Search
Close this search box.
Finalis Inagurasi Transkul, Sanggar Waria Remaja 2012/Dok Ourvoice/Yatna Pelangi
Finalis Inagurasi Transkul, Sanggar Waria Remaja 2012/Dok Ourvoice/Yatna Pelangi

Ourvoice.or.id. Transgender secara umum ialah orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada umumnya. Transgender adalah orang yang dalam berbagai level “melanggar” norma kultural mengenai bagaimana seharusnya pria dan wanita itu.

Seorang wanita, misalnya, secara kultural dituntut untuk lemah lembut. Kalau pria yang berkarakter demikian, itu namanya transgender. Orang-orang yang lahir dengan alat kelamin luar yang merupakan kombinasi pria-wanita juga termasuk transgender. Transgender ada pula yang mengenakan pakaian lawan jenisnya, baik sesekali maupun rutin. Perilaku transgenderlah, yang mungkin membuat beberapa orang mengganti jenis kelaminnya, seperti pria berganti jenis kelamin menjadi wanita, begitu pula sebaliknya.

Transeksual adalah orang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa “terperangkap” di tubuh yang salah. Misalnya, seseorang yang terlahir dengan anatomi seks pria,tetapi merasa bahwa dirinya adalah wanita dan ingin diidentifikasi sebagai wanita.

Transeksual-lah yang dapat menimbulkan perilaku homo atau lesbian, namun transeksual tidak dapat disamakan dengan homo. Bisa saja seorang pria transeksual tertarik pada pria lain karena merasa bahwa dia seorang wanita dan wanita mestinya tertarik pada pria.

Sedangkan perkataan homoseksual diterjemah secara harafiah adalah “sama jantina” yang merupakan gabungan prefiks Yunani homo- bererti “sama” dan asas Latinsex- bererti “seks.” Istilah homosexual pertama kali diterbitkan secara bercetak dalam pamplet Jerman yang diterbitkan pada 1869 secara tanpa nama yang ditulis oleh novelis Karl-Maria Kertbeny, kelahiran Austria.

Waria (portmanteau dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) adalahlaki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisikseseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme.

Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaanbiologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong atau banci juga dikenakan terhadap waria dan bersifat negatif.

Transgender dan transeksual tak lain adalah salah satu dari varian penyimpangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Namun untuk menjelaskannya secara sosiologis maka diperlukan beberapa pendekatan khusus baik lewat paradigma sosial ataupun teorama-teorama sosial yang ada. Agar perspektif yang dihasilkan bersifat dalam dan mengakar lansung ke inti masalah sosial yang sedang terjadi.

Dan jika dilihat dari sudut pandang paradigma fakta sosial, maka fenomena transeksual dan transgender bisa di kategorikan sebagai salah satu pranata sosial yang ada di masyarakat. Sedangkan keberadaan mereka sendiri merupakan fakta sosial yang bersifat material. Hal ini di buktikan dengan interaksi yang terjadi antara mereka dan sistem masyarakat yang ada. Di samping itu sikap solidaritas serta saling memiliki yang terjalin dalam komunitas waria merupakan fakta sosial non-material. Namun hal itu masih sayangnya masih bersifat internal, padahal sebuah fakta sosial harus bersifat external and coercieve ( Marcel, 1901) maka opini publik dan lingkungan merupakan fakta sosial non-material yang sebenarnya.

berdasarkan teori fungsionalisme struktural maka waria sebagai bagian dari sebuah pranata dan struktur sosial bisa dikatakan memiliki dua kecenderungan yaitu fungsional dan dis-fungsional (Merton, 1968) bagi suatu unit sosial tertentu. Waria sebagai pekerja seks komersial fungsional bagi para lelaki homoseksual, begitu pula ia fungsional bagi pengelola salon kecantikan sebagai sumber daya manusia yang murah lagi terlatih. Sedangkan waria disfungsional bagi norma-norma sistem kelembagaan agama agama, maupun sosial yang terkait. Sebenarnya menjadi potret keberagaman sosial dalam masyarakat yang bersifat heterogen, adalah fungsi manifest dari komunitas trangender dan transeksual. Namun kenyataannya fungsi laten dari waria lah yang lebih disorot oleh masyarakat. Yaitu sebagai pekerja seks komersial, sebagai buruh berbiaya rendah dan media penyebaran penyakit HIV/AIDS.

Lain halnya dengan teori fungsionalisme struktural, teori konflik beranggapan bahwa terjadinya fenomena waria itu dikarenakan diskriminasi yang dialami para “penderita” transgender dan transeksual sebagai individu dalam masyarakat sebelumnya. Sehingga opini buruk yang terbentuk terhadap waria di masyarakat lambat laun menjadi parameter “baik-buruk” serta “keseimbangan” moralitas masyarakat. Di satu sisi masyarakat berusaha mempertahankan “keberadaban” mereka dengan menolak waria, di sisi lain waria berusaha untuk diterima sebagai bagian dari masyarakat yang sah. Hubungan yang kontradiktif inilah yang merupakan sumber harmonisasi masyarakat menurut teori konflik.

Beralih ke paradigma definisi sosial, fenomena waria ini bisa dikatagorikan dalam dua tipe rasionalitas tindakan sosial (Webber, 1947). Yang pertama adalahzwerk rational hal ini apabila seseorang yang menjadi waria benar-benar mempunyai tujuan yang ingin dicapai dengan proses perubahannya, semisal agar diakui sebagai wanita. Yang berikutnya adalah wrectational action bila si waria memandang hal tersebut (proses perubahan menjadi waria) masih dalam tahap “gamang”. Dalam kaitannya dengan teori Interaksionisme Simbolik berdasarkan asas proposisi umum (Blumer, 1962) bahwasannya tindakan seorang pelaku Transgender/Transeksual untuk merubah dirinya menjadi waria merupakan bagian dari kebebasan kehendak yang dimilik oleh individu. Karena manusia mampu menciptakan sasaran tindakannya tersendiri serta bertindak terhadap sasaran yang di luar batas dirinya (Ritzer, 1972).

Sehingga kausalitas yang terjadi adalah timbulnya dualisme opini di dalam masyarakat dalam melihat kaum waria, transeksual, dan transgender. Yang pertama menganggap bahwasanya fenomena tersebut adalah hal yang lumrah sehingga tidak perlu terjadi diskriminasi, karena pada dasarnya mereka juga manusia sama seperti yang lain. Dan opini yang kedua beranggapan bahwa mereka adalah penyakit masyarakat yang wajib di bumi hanguskan.

Berbeda dengan dua paradigma awal, dalam paradigma Perilaku Sosial fenomena waria, transgender, dan transeksual mencoba dikembalikan sebagaibehavior of man and contingencies of reinforcement (Skinner, 1938) artinya perilaku “menyimpang” mereka dikembalikan sebagai obyek studi yang konkrit dan realistis. Karena berbanding terbalik dengan teori Interaksionisme Simbolik yang beranggapan bahawa manusia memiliki kehendak bebas. Dalam paradigma ini beranggapan bahwasanya perilaku pribadi merupakan hasil dari stimulus yang datang dari luar, jadi kebebasan manusia adalah suatu hal yang terbatas dan lemah.

Kemudian ditarik hipotesa bahwa, kemungkinan sumbangsih terbesar yang mengakibatkan seseorang menjadi waria, transgender ataupun transeksual tidak lepas dari campur tangan lingkungan. Karena tidak dipungkiri latar belakang masa lalu berefek luas pada kehidupan di masa kini. Dan mungkin alasan inilah yang jamak diungkapkan oleh para pelaku transgender dan transeksual.

kemudian muncul sebuah pertanyaan lanjutan “keuntungan apakah yang didapat seseorang ketika memutuskan untuk menjadi kaum transgender dan trranseksual?” bukankah berdasarkan teori pertukaran sosial, jika reward tidak membawa pengaruh apapun terhadap pelaku maka hal tersebut tidak akan di ulang (Homans, 1961). Memang dalam teori exchange, benefit harus lebih besar dari costJawabannya ada pada latar belakang seseorang menjadi seorang transgender dan transeksual, jika berorientasi pada nilai ekonomi maka secara gamblang dapat dilihat bahwa dengan menjadi “waria” akan menaikkan pasaran. Namun jika alasannya adalah psikologis maka dengan menjadi waria mereka merasa kembali ke “kodrat awal” sehingga hal ini sudah masuk ranah subyektif yang mungkin tidak ada habisnya bila diperdebatkan. Maka untuk menjembatani itu teori tentang keadilan relatif pun layak untuk dijadikan solusi alternatif.

Sebenarnya fenomena transgender, transeksual dan bahkan waria adalah masalah-masalah yang kompleksitasnya bersifat multi-layer. Permasalahan mengenai mereka seringkali bersinggungan dengan berbagai pihak. Mulai dari oknum agama, sosial bahkan sampai ke ranah birokrasi. Dalam agama ada anggapan mereka adalah kaum-kaum yang melawan kodrat tuhan, sebuah pengingkaran terhadap sunatullah (Tempo, 2011). Dalam sosial kemasyarakatan jelas mereka menjadi anomali bagi “keberadaban” suatu kaum, sehingga timbul ekses menolak bahkan cenderung memberikan label buruk bagi mereka. Dari sisi birokrasi pun melahirkan sebuah permasalahan yang cukup pelik semisal, bagi dinas sosial yang ingin merehabilitasi mereka karena sulitnya mengelompokan mereka dengan label “gender” tertentu, yang efek jangka panjangnya juga akan berimbas pada dinas kependudukan.

Dalam ranah hukum dan birokrasi selayaknya pemerintah memberikan status yang jelas bagi mereka. Karena ketidak jelasan status yang ada saat ini lah yang menimpulkan permasalahan kompleks bagi dinas kependudukan. Harus ada alternatif lain dari pemerintah untuk memberikan “label” yang sepenuhnya baru agar tidak terjadi ambiguitas dalam pelayanan publik terhadap mereka. Karena tidak dipungkiri mereka masih merupakan warga negara yang sah baik secara hukum maupun institusional.

Selain itu stigma negative di masyarakat yang menganalogikan mereka sebagai masyarakat kelas dua pun sudah selayaknya dihapus. Sedangkan bagi kaum transgender dan transeksual yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial, maka pemerintah perlu jeli untuk dalam melakukan penanggulangan yang tepat. Karena komunitas pekerjaseks komersial yang berlatar belakang transgender dan transeksual sama riskannya dengan wanita pekerja seks komersial dalam hal fungsi latent sebagai medium penularan virus HIV/AID.

Orang-orang yang terjebak dalam raga tak sesuai dengan jiwa mereka mestinya dibantu dengan solusi. Bukan dikucilkan, apalagi tidak diperbolehkan memenuhi hasrat seksualnya dengan cara yang benar. Perkara hal itu nantinya akan melawan kodrat tuhan atau tidak itu adalah urusan individu yang bersangkutan dengan tuhan.

Penulis : Aziz Daryono

Sumber : sosbud.kompasiana.com