Search
Close this search box.

Lengger Lanang, Budaya “Crossdresser” ala Banyumas

Dariah (85 tahun) yang merupakan seorang penari tradisional laki-laki dari Banyumas bersama Didik Nini Thowok (kanak) saat mendokumentasikan kisah penari lengger lanang tersebut yang masih tersisa, (16/11). Aris Andrianto/Tempo

Ourvoice.or.id. Siang itu suasana halaman Padepokan Payung Agung di Desa Banjarsari, Kecamatan Nusawungu, Cilacap, tampak dipadati ratusan warga. Kedatangan mereka ke tempat itu untuk menyaksikan pergelaran Lengger Banyumasan yang sengaja digelar oleh pengelola Padepokan Payung Agung guna menyambut datangnya Tahun Baru Jawa 1 Suro 1946.

Bagi warga setempat, pergelaran Lengger Banyumasan sebenarnya bukan sesuatu yang asing karena kesenian tradisional ini merupakan budaya populis yang tumbuh dan berkembang di Banyumas sejak ratusan tahun silam.

Akan tetapi dalam pergelaran Lengger Banyumasan kali ini, ada sesuatu yang menarik bagi warga setempat lantaran beberapa penarinya merupakan kaum pria yang berdandan seperti halnya perempuan, sehingga disebut dengan Lengger “Lanang” (pria.) dan salah satunya telah berusia lanjut yang dikenal dengan panggilan Mbah Dariah.

Dariah (Photo : http://clc-purbalingga.blogspot.com)
Dariah (Photo : http://clc-purbalingga.blogspot.com)

Pria berusia 84 tahun ini konon merupakan Lengger “Lanang” tertua di eks Keresidenan Banyumas yang bermukim di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Meski telah lanjut usia, penampilan Dariah tak kalah dengan penari Lengger “Lanang” yang masih berusia muda, bahkan tidak kalah luwes dengan perempuan penari lainnya.

Secara sepintas, orang tidak akan menyangka jika Dariah yang pernah mendapat anugerah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kategori Maestro Seniman Tradisional pada 2011 ini merupakan seorang pria karena gerakan tarinya yang lemah gemulai maupun dandanannya mirip perempuan.

Selain itu, Dariah juga berkolaborasi dengan seniman serba bisa dari Yogyakarta Didik Nini Thowok.

Saat ditemui di sela-sela pergelaran Lengger Banyumasan, budayawan Ahmad Tohari mengatakan, Lengger “Lanang” sebenarnya telah ada di Banyumas sejak dulu dan sudah menjadi hal biasa.

“Seperti Mbah Dariah itu salah satunya. Sekarang di Rawalo ada Lengger `Lanang` generasi baru, saya sudah pernah melihat pentasnya, benar-benar cantik,” katanya.

Menurut dia, masalah “transseksual” di Banyumas merupakan hal biasa.

Akan tetapi, kata dia, kelangsungan Lengger “Lanang” sempat tenggelam setelah beberapa tokohnya seperti Mbah Dariah ini putus regenerasinya.

“Di kampung saya (Jatilawang, Banyumas) juga pernah ada Lengger `Lanang` karena itu hal biasa. Ada lengger dan ada ronggeng. Sebetulnya lengger itu untuk yang laki-laki, sedangkan ronggeng untuk perempuan,” kata penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.

Lebih lanjut, Kang Tohari (panggilan akrab Ahmad Tohari, red.) mengatakan, lengger atau ronggeng ini berasal dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Kesuburan dan telah berlangsung lama.

Dulu, kata dia, pementasan lengger maupun ronggeng tidak pernah memasang tarif karena merupakan perangkat kebudayaan desa.

“Setiap desa punya ronggeng. Itu terekam di buku `History of Java`,” katanya.

Ia mengatakan, budaya Banyumas berorientasi kepada kesenian rakyat dengan gerak yang sederhana, diulang-ulang, tidak canggih, dengan tujuan agar tetap dimiliki dan dikuasai oleh semua orang.

“Tidak elitis seperti Serimpi dan Gambyong yang ditunjukkan di tempat khusus. Kalau lengger atau ronggeng di mana pun jadi,” katanya.

Dia mengaku, saat Kongres Lengger Nasional beberapa waktu lalu sempat meminta agar lengger tidak dituntut untuk menjadi adiluhung (kesenian yang elit, red.) karena bisa jadi elitis.

“Kalau jadi elitis, nanti bisa hilang. Biar dia (lengger dan ronggeng) tetap jadi populis, sederhana, mudah dipelajari sehingga semua orang bisa jadi lengger, milik rakyat seperti ebek (kuda lumping), jangan dibikin canggih-canggih, nanti malah orang-orang tertentu yang bisa,” katanya.

Menurut dia, budaya Banyumas tidak bisa diukur dengan takaran atau nilai-nilai keraton karena ukurannya masyarakat.

Secara terpisah, seniman Didik Nini Thowok mengimbau para Lengger “Lanang” generasi baru untuk mempelajari secara serius jika mereka ingin meneruskan tradisi Lengger “Lanang”.

“Karena seni tradisi `cross gender` seperti yang saya lakukan, itu sebenarnya seni yang serius. Saya mendapat kesempatan belajar di Jepang, India, dan China tentang tradisi `cross gender` (laki-laki memerankan wanita) itu semuanya serius,” katanya.

Dengan demikian, kata dia, seni “cross gender” atau orang yang berpakaian menyerupai lawan jenisnya ini merupakan kesenian yang tinggi.

Bahkan di Jepang, lanjutnya, masyarakat sangat respek terhadap Onagata karena merupakan seni yang serius, bukan guyonan.

“Semua tarian yang `basic`-nya tradisi itu punya akar yang kuat. Itu yang harus dipelajari,” katanya.

Tradisi kuno

Menurut dia, seni tradisi cross gender (orang yang berpakaian menyerupai lawan jenisnya) sebenarnya sudah lama ada di Indonesia namun sempat terputus, sehingga banyak masyarakat yang tidak tahu kalau seni tersebut merupakan tradisi kuno.

Dalam hal ini, dia mencontohkan pergelaran wayang orang di Keraton Yogyakarta ada laki-laki yang memerankan peran wanita.

Menurut dia, hal ini disebabkan Keraton Yogyakarta memeluk agama Islam sehingga peran perempuan dimainkan oleh laki-laki.

“Dalam wayang orang kadang ada adegan pelukan, padahal dalam agama Islam, yang bukan muhrimnya dilarang berpelukan, sehingga peran perempuan dimainkan oleh laki-laki,” kata dia menjelaskan.

Bahkan saat itu, kata dia, jika seorang perempuan menari di depan umum, citranya akan menjadi sangat jelek.

Oleh karena itu, Didik sering kali memberikan pemahaman tentang tradisi “cross gender” ini kepada mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi.

“Ini (tradisi `cross gender`) merupakan sejarah, dan ini tertulis, tidak asal-asalan,” katanya.

Saat mendapat undangan di Amerika beberapa waktu lalu, dia mengaku sempat mengutip tembang dalam Serat Centhini khususnya tentang kesenian lengger.

“Lengger saat itu (dalam Centhini) adalah laki-laki yang memerankan wanita,” katanya.

Terkait keberadaan Lengger “Lanang” di Banyumas, Didik mengaku jika saat ini sedang mendokumentasikannya dalam bentuk video dengan mendatangi rumah Lengger “Lanang” Dariah di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Banyumas.

“Tadi pagi (Kamis, red.) tim saya men-`shooting` Pendopo Sipanji Banyumas, Sungai Serayu, kemudian ke Lengger Dariah. Sebenarnya saya kelewatan satu, punden yang digunakan untuk upacara lengger,” katanya.

Menurut dia, ide untuk mendokumentasikan Lengger Dariah ini berawal dari perjalanannya di Amerika Serikat pada 20 September hingga 4 Oktober 2012.

“Saat itu, saya menari di beberapa tempat. Terutama yang buat saya sangat bergengsi, saya diundang oleh Yale University di New Haven, yang merupakan universitas kedua setelah Havard,” kata dia yang memiliki garis keturunan warga Sidareja, Cilacap.

Di perguruan tinggi ternama tersebut, dia diminta untuk menyajikan pertunjukan dan mengisi sebuah diskusi tentang budaya Asia khususnya Indonesia.

Menurut dia, pertunjukan tersebut selama satu jam dan telah disiapkan lebih dulu dengan membuat rekaman video yang menggambarkan keindahan Yogyakarta.

“Ini karena kebanyakan orang asing `nggak` tahu Yogyakarta atau Indonesia, tetapi lebih kenal Bali. Saya pakai model film, seperti film pariwisata yang menunjukkan peta Indonesia, posisi Yogyakarta, ada apa di sana, Gunung Merapi, dan sebagainya sampai keraton, ada sultan, tari Bedoyo, tari Langendrian, di situ ada tari Golek,” katanya.

Ia mengatakan, tari Golek pada zaman Sultan Hamengkubuwono VII penarinya adalah laki-laki.

Selanjutnya, kata dia, ada tembang petikan dari babad Mangkunegaran yang menceritakan bahwa Sultan Hamengkubuwono VII mengirim seorang pangeran yang menarikan tari Golek Lambangsari sebagai hadiah ulang tahun Mangkunegoro di Solo.

“Itu yang saya petik. Berdasarkan itu, saya muncul dengan tari Golek Lambangsari,” katanya.

Menurut Didik, tari Golek Lambangsari menunjukkan adanya penari “cross gender” (identitasnya tidak sesuai dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan, red.) di dalam istana.

“Setelah saya selesai menari, kemudian saya munculkan Pendopo Sipanji Banyumas. Lalu saya petik tembang Centhini karena dalam Centhini buku kelima, ada tembang yang menceritakan bahwa Si Bolang itu menari ronggeng jadi perempuan. Petikannya dari itu, maka saya masukkan Lengger Banyumas,” katanya.

Saat memberikan presentasi di Amerika tentang Lengger “Lanang” yang merupakan “cross gender” di masyarakat dan memunculkan Lengger Dariah, dia mengaku berjanji untuk membuat dokumentasi tentang Lengger Dariah.

“Saya janji, pokoknya sepulangnya dari Amerika, saya mau membuat dokumentasi dengan Lengger Dariah. Secara kebetulan saya diundang untuk tampil di sini (Padepokan Payung Agung), sehingga saya sekalian buat dokumentasi Lengger Dariah, dan Mbah Dariah pun saya ajak ke sini,” katanya.

Dariah Mengabdikan Hidupnya Untuk Tari Lengger Banyumasan (photo : detik.com)
Dariah Mengabdikan Hidupnya Untuk Tari Lengger Banyumasan (photo : detik.com)

Disinggung mengenai perasaannya ketika berkolaborasi dengan Dariah, dia mengaku langsung merasa cocok meskipun baru pertama kali bertemu dan menari bersama.

“Saya melihat, Mbah Dariah ini sosok yang luar biasa. Saya melihat seniman-seniman yang dulu karena proses berkeseniannya beda dengan seniman yang sekarang, saya melihat pasti `low profile` dan kehidupan mereka bersahaja,” katanya.

Bahkan, kata dia, sosok Dariah memiliki energi yang luar biasa dan terlihat saat menari.

“Meskipun saya banyak gerak dan `guyon` (bercanda, red.), saya mengamati bagaimana gerak beliau. Begitu dengar gamelan, beliau langsung `ngegol-ngegol` (menari, red.),” katanya.

Sementara dalam perbincangannya dengan Didik Nini Thowok, Dariah mengaku sempat memimpikan bertemu seniman “cross gender” ini.

“Saya pernah memimpikan, kapan bisa bertemu kamu,” katanya.

Saat ditemui wartawan di rumahnya beberapa waktu lalu, Dariah yang memiliki nama asli Sadam mengaku, kecintaannya terhadap lengger berawal saat rumahnya kedatangan seorang pengembara bernama Kaki Danabau dan mengatakan kepada kakeknya yang bernama Wiryareja bahwa cucunya (Sadam) dirasuki “indhang” atau roh lengger dan bakal menjadi penari lengger yang terkenal.

Oleh karena itu, Sadam merasa terpanggil untuk menjadi seorang penari lengger sehingga dia pamit untuk mengembara dengan bekal seadanya.

Sadam kecil ini akhirnya sampai di perkuburan tua di Desa Gandatapa, Kecamatan Sumbang, Banyumas. Dia pun segera bertapa di tempat yang dikenal dengan sebutan makam Panembahan Ronggeng.

Setelah sekian lama bertapa, Sadam kembali ke desanya dan sebelumnya sempat membelanjakan seluruh uangnya untuk membeli konde, kemben, selendang, dan kain.

Sadam yang telah berusia 16 tahun itu akhirnya memantapkan diri sebagai seorang penari lengger dan namanya diganti menjadi Dariah.

Meskipun tidak ada yang mengajarinya, tari Lengger yang dimainkan Dariah sangat luwes dan kecantikan wajahnya menjadikan dia semakin terkenal.

Sumber : http://oase.kompas.com/