Search
Close this search box.

(IST : http://blogs.telegraph.co.uk)
(IST : http://blogs.telegraph.co.uk)

Ourvoice.or.id. Konon, ada empat kendala yang akan ditanggung seumur hidup oleh para homoseksual yang tidak mencari upaya untuk keluar dari keadaannya. Pertama, kendala anatomi dalam berhubungan seks –karena penis dirancang untuk vagina, maka homoseksualitas memunculkan aktivitas seks yang tidak lazim, seperti anal seks dengan segala risikonya. Kedua, kendala reproduksi –intinya, hubungan seksual sesama jenis kelamin tak mungkin membuahkan anak. Ini mengantarkan pada masalah ketiga yang lebih rumit dan lebih berat, yakni kendala psikologis. Tak ada keterangan lebih jauh tentang yang terakhir ini, tapi mudahlah ditebak, yang dimaksud tentu perasaan kesepian, ketakutan akan masa tua dan sejenisnya. Kendala keempat, gesekan sosial.

Saya mengawali tulisan ini dengan kata “konon”, jadi Anda otomatis paham bahwa “teori kendala” di atas bukan pendapat saya. Saya menemukannya dalam buku berjudul “Seksplorasi 55 Masalah Seksual”. Penulisnya Dr Andrik Wijaya, MRepMed (Dipl.) –duh, tangan saya keringatan mengetik titelnya, penerbitnya Gramedia, terbit awal tahun ini, jadi benar-benar masih fresh.

Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi 55 persoalan seputar seksualitas yang diklaim sebagai “yang ingin Anda ketahui tapi tabu untuk ditanyakan”. Format penyajiannya berupa tanya-jawab. Bagi Anda yang rajin membaca –atau, sekedar menengok sesekali pun- rubrik konsultasi seks di majalah-majalah dan tabloid, dengan berbagai nama dan modelnya, tak sulit menebak isi buku ini. Tentu saja pertanyaan yang muncul masih sekitar keperawanan, seks oral aman atau tidak hingga ejakulasi dini. Tapi, sudahlah, tulisan ini bukan resensi untuk buku tersebut.

Saya hanya tertarik karena di antara 55 tanya-jawab dalam buku ini, terselip dua bab yang menyangkut homoseksual. Yang pertama, datang dari “pemuda berusia 32 tahun, sudah bekerja dan memiliki kehidupan yang lumayan.” Ia merasa, “seharusnya saya bahagia, namun kenyataannya saya merasa hidup saya kosong dan tidak berarti.” Kenapa? “Masalahnya, saya tidak bisa tertarik dengan lawan jenis, tapi sebaliknya dengan sesama jenis.” Dan, layaknya sebuah pertanyaan yang dilayangkan di rubrik konsultasi, maka surat itu ditutup dengan, “Apa yang harus saya lakukan, Dok?” Maka, terpaparlah “teori kendala” tadi dari sang dokter yang yakin, seperti secara eksplisit dinyatakannya sebagai judul bab yang bersangkutan, bahwa “homoseks bisa reorientasi”.

Keyakinan sang dokter ini diulang lagi ketika menjawab pertanyaan, “Bila kekasih mantan lesbi, apa yang harus saya tempuh agar pacar saya itu bisa sembuh 100%”.

***
Saya teringat dengan rubrik konsultasi seks dan konsultasi psikologi dalam Majalah “Matra”. Kedua rubrik tersebut termasuk sangat rajin menampilkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan homoseksualitas. Keluhan yang terdengar, baik dari segi seksualitas itu sendiri maupun secara psikologis nyaris selalu sama: apakah saya bisa sembuh? Saya tak pernah tertarik dengan jawaban dokter atau pun ahli yang mengasuh rubrik-rubrik tersebut.

Saya lebih tertarik dengan kasus-kasus yang muncul, pertanyaan-pertanyaan yang diulang-ulang itu. Pada paruh kedua 1990-an, ruang konsultasi di Harian “Kompas” yang diampu oleh psikolog Leila Ch Budiman sempat diramaikan oleh kasus “homoseksual ingin sembuh” semacam itu juga. Saya lupa persis dan detailnya, tapi saya ingat benar, surat tersebut mendapat banyak tanggapan dari pembaca lain, yang umumnya sharing pengalaman tentang “kesembuhan” dari homoseksualitas.

Saya jadi curiga, ruang konsultasi –seks maupun psikologi- di media massa tak bebas dari kepentingan politik wacana. Artinya, ada unsur kesengajaan dari pihak pengelola untuk melakukan –dalam teori komunikasi disebut- agenda setting. Yakni, memilih wacana apa yang dimunculkan dan tidak dimunculkan.

Media massa merupakan sarana komunikasi dan informasi yang diakses oleh ribuan bahkan mungkin jutaan orang. Ada sederet pertimbangan ketika pengelolanya menampilkan atau tidak menampilkan suatu informasi tertentu -dari pertimbangan komersial hingga moral. Suratkabar sebesar “Kompas” misalnya, saya menduga, pastilah tidak akan “berani” menampilkan pertanyaan yang memungkinkan munculnya jawaban yang “mendukung” ataupun “membenarkan” homoseksualitas.

Demikian pula halnya dengan “Matra” dan media massa lainnya. Dengan kata lain, sejauh menyangkut pertanyaan mengenai homoseksualitas, media massa akan berpegang pada “moralitas umum” yang selama ini (masih juga) memandang homoseksual sebagai penyakit dan dengan demikian harus diupayakan penyembuhannya. Dua bab homoseksual yang disertakan dalam buku “Seksplorasi 55 Masalah Seksual” tadi menegaskan hal itu. Pertanyaan-pertanyaan yang dihimpun dalam buku itu dikumpulkan oleh penulisnya dari pengalamannya mengasuh rubrik-rubrik konsultasi seks di sejumlah media massa, seperti Radio SCFM, Harian Pagi “Surya” dan Tabloid “Bunda” –semuanya di Surabaya.

***
Saya percaya dengan kekuatan (pengaruh) media massa, sebesar kepercayaan saya betapa koran, majalah dan tabloid itu tak lain barang dagangan juga. Sehingga, semua isi media –selain merupakan pesan-pesan informasi- juga bisa dipandang sebagai komoditi yang menopang nilai jual media tersebut. Tak terkecuali, rubrik konsultasi seks (maupun psikologis).

Dalam perspektif industri semacam itu, maka rubrik konsultasi setara nilainya dengan berita, esei seni rupa maupun cerita pendek yang muncul di koran. Yakni, sebagai barang dagangan sehingga harus memiliki nilai jual –istilah medianya, “nilai berita”. Cerpen di koran-koran edisi Minggu misalnya, diseleksi antara lain dalam kriteria “aktualitas”-nya juga.

Rumus yang sama tentu saja berlaku untuk rubrik konsultasi. Pandangan masyarakat yang masih minor terhadap homoseksualitas justru merupakan ceruk tersendiri bagi berharganya informasi-informasi yang berkaitan dengan isu tersebut. Orang kebanyakan masih menganggap homoseksual sebagai gaya hidup “aneh” sehingga wacana seputar hal itu menjadi menarik, menimbulkan penasaran.

Pada sisi yang lain lagi, isu homoseksual dimunculkan sebagai alat kontrol, untuk terus-menerus menjaga kesinambungan moral heteroseksual sebagai satu-satunya etika seksual yang mereka anggap benar selama ini.

Sekarang Anda mengerti, mengapa acara-acara liputan malam di televisi demikian rajin mengangkat tema ini. Anda pun mafhum pula adanya, jika rubrik-rubrik konsultasi seks dan psikologi di koran-koran tak pernah sepi dari pertanyaan seputar homoseksualitas, tapi yang dari dulu tak pernah beranjak dari keluhan yang itu-itu saja.

Sumber : http://queerindonesia.blogspot.com