Ourvoice.or.id. Setelah 14 tahun, Presiden Filipina sahkan UU pemberian ganti rugi pada korban pelanggaran HAM pada masa pemerintahan Presiden Marcos
Dewan Perwakilan Rakyat Filipina memerlukan waktu 14 tahun untuk meloloskan berbagai bentuk proposal yang akan mendorong pemerintah mengakui korban-korban hak asasi manusia yang mengalami ketidakadilan di bawah pemerintahan diktator Ferdinand Marcos pada 1970an dan 1980an.
Anggota Kongres Walden Bello mengatakan undang-undang itu disahkan tahun ini karena banyak legislator menyadari banyak para korban menua, meninggal dunia, dan sakit-sakitan.
“Sangat menyenangkan bahwa kita akhirnya mampu meloloskannya lewat kedua majelis di Kongres. Juga, saya pikir itu sangat signifikan karena Filipina adalah salah satu dari sedikit pemerintah yang telah menetapkan ganti rugi bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia yang telah diakui oleh lembaga-lembaga negara,” kata Bello.
Undang-undang baru itu mengalokasikan 250 juta dolar sebagian ganti rugi bagi para korban atau keluarga korban, yang dibunuh, disiksa atau mengalami ketidakadilan lainnya oleh penegak hukum dan militer dalam pemerintahan Marcos.
Keluarga Marcos terus menyangkal adanya pelanggaran hak asasi manusia di bawah pemerintahan Ferdinand Marcos.
Marie Hilao-Enriquez adalah ketua Selda, kelompok advokasi korban yang melobi agar undang-undang itu disahkan. Dia adalah seorang aktivis semasa keadaan darurat militer bertahun-tahun dan dijebloskan ke penjara di mana ia melahirkan anak pertamanya. Dia melarikan diri, tetapi adiknya kemudian ditahan dan dibunuh.
Hilao-Enriquez mengatakan kelompok ini bahagia setelah akhirnya diakui oleh pemerintah. Tapi dia mengatakan perjuangan belum berakhir.
“Ini adalah sebagian kecil dari keadilan, ganti rugi dan pengakuan karena bagi kami keadilan sepenuhnya berarti para pelaku harus mengakui dosa-dosa yang mereka lakukan. Mereka harus meminta maaf. Mereka harus diadili karena dosa-dosa mereka,” kata Hilao-Enriquez.
Dana ganti rugi itu berasal dari sebagian warisan Marcos yang diduga berasal dari harta haram yang dibekukan oleh pemerintah Swiss dan dikembalikan ke pihak berwenang Filipina.
Presiden Benigno Aquino III mengesahkan undang-undang pengakuan dan ganti rugi korban hak asasi manusia pada ulang tahun ke-27 revolusi tak berdarah yang mendorong ibunya, Corazon Aquino, menjadi presiden dan memulihkan demokrasi. Ayah Aquino, Benigno Aquino II, yang merupakan oposisi Marcos, dibunuh oleh orang-orang tak dikenal pada masa itu.
Sumber : voaindonesia.com