama, pesantren ini sesuai dengan pemberitaan di koran “Kedaulatan Rakyat” bertujuan untuk melelakikan waria. Waria pun berontak dan hampir membuat pesantren ini bubar. Hening sesaat tanpa aktivitas. Pengasuh pun terganti.

Kedua, hanya berupa pembinaan keagamaan tanpa berupaya menggiring waria menjadi lelaki. Bahkan pembelaan terhadap waria, pada periode ini, khususnya yang berhubungan dengan teks keagamaan mulai disorot. Teks-teks yang anti waria ditelanjangi untuk kemudian menyelundupkan waria ke dalamnya. Hal ini, tidak hanya memberi ruang bagi kehadiran waria tapi juga mendorong semangat baru untuk berani eksis setelah mentalnya ditimpa pelecehan dan diskriminasi. Hasilnya pun tampak. Waria makin bersemangat dalam beribadah dan mengikuti kajian-kajian keagamaan.

Dalam praktek peribadatan shalat, pakaian waria terbagi dua; bermukena dan berpeci. Pakaian ini sangat bergantung dengan “rasa nyaman” seorang waria. Jika merasa nyaman memakai mukena maka dia memakainya. Begitu juga sebaliknya. Sementara dalam shafnya, yang memakai mukena berada di belakang yang memakai peci. Jika shafnya penuh maka yang berpeci dan bermukena nyampur jadi satu.

Untuk menambah amal ibadah, waria biasanya tidak hanya melaksanakan ibadah wajib saja. Di antara mereka ada yang rajin beribadah sunnah seperti shalat tahajud, shalat dhuha, dan bakti sosial. Bagi mereka, ibadah itu penting walaupun dianggap tidak sah oleh masyarakat umum. Bahkan ibadah-ibadah yang mereka lakukan hingga saat ini, baik yang sunnag maupun yang wajib, merasa diterima oleh Allah. Hal ini berangkat dari sebuah keyakinan mereka yang doa-doanya dikabulkan.

Waria memang sadar bahwa kehidupannya tidak menentu dan seolah tidak konsisten. Shalat tidak pernah ditinggalkan, pelacuran pun masih tetap berjalan. Antara shalat dan pelacuran merupakan dua kebutuhan yang esensial bagi waria. Shalat adalah tempat bercengkrama dengan Tuhan secara individual dan pelacuran adalah tempat bersosialisasi dan mencari sesuap nasi. Namun dalam konteks pelacuran ini, tidak semua waria melacurkan diri. Ada juga waria yang hanya melakukan hubungan seksual hanya dengan pasangannya semata yang dilandasi dengan cinta. Bagi waria yang seperti ini, seks yang bertujuan mencari harta adalah dosa. Sebaliknya seks yang dilakukan atas dasar cinta merupakan seks suci yang tidak berdosa.

Perbedaan pandangan tentang pelacuran ini tidak mengakibatkan keretakan dalam relasi sosial kewariaan. Tidak ada cibiran dan hinaan antar mereka. Menurutnya, pandangan tentang seks setiap orang tidak harus sama. Menghormati antar pandangan itu merupakan jalan terbaik dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Bahkan saling menguatkan antara satu dengan yang lain tanpa harus memaksakan pendapatnya sendiri. Karena setiap waria memiliki perjalanan panjang dalam pemaknaan dirinya.

Pemaknaan diri yang dimaksud berupa kesiapan-kesiapan menampilkan diri di hadapan publik sesuai dengan jiwanya atau justru bersembunyi dibalik simbol aksesoris. Lihat saja misalnya, tidak semua wari memakai baju perempuan walau mereka merasa dan meyakini dirinya sebagai wanita. Maka pakaiannya pun berbeda. Bagi mereka kewariaan tidak ditentukan oleh baju dan aksesoris yang menempel melainkan oleh jiwa.

Sekalipun waria merasa dirinya sebagai perempuan, sebagian waria tidak ingin melakukan operasi kelamin. Alasannya jelas, karena agama melarang mengganti apa yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Tubuh adalah pemberian Tuhan yang tidak boleh diubah dan diganti kecuali darurat. Bahkan sebagian waria yang lain menyebutkan, menolak kewariaan adalah dosa besar karena menghianati pemberian Tuhan tersebut. Pendapat waria ini didasarkan bahwa waria adalah takdir Tuhan.

Terakhir, apapun itu, pendapat waria tentang agama merupakan ijtihad kontemplatif yang dilakukan tidak di sebentar waktu. Perjalanan hidupnya beserta hinaan dan cacian serta kebutuhannya akan Tuhan merupakan buku ajar yang tidak pernah tuntas ditekuni dibaca. Pendapat itu mandiri sebeda apapun dengan pandangan kebanyakan. Menggugurkan pendapat waria tersebut sama dengan menyeret waria pada perjalanan hidupnya dari awal untuk memunguti kembali setiap bulir perasan perasaan dan pikirnya.

Sumber : fahmina.or.id