Ourvoice.or.id. Beberapa bulan terakhir para aktivis buruh menggelar sejumlah unjuk rasa di beberapa kota menuntut kenaikan upah minimum regional (UMR). Namun, maraknya demonstrasi mengarah pada situasi yang salah arah.
Jika para politikus bersungguh-sungguh memperbaiki kondisi penduduk miskin, mereka harus memusatkan perhatian pada revisi undang-undang perburuhan. Selama ini, aturan tersebut melindungi lapangan kerja formal dengan mengorbankan pekerja sektor informal, yang mencakup sembilan dari 10 warga Indonesia.Mereka yang disebut terakhir itu tenggelam dalam keriuhan ketika ribuan anggota serikat buruh membanjiri jalanan Jakarta dan menyebabkan tersendatnya arus lalu lintas, seperti yang bisa terlihat November tahun lalu dalam sebuah demonstrasi menuntut kenaikan gaji. Setelah menjadi peristiwa tahunan, hiruk-pikuk massa semacam itu telah mendorong sejumlah pemerintah daerah menaikkan UMR.
Kenaikan UMR di seluruh Indonesia rata-rata 10% per tahun selama empat tahun belakangan. Pada tahun 2013, sekitar 25 provinsi, kabupaten dan kotamadya di tanah air sepakat menaikkan UMR rata-rata sekitar 30%. Bahkan, ada daerah yang menaikkan UMR hingga 50%. DKI Jakarta, pusat industri dan jasa, menyetujui angka kenaikan sebesar 44%. Sehingga, UMR di ibu kota kini menjadi Rp2,2 juta per bulan. Semangat serikat buruh meningkat. Di masa mendatang, skala demonstrasi serta tuntutan para pengunjuk rasa dipercaya akan membesar.
Kenaikan ini merupakan kabar baik bagi para anggota serikat buruh yang bekerja di pabrik dan perkantoran, bukan 90% lainnya yang bekerja di sektor informal—seperti kedai minuman pinggir jalan atau pabrik dan industri kecil lain yang tidak memiliki data administrasi yang baik.
Golongan pekerja itu membanting tulang tanpa mendapat upah tinggi atau jaminan kerja yang didapatkan oleh rekan-rekan mereka di sektor formal. Tujuan kebijakan seharusnya memungkinkan mereka berpindah ke sektor pekerjaan formal. Namun, kenaikan UMR malah semakin mempersulit transisi itu.
Masalahnya terletak pada undang-undang mengenai ketenagakerjaan yang disahkan tahun 2003. Peraturan itu menjadi hambatan bagi perusahaan untuk memecat karyawan menyusul keharusan membayar kompensasi sebesar 32 bulan gaji, salah satu nilai pesangon terbesar di dunia.
Tiap kali UMR naik, nilai pesangon yang harus dibayarkan juga mengikuti. Kenaikan UMR dengan demikian akan menjadikan ongkos pemecatan karyawan membengkak, sehingga insentif untuk menarik pekerja dari sektor informal pun tak lagi tersedia. Jaminan kerja hanya didapatkan oleh golongan yang telah bekerja di sektor formal.
Namun, adanya perlindungan kerja itu tidak serta-merta meningkatkan produktivitas, apalagi meningkatkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia secara menyeluruh. Kajian Bank Dunia pada tahun 2010 menunjukkan kenaikan UMR sebesar 10% mengurangi angka tenaga kerja di sektor formal sebesar 1%. Saat ini, jumlah pekerja di sektor formal sekitar 44 juta orang. Jadi, jika UMR mengalami kenaikan sebesar 30%, jumlah tenaga kerja yang bisa terpangkas sebesar 1,3 juta orang.
Undang-undang ketenagakerjaan itu adalah ongkos yang sangat mahal sehingga banyak perusahaan yang berupaya menyiasatinya. Mereka tidak membayarkan UMR. Bagi yang masih mematuhi aturan bisa bermanuver dengan mempekerjakan tenaga kerja “sementara” tanpa kontrak.
Strategi semacam itu tentu saja bukan sesuatu yang ideal karena para pekerja “sementara” mustahil mendapat kenaikan gaji ataupun mendapat pelatihan keterampilan. Gaji rata-rata pekerja pabrik di Jakarta tahun 2011 nilainya hampir sama dengan UMR. Namun, para pekerja dipekerjakan di bawah kontrak.
Praktik itu tak lama lagi akan berakhir. Peraturan baru pemerintah membatasi tenaga kerja “sementara” ini hanya di beberapa bidang pekerjaan tertentu. Maksud peraturan baru itu memang baik: mendorong perusahaan agar mempekerjakan orang dengan kontrak jangka panjang yang memenuhi UMR, atau bahkan lebih tinggi.
Tapi hasilnya agaknya akan bertolak belakang. Ketika dipadukan dengan perundang-undangan yang berlaku serta politik buruh, pembatasan lapangan kerja “sementara” jsutru akan semakin mengurangi penyerapan tenaga kerja di sektor formal. Batasan itu bakal memperlebar jurang antara upah sektor formal dan informal. Usaha yang membutuhkan banyak buruh akan terganggu. Perubahan struktural menuju industri yang bisa bersaing secara global juga akan mengalami kendala.
Indonesia masih memiliki waktu untuk memastikan sejumlah skenario itu tidak menjadi kenyataan. Untuk memulainya, pemerintah harus merevisi kebijakan pesangon agar bisa lebih memenuhi standar internasional.
Selanjutnya, UMR harus disesuaikan secara otomatis per tahun dengan mempertimbangkan inflasi tahunan di tingkat lokal. Undang-undang ketenagakerjaan tahun 2003 juga menetapkan dimungkinkannya negosiasi gaji antara serikat pekerja, perusahaan, dan pemerintah daerah. Pasal itu harus dihapus karena serikat buruh dan politikus biasanya bersatu menyerang perusahaan.
Jakarta tengah menikmati lonjakan ekonomi sehingga pemerintah pusat mungkin tidak memandang revisi kebijakan perburuhan sebagai hal penting. Modal asing di industri manufaktur meledak. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk sebagai yang tercepat di Asia. Masa-masa indah ini menyembunyikan banyak dosa.
Namun, seiring berjalannya waktu, kebijakan pasar tenaga kerja yang hanya membela sedikit pihak akan menghambat pertumbuhan. Kebijakan itu juga dapat berujung kepada ketidakstabilan sosial. Kenaikan ketimpangan pendapatan di Indonesia merupakan yang tercepat di dunia. Pada tahun-tahun mendatang, bukan golongan 10% yang bersatu dalam serikat buruh yang akan turun ke jalan, melainkan kelompok 90% yang tidak mampu diserap oleh sektor kerja formal.
Vikram Nehru adalah senior associate dan pemegang posisi Bakrie Chair for Southeast Asian Studies di lembaga kajian strategis Carnegie Endowment for International Peace.
Sumber : wsj.com