Search
Close this search box.

Hari AIDS Sedunia 2011 di Gedung Putih (photo : Chip Somodevilla/Getty Images)
Hari AIDS Sedunia 2011 di Gedung Putih (photo : Chip Somodevilla/Getty Images)

Ourvoice.or.id. Pemahaman kebanyakan  orang masih keliru tentang HIV/AIDS. HIV/AIDS dianggap hanya masalah bagi mereka yang mempunyai perilaku seks yang menyimpang. HIV/AIDS seringkali dikaitkan dengan masalah mereka yang dinilai tidak bermoral, pendosa dan sebagainya. Situasi seperti ini justru hanya memperburuk dan memperparah keadaan karena persoalan penyakit ini yang sebenarnya tidak sesederhana itu.

Situasi di Indonesia sendiri menunjukkan trend epidemi AIDS yang terus menunjukkan peningkatan baik secara jumlah maupun luas wilayah sebaran. Berdasarkan laporan per Juni 2012 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan, angka kasus kumulatif yang dilaporkan untuk HIV mencapai 86.762 kasus dengan 32.103 kasus diantaranya adalah kasus AIDS.
Dari kasus AIDS tersebut, didapati bahwa ada kasus pada 21.707 laki-laki dan 8.970 kasus pada perempuan. Laporan kasus ini pun telah ditemui di semua wilayah propinsi di Indonesia. Sejak tahun 2000, Indonesia tergolong dengan epidemi terkonsentrasi karena prevelensi HIV pada subpopulasi tertentu telah melebihi lima persen. Hal tersebut menggambarkan keadaan yang mengindikasikan tingkat penularan HIV sudah cukup tinggi pada subpopulasi berisiko.

Gambaran meluasnya epidemi terlihat dari jumlah kasus kumulatif dilaporkan terjadinya peningkatan pada jumlah kasus AIDS. Pada tahun 2007 terdapat 11.140 kasus, tahun 2008 terdapat 16.140 kasus, meningkat menjadi 19.973 pada akhir tahun 2009 dan kemudian kembali meningkat pada tahun 2010 menjadi 22.726 kasus. Artinya, kasus AIDS di Indonesia terus meningkat setiap tahun.

Keadaan semakin buruk dengan muncul mitos yang salah di masyarakat, bahwa berhubungan sosial dengan penderita HIV & AIDS akan membuat kita tertular, seperti bersalaman, menggunakan WC yang sama, tinggal serumah, atau menggunakan sprei yang sama dengan penderita HIV & AIDS.

Fenomena Yang Justru Sering Terjadi

Hal yang sangat disayangkan untuk peringatan HIV/AIDS setiap tahunnya justru bukan sebagai pembelajaran bagi banyak pihak, tetapi lebih kepada mengintimidasi korban. Satu fenomena yang terjadi jelang perayaan HAS ini adalah banyaknya penyelenggara kegiatan yang mendadak “membutuhkan” ODHA (Orang Dengan HIV/ AIDS) sebagai nara sumber kegiatan. Guyonan yang beredar di komunitas ODHA sendiri sering didengar jika “Rate (fee) ODHA lagi naik nih karena banyak permintaan” Harapannya, dengan adanya testimoni kehidupan seorang ODHA, akan membuat masyarakat sadar dan menjauhi tindakan yang berpotensi tertular HIV.

Namun pada kenyataannya, kerap kali testimoni kehidupan ini diminta untuk menunjukkan sisi betapa kelamnya kehidupan si nara sumber sebelum tahu dirinya terinfeksi HIV sampai dengan betapa menyesal serta kepasrahan diri seorang ODHA yang layaknya hendak menanti ajal. Secara singkatnya, ODHA diharapkan memberikan kesaksian mendayu-dayu layaknya cerita Oh Mama Oh Papa (Tulisan di Majalah Perempuan jaman dulu) sehingga asumsi yang berkembang di masyarakat adalah HIV penyakit orang dengan perilaku yang sering dikatakan “menyimpang” (pengguna narkotika, pekerja seks dan LGBT), penyakit yang tidak ada obatnya karena kutukan sampai dengan terkena HIV sama dengan Mati.

Ini tentu saja sebuah pesan yang keliru dan malah mengaburkan kewaspadaan masyarakat akan bahaya HIV itu sendiri. Kesan bahwa ini hanya dialami oleh komunitas tertentu akan membuat kita lalai dengan merasa bahwa kita tidak beresiko. Padahal faktanya, semua orang beresiko terinfeksi HIV. HIV tidak mengenal usia, jenis kelamin, latar belakang maupun agama. Penyakit yang tidak ada obatnya serta terkena HIV sama dengan mati juga membuat masyarakat bukannya waspada melainkan ketakutan bila mendengar, melihat atau berinteraksi dengan ODHA yang ujungnya akan membuat diskriminasi pada ODHA. Faktanya, dengan terapi ARV seorang ODHA bisa tetap hidup sehat selama bertahun-tahun.

Bertahun-tahun perayaaan yang justru mengaburkan kewaspadaan masyarakat serta kemudian mendorong terjadinya stigma serta diskriminasi pada ODHA terus dipertahankan. Pihak media pun seperti tidak mau kalah dengan berlomba-lomba memampang kesaksian ini yang kadang bahkan dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi seperti meminta nara sumber menggunakan topeng atau mengaburkan bagian wajah hanya demi mendapatkan sepotong cerita mendayu-dayu.

Sudah saatnya kegiatan seperti ini dihentikan. Karena ini hanya akan merugikan masyarakat banyak. Kita sebaiknya perlu berpikir secara “cerdas” guna melihat bentuk kegiatan seperti apakah yang tepat dilakukan guna mengenang Hari AIDS Sedunia sehingga masyarakat benar-benar menjadi waspada akan bahaya infeksi HIV.

Kegiatan yang cerdas tanpa lagi-lagi menjadikan ODHA sebagai komoditas yang berguna memancing derai air mata penonton. Kegiatan cerdas yang berguna bukan untuk menakut-nakuti berdekatan dengan ODHA namun berisi ajakan untuk memperlakukan setiap manusia, baik ODHA maupun bukan, dengan perlakuan yang sama.

Apa yang Perlu Kita Lakukan?

Dari fakta yang ada, tentu masyarakat di Indonesia masih belum mengetahui dengan benar bagaimana sebenarnya HIV/AIDS tersebut, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak memperlakukan ODHA dengan baik. Anggapan bahwa HIV tinggal menunggu waktu “mati” sangatlah disayangkan. HIV bukanlah vonis mati bagi pengidapnya. HIV selama ini begitu gencar dibicarakan, bukan hanya tertuju pada HIV & AIDS-nya saja tapi yang lebih penting bagaimana kita sebagai masyarakat yang cerdas untuk dapat memerangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.

Stigma dan diskriminasi dapat diatasi dengan cara intervensi berbasis masyarakat, termasuk keluarga, tempat kerja, layanan kesehatan, agama, dan media. Intervensi diarahkan untuk membatasi sikap negatif sebagai efek samping dari tujuan lain melalui pendekatan yang inovatif.

Untuk mengatasi stigma dan diskriminasi, cara yang dapat dilakukan adalah melalui proses hukum. Di beberapa negara, ODHA kurang memiliki pengetahuan tentang hak-hak yang seharusnya mereka miliki. Mereka perlu dididik, sehingga mampu mengatasi diskriminasi, stigma dan penyangkalan yang ditemui dalam masyarakat. Pemantauan dapat memperkuat hak-hak ODHA dan memberikan alat yang kuat mengurangi pengaruh buruk stigma dan diskriminasi. Namun stigma dan diskriminasi tidak bisa diatasi hanya dengan hukum, tetapi diperlukan juga partisipasi masyarakat untuk menganggap ODHA sebagai orang yang normal dalam masyarakat.

Sebagai respon, negara dapat menetapkan Undang-Undang untuk melindungi hak dan kebebasan ODHA dan untuk melindungi mereka dari diskriminasi. Sesungguhnya hak ODHA sama seperti manusia lain, tetapi karena ketakutan dan kekurangpahaman masyarakat, hak ODHA sering dilanggar. Semakin banyak masyarakat yang sadar dan peduli akan HIV dan AIDS maka AIDS akan bisa dihentikan melalui penghapusan stigma dan menghentikan diskriminasi dengan memulainya dari diri kita sendiri. ***

Sumber : www.analisadaily.com
Penulis :  Elfa Suharti Harahap, S.Pd. (alumni FKIP UMSU dan Sekretaris UKM-LPM Teropong UMSU Periode 2009- 2010)