Search
Close this search box.

 

Syafi’i Ma’arif (photo : ucanews.com)

Ourvoice.or.id. Intelektual Muslim Syafi’i Ma’arif menyatakan prihatin bahwa masih ada kelompok Muslim di Indonesia yang menentang pluralisme agama serta melakukan kekerasan baik terhadap sesama Muslim yang berbeda aliran maupun terhadap agama lain.

Pendiri Ma’arif Institute for Culture and Humanity ini menjelaskan, persoalan anti pluralisme seringkali berakar pada kekeliruan memahami pluralisme. Menurut dia, banyak kaum Muslim yang kurang memahami definisi pluralisme, tetapi membuat definisi sendiri lalu memutlakkan definisi itu sebagai yang paling benar.

“Masih ada yang mengerti pluralisme sebagai paham yang membiarkan seseorang untuk sebebasnya pindah agama. Itu definisi darimana? Tapi banyak yang memahaminya demikian, lalu mengharamkan pluralisme itu di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia”, kata Ma’arif dalam diskusi di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Senin (14/1).

Ma’arif juga mengkritisi sejumlah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menurutnya menolak pluralisme, termasuk soal larangan mengucapkan Selamat Natal beberapa waktu lalu.

“Saya sendiri sudah puluhan tahun mengucapkan Selamat Natal tanpa merasa terikat dengan pendapat-pendapat orang yang berpaham sempit yang serba mengharamkan”, kata mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia.

Ia menjelaskan, merupakan malapetaka peradaban jika masih saja ada kelompok yang ingin membunuh perbedaan dengan dalih agama yang dipahami secara sempit dan egoistik.

Padahal menurut dia, sudah seharusnya Muslim lapang dada ke luar dan ke dalam. “Ke dalam untuk kelompok iman yang sama tetapi berbeda penafsiran dan keluar untuk kelompok iman yang berbeda tetapi sama-sama percaya kepada Tuhan menurut anutannya masing-masing”.

Ia juga menyatakan kekuatiran terhadap berbagai bentuk perusakan dan penolakan pembangunan rumah ibadah oleh kelompok-kelompok Muslim intoleran.

Padahal, menurut dia, secara teologis-Qur’ani, Islam menyatakan pembelaannya terhadap rumah-rumah ibadat milik siapa saja, Muslim dan non-Muslim, juga ketika ada pihak yang merusaknya.

“Mengapa ketentuan ini jarang diucapakan oleh mereka yang suka merusak bangunan tempat ibadah?”, katanya.

Berhadapan dengan kondisi ini, ia berharap peran polisi sebagai pihak yang bertanggung jawab dan wakil negara untuk melindungi setiap warga negara dioptimalkan.

“Masalah yang pelik di Indonesia, terutama sejak era reformasi (tahun 1998) terletak pada lemahnya fungsi aparat penegak hukum”, katanya.

Ma’arif mengingatkan bahwa organisasi-orgnsiasi hanya memiliki kekuatan moral, tapi tidak memiliki kekuatan fisik.

“Tapi, peran tokoh agama mesti tetap ditegakkan, meski sering kurang didengar. Hanya maut sajalah yang dapat menghentikan kita menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam upaya mencapai tujuan kemerdekaan yang terbengkelai sejak proklamasi 68 tahun yang lalu”, tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari melihat akar personal yang mengancam pluralisme di Indonesia adalah peran pemimpin yang lemah.

“Selama pemimpin tidak tegas dan kalah di hadapan kelompok-kelompok intoleran yang jumlahnya kecil, maka persoalan tidak akan selesai”, katanya.

Sumber : ucanews.com