Ourvoice.or.id. Perilaku seksualitas maskulin –ini bahasa kebudayaan untuk melukiskan hubungan seksual sesama lelaki- yang selalu dianggap sebagai pembicaraan tabu, bahkan dalam konteks masyakarat yang sudah demikian modern dan maju, sebenarnya pernah menjadi bagian yang akrab dari kehidupan keseharian dalam hubungan sosial sejumlah suku di Indonesia. Saya bicara tentang Suku Jawa, tentang ingatan pada sebuah kampung di Solo pada paroh kedua dasawarsa 1970-an. Kala itu, saya adalah seorang balita laki-laki yang selalu menggoda perhatian seorang tetangga yang kami panggil Oom Ratno. Setiap kali saya keluar dari rumah, ia yang tinggal bersebelahan dengan kami, tak pernah bisa menahan diri untuk mencubit, menggendong, menimang dan tak jarang –demikian yang kemudian saya dengar dari ayah dan ibu saya ketika saya mulai beranjak remaja- ngerjain saya dengan mengoleskan sambal di bibir saya. Tentu saja, saya yang masih balita kepedesan dan menangis sejadi-jadinya. Oom Ratno seorang lelaki yang lincah dan selalu punya cara serta kata-kata untuk membuat suasana sekitarnya menjadi gayeng, guyup. Penuh canda dan akrab. Ia tinggal sendirian, menempati satu dari tiga rumah petak berdempetan yang kami sewakan. Konon, ia merantau dari Purwokerto dan bekerja sebagai pegawai rendah di Stasiun Balapan. Kehadirannya di kampung kami memberi kesan tersendiri, terutama bagi lelaki-lelaki muda yang pernah dimanjakannya dengan imbalan, yang bersangkutan harus memenuhi hasrat seksualnya sebagai lelaki yang tertarik dengan sesama lelaki. Kami tak pernah punya istilah apapun untuk Oom Ratno. Orang-orang kampung tak pernah menyebutnya gay –kami tak tahu dan belum pernah mendengar kata itu. Dan, meskipun pada malam-malam tertentu Oom Ratno berdandan layaknya seorang perempuan, kami juga tak pernah menyebutnya banci, waria atau istilah apapun. Oom Ratno adalah Oom Ratno. Yang pada saat digelar latihan keroncong di rumah Pak RT, ia duduk di bangku paling depan, membawa banyak makanan untuk dibagikan dan pada gilirannya tampil menyanyi untuk menarik perhatian pemuda-pemuda kampung yang umumnya menganggur. Kata ayah saya ketika saya sudah dewasa, hampir semua pemuda di kampung kami pernah tidur dengan Oom Ratno. “Siapa yang bisa menolak? Tidur bersama Oom Ratno berarti makan enak, dikasih duit…” tutur ayah. Ayah sendiri, kemudian, tak segan-segan menceritakan pengalamannya. Bila sudah cukup lama tak tidur dengan lelaki, Oom Ratno menjadi gelisah, mudah marah dan kasar. Suatu malam, ayah sedang tidur di emperan rumah –ini biasa dilakukan orang-orang kampung masa itu- dan menjadi sasaran penyaluran hasrat Oom Ratno yang sudah lama tak mendapatkan teman tidur. Ayah yang sedang terlelap digerayangi, dihisap penisnya hingga ejakulasi. Ayah tergeragap bangun dan lari, tapi hari-hari setelah itu semua berjalan seperti biasanya, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Suatu hari, adik ayah dari desa datang, dan menarik perhatian Oom Ratno. Tanpa malu-malu, Oom Ratno menawarinya untuk “tidur saja di rumah saya”. Karena rumah kami sempit, dan daripada tidur di kursi atau lantai, maka ayah pun ikut menyarankan agar sang adik menerima tawaran Oom Ratno itu. Ketika saya dewasa, ayah mengenang peristiwa itu sebagai lelucon. Ternyata, kala itu, ayah memang sengaja ngerjain adiknya. Pagi harinya, sang adik keluar dari rumah Oom Ratno dengan muka bersungut-sungut. Dan, semua tahu apa yang terjadi semalam. ***
Praktik-praktik hubungan seksual sesama lelaki tidak selalu identik dengan kecabulan dan ketidaknormalan (1). Dalam masyarakat suku tertentu, perilaku seksualitas maskulin tersebut dilakukan murni sebagai ritus sakral yang diamalkan turun-temurun sampai sekarang. Hal ini antara lain terjadi dalam masyarakat Suku Marind dan Suku Kiman yang menugasi paman dari pihak ibu untuk memenetrasi anus anak lelaki yang sudah menampakkan tanda pubertas awal agar kelak menjadi lelaki dewasa yang kuat berkat sperma dari lelaki dewasa. Fase ini harus dilalui oleh setiap anak lelaki suku tersebut selama tiga tahun. Mitologi Yunani kuno juga mengenal kisah seksualitas maskulin sebagai ritual. Mitos ini sering mengungkap penculikan dan perjalanan keluar dari peradaban menuju hutan rimba atau tempat tak dikenal tempat orang dewasa memberikan “pengetahuan” tentang kehidupan kepada anak lelaki. Pasangan maskulin paling populer dalam mitologi Yunani adalah Ganymedes dan Zeus. Sedangkan Mesir kuno memiliki mitos tentang Seth yang memerkosa Horus. Seth adalah seorang dewa saudara lelaki dari Osiris dan Horus adalah putra dari Osiris. Dan, masyarakat Cina kuno memiliki kisah tentang Cao yang dibantu istrinya melubangi dinding kamar mandi pangeran Chonger dan mendapati pangeran sedang bermain seks dengan dua pelayan lelaki. Sejumlah peneliti bahkan enggan memakai istilah homoseksualitas menyangkut seksualitas maskulin yang terjadi dalam masyarakat primitif maupun masyarakat peradaban kuno, karena pada masa itu seksualitas maskulin bukan dianggap penyimpangan. Peneliti budaya Indonesia dari Universitas Cornell Ben Anderson, misalnya, memaknai hubungan seksual sesama lelaki yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dalam Serat Centhini, salah satu karya klasik Jawa yang terbesar, sebagai bagian dari “impian profesional” Jawa akan sebuah tatanan masyarakat yang ideal (2). Diduga disusun oleh suatu tim pengarang di bawah putra mahkota Keraton Surakarta yang kemudian menjadi Pakubuwono V dan selesai pada 1814, Centhini merupakan sebuah mahakarya ensiklopedis yang lengkap mengenai budaya Jawa yang dipaparkan sebagai cerita berbentuk tembang. Melalui banyak contoh yang disajikan dan kosa kata teknis Jawa yang dipergunakan secara bebas, Centhini menunjukkan bahwa homoseksualitas lelaki paling tidak bukanlah sesuatu yang problematis. Melainkan, bagian keseharian dari budaya seksual Jawa yang sangat beragam. Konteks ini berkaitan dengan tokoh bernama Cebolang yang secara garis besar ceritanya dapat dipaparkan sebagai berikut: Cebolang yang diusir dari rumah oleh ayahnya mencari nafkah dengan memimpin rombongan kecil pementas jalanan. Anggota rombongan ini yang paling penting bernama Nurwitri, penari muda pria yang agak keperempuan-keperempuanan. Dalam perjalanannya, rombongan ini sampai di Kabupaten Daha dan dipanggil oleh adipati untuk berpentas. Sebagaimana para istri, pejabat, pelayan dan pengikutnya, sang adipati pun terkesima oleh keterampilan para penampil, khususnya Nurwitri yang menari dengan anggun dalam pakaian perempuan. Usai pementasan, penari muda ini diundang untuk tidur dengan sang adipati yang sangat terangsang. Nurwitri terus-terang bersedia disodomi, menyenangkan hati sang adipati dengan seni bercintanya yang hebat, dan keesokan harinya mendapat imbalan uang dan pakaian mahal. Sampai beberapa malam sang adipati bersuka cita dengan Nurwitri, tapi ia belakangan mengalihkan perhatiannya pada Cebolang yang lebih maskulin, yang diperintahkannya untuk menari dalam busana perempuan. Seperti sebelumnya, musik dan tari membangkitkan gairah seksualnya, dan ia pun tidur dengan Cebolang. Dipaparkan dengan gamblang, bagaimana dengan penuh kenikmatan sang adipati menyodomi Cebolang yang dilukiskan “lebih hebat diranjang dibandingkan dengan Nurwitri”. Ia pun mendapat imbalan yang sepadan sesudahnya. Kemudian sesuatu yang aneh terjadi, yang sepengetahuan Ben Anderson tak pernah dijumpai kesejajarannya pada karya sastra Indonesia manapun. Sang adipati menanyai Cebolang, siapakah yang lebih menikmati dalam suatu hubungan sodomi –yang memenetrasi ataukah yang dipenetrasi. Ketika Cebolang menjawab, “jauh lebih nikmat yang dipenetrasi”, sang adipati pun ingin menguji kebenaran hal tersebut. Kemudian Cebolang menyodomi lelaki tua yang kaya, berkuasa dan berpangkat tinggi itu. Apa yang terjadi? Ternyata sangat berbeda dengan apa yang dikatakan Cebolang. Di antaranya karena ukuran penis Cebolang, sang adipati sangat kesakitan, anusnya robek sehingga tak dapat duduk keesokan harinya. Sungguh menarik menyimak penggambaran adegan-adegan tersebut, misalnya ketika sang adipati disodomi Cebolang, “airmata berleleran di wajahnya, merintih minta belas kasihan”. Bahkan, sang adipati sampai terkecing-kencing di kasur. Cebolang merasa tersentuh dan mempercepat tekanannya untuk segera mengakhiri penderitaan sang adipati. Akhirnya, sang adipati pun “roboh dalam keletihan sepenuhnya”. Perincian semacam itu, menurut Ben Anderson, merupakan suatu kesengajaan untuk menampilkan Cebolang sebagai seorang profesional seksual yang piawai. Ia tidak berdusta ketika mengatakan bahwa yang dipenetrasi jauh lebih menikmati daripada yang memenetrasi –hanya saja untuk mencapai hal itu orang harus berbekal ilmu dan pengalaman. Cebolang yang dilukiskan sebagai “luwes dan terampil dalam berbagai gerakan” misalnya, begitu piawai “secara aktif mempasifkan diri” ketika disodomi. Tapi, apakah benar-benar ada Cebolang yang dengan penuh gaya menyodomi tuan priyayinya? Apakah episode sodomi ini merupakan bagian dari gambaran penting Jawa Masa Silam? Siapa yang yakin, kata Ben Anderson. Kita anggap, demikian lanjut Ben, pada sisi yang lain, tembang hebat ini (Centhini –pen) tidaklah mencerminkan kehidupan nyata, malainkan…simbol fantasi sebuah masyarakat yang memimpikan suatu kondisi kehidupan yang serba ideal. *** Kendati episode sodomi dalam Centhini bukan dimaksudkan sebagai episode homoseksualitas, melainkan lebih lebih bermakna simbolis, namun sudah cukup menjelaskan bahwa hubungan seksual maskulin merupakan perilaku konstan pada kurun sejarah semua masyarakat. Sampai dengan saat Centhini selesai ditulis, istilah homoseksualitas belum dikenal. Istilah ini baru muncul untuk pertama kalinya dalam bahasa Inggris pada 1890 dalam tulisan Charles Gilbert Chaddock yang menerjemahkan Psychopathia Sexualis karya R. von Krafft-Ebing. Istilah ini untuk menggambarkan seksualitas antara dua orang yang berjenis kelamin sama, baik laki-laki maupun perempuan. Kisah Oom Ratno di bagian awal tulisan ini hanyalah gambaran kecil dari sebuah realitas besar yang tak pernah mengenal istilah apapun, kecuali dengan sendirinya menunjukkan satu sisi kebenaran sejarah yang selama ini barangkali selalu ditolak, atau disembunyikan. Bahwa perilaku seksual maskulin ada dalam setiap lapisan budaya masyarakat sampai ke sub-sub budaya yang tertutup. Di Jawa Timur, kita mengenal kesenian tradisional reog yang ditegakkan antara lain dengan tradisi hubungan warok dan gemblak –yang pertama merupakan sebutan untuk laki-laki sakti yang memainkan reog, dan yang kedua adalah lelaki belia peliharaan sang warok untuk menjaga kesaktiannya. Novel “Toenggoel” karya Eer Asura dengan gamblang menggambarkan betapa penggemblakan adalah praktik homoseksual yang diterima begitu saja, bahkan dakui oleh sebuah masyakarat di daerah Jawa Timur bagian dari tradisi mereka (3). Maka sungguh mengingkari sejarah jika massa dari Forum Umat Islam (di dalamnya antara lain terdapat FPI) meneriakkan kata-kata yang mengharamkan kaum gay menginjakkan kaki di Jawa Timur ketika mereka memprotes penyelenggaraan Konferensi ILGA, yang sedianya dijadwalkan digelar di Surabaya, 26-28 Maret 2010. Dalam lingkungan Islam sendiri, terutama dalam sub-kultur pesantren, dikenal adanya praktik “mairil”, yakni hubungan asistensi serupa kakak-adik antara santri senior dan santri yunior yang tak hanya demi kepentingan pendidikan melainkan juga mencakup tuntutan layanan seks dari si senior kepada yunior (4). Tapi, memang, siapa yang perlu sejarah? (kata Tom Boellstorff yang menulis buku The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia). Bagi kelompok-kelompok semacam FPI, yang diperlukan hanya satu teriakan keras, penuh ancaman, dan menakutkan, untuk meruntuhkan seluruh bangunan kearifan lokal warisan para pendahulu kita, yakni toleransi terhadap keberagaman. Zaman seperti yang diceritakan bapakku sudah berlalu, dan tak akan pernah kembali…. Catatan Kaki (1). Colin Spenser, Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Ninik Rochani Sjams, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004 (2). Benedict Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik Indonesia, terj. Revianto Budi Santosa, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000. (3). Eeer Asura, Toenggoel, Yogyakarta: Penerbit Tinta, 2005. Lihat juga: Muhammad Zamzam Fauzannafi, Reog Ponorogo: Menari di Antara Dominasi dan Keragaman, Yogyakarya: Kepel Press, 2005. (4). Lihat misalnya Syarifuddin, Mairil: Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Yogyakarta: Penerbit P_Idea, 2005. Sumber : http://queernation.wordpress.com